Menanggulangi Terorisme
Oleh: Azyumardi Azra
Aksi terorisme masih merajalela di sekitar kita. Rabu
(13/11/2019), aksi bom bunuh diri dilakukan RMN (24) di Markas Polrestabes
Medan. Bom yang agaknya meledak sebelum mencapai sasarannya lebih fatal di
kantor Markas Polrestabes ini menewaskan pembawa bom. Enam orang yang berada di
dekat lokasi ledakan menderita luka.
Aksi terorisme ini dapat memberikan sejumlah pelajaran untuk
peningkatan penanggulangan terorisme agar lebih efektif dan efisien.
Pelajaran pertama yang bisa diambil aparat Polri dan publik
anti-terorisme adalah bahwa aksi bom bunuh diri yang dilakukan RMN tak berdiri
sendiri. Pelaku boleh saja disebut sebagai lone wolf, serigala buas yang naik motor
sendirian melakukan aksi bom bunuh diri. Namun, jelas jaringannya cukup luas,
menjadi gerombolan serigala buas (flock
of wolves). Setelah aksi bom di Medan, tidak kurang dari 46
tersangka teroris ditangkap di sejumlah tempat di Sumatera, Jawa, dan
Kalimantan, di antaranya tewas saat baku tembak dengan aparat polisi di Deli
Serdang.
Jaringan RMN jelas tidak hanya melibatkan gerombolan perkawanan
yang sama-sama mengikuti ideologi dan praksis atas nama agama, tetapi juga
ikatan perkawinan dan persaudaraan. Menurut catatan Kompas (15/11/2019),
sejak Mei 2018 sampai dengan 13 November 2019, ada lima kasus aksi terorisme
yang melibatkan ikatan keluarga dan persaudaraan. Melalui ikatan ini, jaringan
atau kelompok terorisme menjadi lebih solid dalam melakukan tindakannya.
Menyangkut jaringan radikalisme-terorisme lewat tali perkawinan,
perlu dicermati kecenderungan meningkatnya keterlibatan istri atau perempuan.
Keterlibatan perempuan dalam jaringan terorisme berawal dari tertangkapnya Dian
Yulian Novita dalam operasi polisi di Bekasi pada Desember 2016.
Setelah itu, perempuan kian sering terlibat dalam jaringan dan
aksi terorisme. Kelihatannya para perempuan cukup tangguh dan militan, tak
kalah dengan laki-laki. Akan tetapi, belum jelas apakah para perempuan itu
terlibat ideologi dan praksis terorisme karena tekanan laki-laki atau karena
kesadaran sendiri.
Dua peneliti dan aktivis perdamaian, Lies Marcoes (Kompas, 16/5/2018) dan
Musdah Mulia, sambil mendaftar nama-nama perempuan yang terlibat jaringan
radikalisme dan terorisme dalam beberapa tahun terakhir, menyebut gejala ini
sebagai feminisasi radikalisme, atau feminisasi gerakan radikal, atau bahkan
feminisasi terorisme. Semua terminologi ini contradictio-in-terminis karena
kata feminis mengacu
pada kesetaraan perempuan (dengan lelaki) yang juga terasosiasi dengan
kelembutan, bukan kekerasan.
Pada konteks itu, menurut polisi, dalam melakukan aksi terornya,
RMN diduga banyak didorong oleh istrinya, DA, yang aktif berkomunikasi lewat
media sosial dan juga dengan mengunjungi langsung Dw, perempuan terpidana
terorisme di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II Wanita Medan.
Kian banyaknya perempuan terlibat aktif dalam ideologi dan praksis
radikalisme-terorisme terlihat bersamaan dengan meningkatnya jumlah tersangka
teroris yang ditangkap polisi. Gejala ini menunjukkan masih atau bahkan kian
meruyaknya sel dan jaringan terorisme.
Antara Januari dan Mei 2019, sekitar 68 teroris ditangkap.
Penangkapan itu terus berlanjut di banyak tempat di Tanah Air, yang berpuncak
setelah penusukan Menko Polhukam Wiranto pada 10 Oktober. Saat itu, tidak
kurang dari 40 tersangka teroris ditangkap. Gelombang penangkapan terjadi lagi
pasca-bom bunuh diri RMN di Markas Polrestabes Medan.
Dengan demikian jelas, kekalahan Negara Islam di Irak dan Suriah
(NIIS) atau Da’Is (Dawlah Islamiyah) di wilayah Suriah dan Irak terlihat seolah
tak berdampak pada perkembangan dan dinamika terorisme di Indonesia.
Meski Pemimpin NIIS Abu Bakar al-Baghdadi dilaporkan telah tewas
pada akhir Oktober lalu, penggantinya sudah dimaklumkan, yaitu Abu Ibrahimi
al-Hashimi al-Quraisi. Tampak para pengikutnya menerima dia. Tidak ada
penolakan dari kalangan pengikut NIIS terhadap Abu Ibrahimi yang kehidupannya
penuh rahasia.
Walhasil, NIIS bakal terus bertahan. Lagi pula sumpah setia
(baiat) mereka yang terekrut belakangan ini tak lagi harus lewat pertemuan
langsung dengan lingkaran kepemimpinan NIIS, tetapi bisa secara daring (online). Menurut polisi,
sekitar 90 persen tersangka teroris anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD)
melakukan baiat kepada NIIS secara daring.
Oleh karena itu, upaya penanggulangan terorisme di Tanah Air masih
jauh dari selesai. Sebaliknya, justru perlu akselerasi, khususnya secara
internal dengan penguatan badan/lembaga penanggulangan terorisme, khususnya
Densus 88 Antiteror dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Peningkatan sangat mendesak dilakukan mengantisipasi kembalinya
”veteran NIIS”. Kini, ada sekitar 700 veteran NIIS asal Indonesia yang ingin
kembali. Mereka ada dalam tahanan di Turki, Suriah, Irak, atau Jordania. Mereka
dapat kapan saja dideportasi pemerintah negara-negara itu ke Indonesia.
Bagaimana sikap Pemerintah Indonesia mengantisipasi gelombang
veteran NIIS? Tampaknya belum jelas, apakah menerima mereka semua yang ingin
kembali atau menerima secara selektif setelah melalui cleareance.
Tito Karnavian ketika masih menjabat Kapolri pernah menyatakan,
ada sekitar 500 veteran NIIS yang sudah kembali ke Indonesia. Jika ini benar,
berarti cukup banyak, hingga muncul pertanyaan bagaimana Polri mampu
mengendalikan mereka.
Mengingat aksi terorisme dan gelombang penangkapan tersangka
teroris yang terus berlangsung, bukan tak mungkin veteran NIIS ikut berperan
dalam peningkatan jumlah pelaku terorisme dan jaringannya. Terorisme jadinya
masih seperti puncak gunung es.
Semua pihak—pemerintah, aparat kepolisian, warga, dan kelompok
masyarakat sipil, serta ormas—harus bahu-membahu menanggulangi ideologi dan
praksis radikalisme-terorisme. Sikap defensif dan apologetik, bahwa tidak ada
radikalisme-terorisme di negeri ini, jelas tidak menolong upaya penanggulangan.
[]
KOMPAS, 21 November 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar