Pahlawan, Maafkanlah Kami
Oleh: Komaruddin Hidayat
BAIK sebagai bangsa maupun negara, yang namanya Indonesia itu
produk perjuangan panjang yang belum selesai. Atau tak akan pernah selesai. Ada
sederet pahlawan perjuangan yang memperoleh bintang penghargaan dari negara,
lalu jenazahnya dikubur di taman makam pahlawan. Namun, yang tidak memperoleh
bintang penghargaan dan pengakuan dari negara jumlahnya pasti lebih banyak.
Penghargaan itu merupakan kepentingan bagi yang hidup untuk
mengenang jasa dan kehebatan pribadi mereka agar menjadi teladan bagi anak-anak
bangsa yang datang kemudian, sedangkan pahlawan sejati tidak pernah memikirkan
jabatan dan bintang. Tidak membutuhkan popularitas.
Setiap membaca sejarah perjuangan bangsa ini, saya selalu kagum
betapa pendiri bangsa dan negara Indonesia telah memberikan keteladanan akan
kecerdasan, kearifan, keberanian, dan kecintaan pada Tanah Air serta nasib
warganya. Sebuah keteladanan yang rasa-rasanya semakin langka ditemukan di
kalangan politisi hari ini. Mereka mengikuti perkembangan politik dunia dengan
jeli. Andaikan Hiroshima dan Nagasaki tidak dibom dan luluh lantak oleh sekutu
pada 6 dan 9 Agustus 1945, tidak terbayang Indonesia akan menyatakan
kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Namun demikian, kalau Bung Karno dan Bung Hatta tidak cerdas membaca
situasi dunia dan mengambil keputusan berani berupa deklarasi kemerdekaan pada
17 agustus 1945, Indonesia sudah pasti jatuh ke pelukan sekutu sebagai negara
pampasan perang dari tangan Jepang.
Sementara Indonesia tengah berjuang mencari dukungan negara-negara
sahabat untuk mendapatkan pengakuan akan kemerdekaannya, tentara sekutu tidak
rela Indonesia merdeka sehingga pada 10 November 1945 tentara Inggris mengancam
dan melakukan agresi menyerang Indonesia lewat Surabaya. Maka itu, di bawah
komando Bung Tomo, rakyat bangkit mempertahankan kemerdekaan yang belum genap
dua bulan. Sebuah pertempuran terdahsyat setelah kemerdekaan.
Musuh bersama
Mengenang penggalan sejarah itu saya selalu merenung, merasa kecil
dan malu di hadapan mereka yang telah menunjukkan pengabdian dan pengorbanan
pada Tanah Air tanpa kalkulasi jabatan dan fasilitas yang hendak didapatkan
seperti terlihat pada sebagian besar politisi hari ini. Di antara para pahlawan
itu pernah masuk penjara, tapi bukan karena korupsi. Itu karena berani melawan
pemerintahan penjajah demi membela nasib rakyat yang tertindas. Padahal, waktu
itu belum banyak yang bertitel sarjana dan memiliki kekayaan melimpah seperti
wakil rakyat hari ini.
Saat itu yang menonjol ialah fight against melawan musuh bersama
berupa kekuatan imperialis, sedangkan setelah merdeka bergeser menjadi fight
for, yaitu berjuang untuk membangun negara bangsa untuk mencerdaskan dan
menyejahterakan rakyat serta menjaga martabat bangsa dalam pergaulan dunia.
Pada tataran fight for diperlukan kecerdasan, wawasan pengetahuan dan
keterampilan teknokratik, bukan lagi mengandalkan emosi massa. Bukan pula
kekuatan kerumunan massa (the crowd), melainkan gabungan kekuatan pemikiran
konseptual dan kemampuan teknokratik agar ide dan wacana turun menjadi tindakan
nyata yang hasilnya dirasakan masyarakat. Pendeknya, pikiran, wacana, dan
tindakan mesti berkesinambungan secara konsisten. Walk the talk.
Sejak awal disadari para pendiri bangsa bahwa realitas masyarakat
kita ini sangat plural (bineka), lalu dari pluralitas ini dirajut dan dijaga
agar menciptakaan kekuataan keikaan, yaitu bangsa yang satu, negara yang satu,
Tanah Air yang satu: Indonesia, rumah kita bersama. Sebagai sebuah negara,
Indonesia berdiri sejak 17 Agustus 1945. Namun, sebagai sebuah bangsa,
sesungguhnya masih dalam proses 'menjadi' (becoming). Kesadaran batin ayah,
kakek, dan nenek kita masih kental sebagai putra daerah (etnik) yang sangat
plural sehingga ketika berlangsung Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, yang namanya
'bangsa Indonesia' itu masih berupa angan-angan dan cita-cita (the imagined
nation).
Secara perlahan kesadaran dan entitas keindonesiaan itu semakin
tumbuh dan menguat bersama perkembangan generasi yang lahir belakangan.
Sekarang ini mulai berkembang generasi hibrida, hasil perkawinan silang lintas
etnik dan budaya.
Tidak hilang
Universitas papan atas dan perkantoran di kota besar telah
memfasilitasi perjumpaan anak-anak cerdas lintas etnik, yang pada urutannya
mereka menjalin perkawinan dan menghasilkan keturunan. Idealnya, perkawinan
lintas etnik ini akan mengondisikan terjadinya cross cultural fertilization,
bertemunya elemen-elemen yang unggul sehingga diharapkan melahirkan generasi
hibrida yang berkualitas tinggi yang semakin mengindonesia. Pada generasi ini
tidak relevan diajukan pertanyaan; Anda berasal dari mana? Karena tidak lagi
eksklusif keturunan satu etnik di Indonesia.
Akan tetapi, terdapat catatan penting sampai seratus tahun ke
depan keragaman etnik dan agama ini tidak mungkin hilang dari bumi Indonesia.
Kebinekaan akan tetap bertahan. Namun, yang mesti diperjuangkan ialah bagaimana
merajut keragaman antropologis itu diimbangi dengan penciptaan dan pemerataan
pendidikan serta sentra-sentra ekonomi sehingga tercipta keseimbangan
kesejahteraan antarberbagai penduduk dan suku di Indonesia.
Dengan mempelajari dan merenungkan sepak terjang para pahlawan
bangsa, sudah semestinya kita terpanggil untuk meneruskan cita-cita, amanat,
dan warisan mulia mereka agar kita tidak terjebak menjadi generasi penikmat dan
perusak. Yang pasti secara pribadi saya merasa malu dan berutang budi pada para
pahlawan karena belum bisa menjaga dan meneruskan amanat para pahlawan untuk
menjaga dan menjunjung tinggi martabat Indonesia. Wahai pahlawan, maafkanlah
kami atas kekerdilan pemikiran dan perilaku korup kami. []
MEDIA INDONESIA, 11 November 2019
Komaruddin Hidayat | Rektor Universitas Islam Internasional
Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar