Hukum Jumatan dengan Tujuan
Pamer
Shalat Jumat merupakan salah satu kewajiban
bagi setiap Muslim laki-laki yang telah memenuhi syarat-syarat wajibnya. Shalat
Jumat tidak beda dengan shalat fardlu lima waktu yang rutin dilakukan setiap
hari, sama-sama merupakan ibadah yang seharusnya setiap Muslim sadar betul akan
kewajibannya.
Meski demikian, kesadaran tersebut belum bisa
tertanam dengan baik bagi sebagian orang. Mungkin karena kepentingan tertentu,
terkadang dalam menjalankannya disertai dengan niat pamer. Pertanyaannya
adalah, bagaimana hukum Jumatan dengan tujuan pamer?
Masalah ini perlu disikapi dalam dua sudut
pandang. Pertama, berkaitan dengan keabsahan Jumat. Kedua, berkaitan dengan
pahala Jumat.
Pertama, berkaitan dengan keabsahan.
Seseorang yang melaksanakan Jumatnya disertai
dengan niat pamer, tetap sah jumatannya asalkan disertai dengan tata cara niat
shalat Jumat yang benar saat takbiratul ihram dan telah terpenuhi syarat rukun
Jumat.
Yang menjadi masalah adalah ketika ia murni
melakukan Jumatan karena tujuan pamer, semisal saat takbiratul ihram ia berniat
“saya niat jumat karena pamer”. Jika demikian adanya, maka hukumnya tidak sah
dan haram, ia berkewajiban mengulangi shalatnya.
Al-Imam Al-Ghazali menegaskan:
أما
العبادات كالصدقة والصلاة والصيام والغزو والحج فللمرائي فيه حالتان إحداهما أن لا يكون له قصد إلا الرياء المحض
دون الأجر وهذا يبطل عبادته لأن الأعمال بالنيات وهذا ليس بقصد العبادة لا يقتصر
على إحباط عبادته حتى نقول صار كما كان قبل العبادة بل يعصي بذلك ويأثم كما دلت
عليه الأخبار والآيات
Artinya, “Adapun beberapa ibadah seperti
sedekah, shalat, perang dan haji, maka orang yang pamer di dalam hal tersebut
memiliki dua kondisi. Pertama, murni bertujuan pamer, bukan pahala. Yang
demikian ini dapat membatalkan ibadahnya, karena keabsahan amal bergantung
kepada niat. Yang demikian ini bukan tujuan ibadah, tidak terbatas kepada
leburnya pahala sehingga kita berpendapat statusnya sama seperti sebelum
dilaksanakannya ibadah. Namun, (lebih dari itu), ia makshiat dan berdosa karena
hal tersebut, sebagaimana yang ditunjukan oleh beberapa hadits dan ayat
al-Quran,” (Lihat Hujjatul Islam Al-Ghazali, Ihya’ Ulumid Din, Ihya Ulumid
Din pada hamisy Ithafus Sadatil Muttaqin, juz X, halaman 95).
Kedua, berkaitan dengan pahala Jumat.
Ibadah yang telah terpenuhi syarat rukunnya,
belum tentu berpahala dan diterima di sisi-Nya. Bisa jadi keabsahannya hanya
untuk menggugurkan kewajiban atau menghilangkan dosa. Sebagaimana Shalat Jumat
yang disertai niat pamer, meski hukumnya sah dan boleh, namun tidak mendapat
pahala Jumat.
Ulama menegaskan, segala ibadah yang disertai
niat pamer dapat menghilangkan pahala ibadah yang telah dilakukan, termasuk
dalam persoalan Jumatan.
Al-Imam Al-Ghazali menegaskan:
هذا
إذا لم يقصد الأجر فأما إذا قصد الأجر والحمد جميعا في صدقته أو صلاته فهو الشرك
الذي يناقض الإخلاص وقد ذكرنا حكمه في كتاب الإخلاص ويدل على ما نقلناه من
الآثار قول سعيد بن المسيب وعبادة بن الصامت إنه لا أجر له فيه أصلا
Artinya, “Yang demikian bila tidak bertujuan
pahala. Sedangkan bila bertujuan pahala dan agar dipuji di dalam shalat atau
sedekahnya, maka tergolong syirik yang bertentangan dengan ikhlas. Telah kami
tuturkan hukumnya dalam bab ikhlas. Apa yang kami kutip dari beberapa atsar
dikuatkan oleh statemennya Said bin Musayyib dan Ubadah bin al-Shamit,
sesungguhnya tidak mendapat pahala sama sekali bagi orang yang pamer,” (Lihat
Hujjatul Islam Al-Ghazali, Ihya’ Ulumid Din, Ihya Ulumid Din pada
hamisy Ithafus Sadatil Muttaqin, juz X, halaman 95).
Syekh Sulaiman Al-Bujairimi menegaskan bahwa
persoalan pamer ini tidak bisa dianalogkan dengan kasus beribadah dengan tujuan
duniawi seperti haji disertai niat berdagang, berwudhu disertai niat
membersihkan badan dan lain sebagainya.
Dalam persoalan tersebut ulama berbeda
pendapat mengenai status gugurnya pahala. Namun, untuk persoalan ibadah dengan
niat pamer, ulama sepakat dapat menggugurkan pahala. Ia menegaskan:
قوله
: (من أمر دنيوي) أي غير
الرياء أما هو فإنه محبط للثواب مطلقاً للحديث القدسي : (أنا أغنى الشركاء عن
الشرك فمن عمل عملاً أشرك فيه غيري فأنا منه بريء وهو للذي أشرك) . والمراد بالقصد
الدنيوي مثل نية التبرد والتنظف ونحو ذلك
Artinya, “Ucapan Syekh Khatib dari perkara
duniawai, maksudnya selain pamer. Adapun pamer maka dapat menghilangkan pahala
secara mutlak, berdasarkan firman Allah dalam hadits Qudsi, “Aku yang paling
tidak butuh disekutukan. Barang siapa yang beramal, ia menyekutukan selainKu di
dalamnya, maka aku terbebas darinya. Ia menjadi milik perkara yang ia jadikan
sekutu”. Sedangkan yang dikehendaki dengan tujuan duniawi adalah niat
menyegarkan, niat membersihkan badan dan sejenisnya (bukan niat pamer),” (Lihat
Syekh Sulaiman Al-Bujairimi, Tuhfatul Habib ‘ala Syarhil Iqna’, juz I,
halaman 198).
Berkaitan dengan bahaya memamerkan ibadah,
Syekh Jamaluddin Al-Qasimi mengatakan:
وقسم
من الرياء دون الأول بكثير كمن يحضر الجمعة أو الصلاة ولولا خوف المذمة لكان لا
يحضرها أو يصل رحمه أو يبر والديه لا عن رغبة لكن خوفا من الناس أو يزكي أو يحج
كذلك فيكون خوفه من مذمة الناس أعظم من خوفه من عقاب الله وهذا غاية الجهل وما
أجدر صاحبه بالمقت
Artinya, “Dan satu bagian dari pamer di bawah
level pertama dengan banyak perbedaan, yaitu seperti orang yang menghadiri
Jumat atau shalat. Bila tidak takut dicela manusia, ia tidak menghadirinya.
Bersilaturrahim atau berbakti kepada kedua orang tua, bukan karena cinta, namun
karena takut kepada manusia, demikian pula saat berzakat atau haji.
Ketakutannya kepada manusia lebih besar dari pada takutnya kepada siksa Allah.
Yang demikian ini adalah puncaknya kebodohan. Sungguh alangkah pantasnya bagi
sang pelaku mendapat murka Allah,” (Lihat Syekh Jamaluddin Al-Qasimi, Mauizhatul
Mu’minin min Ihya’i Ulumid Din, juz I, halaman 235).
Demikianlah penjelasan mengenai hukum shalat
Jumat dengan tujuan pamer. Meski dinyatakan sah secara fikih sepanjang
ketentuan pelaksanaannya terpenuhi, namun alangkah sangat meruginya bila ibadah
Jumat yang telah susah payah dilakukan tidak mendapat nilai pahala. Semoga kita
terhindar dari rasa pamer dalam beribadah. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar