Suami Istri Non-Muslim
Masuk Islam, Haruskah Mengulang Akad Nikah? (1)
Setiap agama memiliki aturan tersendiri di
dalam ajaran-ajarannya yang mesti diikuti oleh para pemeluknya. Pun di dalam
hal pernikahan setiap agama memiliki aturan yang menentukan keabsahan
pernikahan yang dilakukan oleh masing-masing pemeluknya. Aturan pernikahan di
dalam Islam sudah barang tentu berbeda dengan aturan pernikahan di dalam agama
Kristen, Hindu, Budha dan agama lainnya.
Salah satu permasalahan yang terjadi dan
menjadi problem di masyarakat adalah ketika sepasang suami istri non-Muslim
menikah dengan aturan agamanya dan di kemudian hari pasangan suami istri ini
memeluk agam Islam (menjadi mualaf) apakah pernikahan yang telah dilakukan
dengan aturan non-Islam dianggap tidak sah dan batal sehingga keduanya harus
mengulangi lagi akad nikah secara Islam?
Dalam hal ini para ulama fiqih mengulasnya
dan membedakan hukumnya dalam dua keadaan, yakni bila pasangan suami istri
menjadi mualaf secara bersamaan dan bila pasangan suami istri menjadi mualaf
secara tidak bersamaan. Dalam tulisan ini kedua hal tersebut akan dibahas dalam
dua bagian terpisah, insya Allah.
Suami-Istri Mualaf secara Bersamaan
Di dalam berbagai literatur fiqih bisa kita
dapati banyak keterangan yang menyatakan bahwa pernikahan yang terjadi di
antara sesama orang non-Muslim adalah dianggap sebagai pernikahan yang sah di
dalam Islam. Karenanya, sepasang suami istri non-Muslim yang menikah dengan
tata cara agama mereka bila di kemudian hari keduanya sama-sama memeluk agama
Islam maka pernikahan yang dilakukan oleh keduanya pada saat sebelum memeluk
Islam tetap dianggap sah dan tidak diperlukan melakukan pernikahan ulang setelah
memeluk Islam.
Imam Ibnu Rusyd di dalam kitabnya Bidâyatul
Mujtahid wa Nihâyatul Muqtashid menuliskan:
وَأَمَّا
الْأَنْكِحَةُ الَّتِي انْعَقَدَتْ قَبْلَ الْإِسْلَامِ، ثُمَّ طَرَأَ عَلَيْهَا
الْإِسْلَامُ، فَإِنَّهُمُ اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ الْإِسْلَامَ إِذَا كَانَ
مِنْهُمَا مَعًا - أَعْنِي: مِنَ الزَّوْجِ وَالزَّوْجَةِ -، وَقَدْ كَانَ
عَقْدُ النِّكَاحِ عَلَى مَنْ يَصِحُّ ابْتِدَاءً الْعَقْدُ عَلَيْهَا فِي
الْإِسْلَامِ أَنَّ الْإِسْلَامَ يُصَحِّحُ ذَلِكَ
Artinya: “Adapun pernikahan yang terjadi
sebelum Islam, kemudian Islam datang pada pernikahan tersebut, para ulama
bersepakat bahwa apabila Islam ada pada keduanya, yakni suami istri (masuk
Islam) secara bersamaan, sedangkan akad nikah yang terjadi dahulu terjadi pada
orang yang sah akadnya menurut Islam, maka Islam membenarkan pernikahan yang
demikian.” (Ibnu Rusyd, Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyatul Muqtashid, [Beirut:
Darul Fikr, 1995], juz II, hal. 39)
Sementara di dalam kitab Al-Mausû’ah
Al-Fiqhiyyah disebutkan:
فَذَهَبَ
جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ - الْحَنَفِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ عَلَى الصَّحِيحِ
وَالْحَنَابِلَةُ وَقَوْلٌ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ - إِلَى أَنَّ نِكَاحَ
الْكُفَّارِ غَيْرِ الْمُرْتَدِّينَ بَعْضِهِمْ لِبَعْضٍ صَحِيحٌ
Artinya: “Jumhur fuqaha—ulama Hanafiyah,
ulama Syafi’iyah menurut pendapat yang sahih, ulama Hanabilah, dan sebuah
pendapat dalam kalangan ulama Malikiyah—berpendapat bahwa pernikahan
orang-orang kafir selain orang-orang yang murtad adalah sah.” (Al-Mausû’ah
Al-Fiqhiyyah, [Kuwait: Kementerian Wakaf dan Islam, 1983], juz XXXXI, hal. 319)
Ditetapkannya pernikahan sebelum Islam
sebagai pernikahan yang sah didasarkan kepada berbagai dalil di antaranya
firman Allah:
وَقَالَتِ
امْرَأَتُ فِرْعَوْنَ
Artinya: “dan istri Fir’aun berkata.” (QS.
Al-Qashash:9)
وَامْرَأَتُهُ
حَمَّالَةَ الْحَطَبِ
Artinya: “dan istri Abu Lahab, pembawa kayu
bakar.” (QS. Al-Lahab: 4)
Di dalam kedua ayat tersebut Allah menyebut
istri Fir’aun dan Abu Lahab sebagai “istri”. Bila pernikahan kedua pasangan
tersebut dianggap tidak sah maka tentunya kedua perempuan itu tidak disebut
sebagai “istri” dalam dua ayat tersebut. Ini juga menunjukkan bahwa pernikahan
yang dilakukan sebelum Islam dianggap sah oleh Islam.
Juga bisa mengambil dalil dari sahabat
Ghailan dan lainnya yang ketika masuk Islam mereka memiliki istri lebih dari
empat orang. Maka kemudian Rasulullah memerintahkan untuk tetap memegang empat
orang istri dan menceraikan lainnya. Pada saat bersamaan Rasulullah juga tidak
menanyakan perihal persyaratan nikah yang dahulu dilakukan sebelum masuk Islam
(Muhammad Khathib As-Syarbini, Mughnil Muhtâj, [Beirut: Darul Fikr, 2009], juz
III, hal. 247-248). Ini semua menunjukkan bahwa Rasulullah mengakui keabsahan
pernikahan yang telah terjadi sbeelum masuk Islam.
Hanya saja yang dianggap sah oleh Islam
adalah apabila pernikahan tersebut dilakukan oleh orang (suami istri) yang oleh
Islam dianggap sah melakukan pernikahan itu. Umpamanya, sepasang pengantin
non-Muslim menikah dan di antara keduanya tidak ada hubungan mahram sebagaimana diatur di dalam Islam, maka ketika
keduanya masuk Islam pernikahannya itu dianggap sah oleh Islam. Sebaliknya,
bila seorang laki-laki non-Muslim menikah dengan seorang perempuan non-Muslim
yang notabene perempuan itu adalah keponakan atau anak dari saudara kandungnya
sendiri. Di dalam Islam hal ini dilarang dan pernikahannya tidak sah. Maka apabila
pasangan suami istri ini masuk Islam pernikahannya yang telah lalu itu tetap
dianggap tidak sah.
Kiranya inilah yang dimaksud Ibnu Rusyd
dengan kalimat “akad nikah yang terjadi dahulu terjadi pada orang yang sah
akadnya menurut Islam” sebagaimana kutipan di atas.
Maka jelaslah bahwa sepasang suami istri
non-Muslim yang masuk Islam secara bersamaan tidak perlu mengulang lagi
pernikahannya, karena Islam menganggap pernikahan yang telah dilakukan pada
saat sebelum masuk Islam sebagai pernikahan yang sah. Wallâhu a’alm. []
Ustadz Yazid Muttaqin, santri alumni Pondok
Pesantren Al-Muayyad Surakarta, kini aktif sebagai penghulu di lingkungan
Kantor Kementerian Agama Kota Tegal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar