Belas
Kasih Rasulullah SAW dan Sahabat Umar RA
Membincang ajaran damai dan kasih sayang yang ditawarkan dalam Islam, maka pelopornya pasti Rasulullah SAW. Untuk itu, menapaktilasi perbuatan Rasulullah SAW merupakan hal yang krusial untuk menampilkan wajah Islam sesungguhnya yang damai, toleran, dan akomodatif terhadap perbedaan.
Strategi dakwahnya
yang lembut dan tidak pernah membalas dendam dengan dendam, melawan kekerasan
dengan kekerasan, adalah bukti keteladan dan rekam jejaknya yang baik dan layak
diterapkan saat ini.
Salah satunya adalah
kisah Rasulullah SAW sewaktu akan berhijrah ke Thaif. Pada sekitar Juni 619 M,
Nabi dan beberapa pengikutnya berangkat hijrah dari Makkah menuju Tha'if untuk
bertemu kepala suku. Tujuan utamanya tentu mengajak mereka memeluk Islam.
Sayangnya, warga Thaif menolak ajakan Nabi. Mereka takut jika menerima dakwah
Nabi, warga Mekkah marah kepada mereka.
Akibatnya, warga
Thaif melempari Nabi dengan batu, sampai beliau pun harus lekas keluar dari
Tha'if. Dikabarkan, beliau terluka hingga harus berlindung di kebun buah dan
bernaung di bawah pohon anggur.
Alih-alih melakukan
perlawanan dan menyerang balik warga Thaif, beliau justru memohon ketenangan
dan kedamaian kepada Tuhan semesta, seraya berdoa agar generasi Thaif
selanjutnya mau menerima dakwahnya. (Lihat Syekh Abdurrahman Yakub, Pesona
Akhlak Rasulullah, Bandung: Mizania, halaman 94-95).
Ketika itulah Allah
mengutus Malaikat Jibril dan para malaikat lainnya menemui Nabi SAW. Ketika itu
pula Nabi ditawari para malaikat agar Thaif dihancurkan dan dijepit di antara
gunung-gunung yang ada sebagai balasan atas perlakuan buruk mereka. Namun
dengan keluhuran akhlak dan belas kasihannya kepada mereka yang belum mendapat
hidayah-Nya, Nabi menolak tawaran tersebut. Begitulah cara Nabi SAW menghadapi
perlakuan tidak menyenangkan dari warga Thaif.
Kemudian, perangai
lemah lembut juga pernah dicontohkan sahabat Umar bin Al-Khathab yang sebelum
masuk Islam ia dikenal sebagai sosok yang keras dan kasar.
Dikisahkan pada suatu
hari, Umar berjalan di lorong-lorong kecil Madinah.Tiba-tiba, ia melihat
seorang anak kecil sedang memainkan seekor burung di tangannya. Karena merasa
belas kasihan, Umar lantas membeli burung tersebut dari sang anak lalu
melepaskannya ke alam bebas.
Sewaktu wafat, Umar
bin Al-Khathab termimpikan oleh jumhur sahabat. Dalam mimpinya itu, mereka
menanyakan perihal yang telah Allah perbuat kepada dirinya. Umar menjawab,
“Allah telah mengampuni dan memaafkan kesalahanku.”
Mereka kembali
bertanya, “Berkat apa Allah mengampunimu? Berkat keadilanmu, kemurahanmu, atau
kezuhudanmu?”
Umar menjawab lagi,
“Ketika kalian memasukkanku ke liang lahat, lalu menutupiku dengan tanah, dan
meninggalkanku seorang diri, lalu datanglah kedua malaikat yang menakutkan.
Pikiranku tak lagi sadar, dan saking takutnya sendi-sendiku gemetar. Namun,
ketika keduanya mau mendudukkan dan menanyaiku, terdengarlah suara tak
terlihat, ‘Biarkanlah hamba-Ku itu, jangan kalian takut-takuti, sebab Aku telah
menyayangi dan mengampuninya. Karena dia telah menyayangi seekor burung sewaktu
di dunia, maka Aku menyayanginya di akhirat,’” (Lihat Muhammad bin Abu Bakar,
Al-Mawa’izh Al-‘Ushfuriyyah, [Surabaya, Maktabah Muhammad bin Nabhan: tanpa
tahun], halaman 2).
Begitulah Islam yang
mengajarkan perdamaian, kasih sayang, keselamatan, baik kepada sesama Muslim
maupun sesama umat manusia, bahkan kepada hewan dan tumbuhan sekali pun,
seperti yang pernah dicontohkan oleh sahabat Umar bin Al-Khathab.
Intinya, Islam bukan
hanya milik pemeluknya, melainkan milik semua umat dan makhluk-Nya, dalam arti
kehadiran Islam harus menjadi rahmat dan perekat antarumat, bukan sebaliknya.
itulah hakikat ajaran Islam yang lembut dan nirkekerasan. Wallahu a‘lam. []
(Tatam Wijaya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar