Perayaan Maulid Nabi
Muhammad di Era Klasik
Momen kelahiran Nabi
Muhammad SAW diperingati oleh Muslim di seluruh dunia dengan perayaan Maulid.
Tak terkecuali di Indonesia, peringatan Maulid Nabi SAW dilakukan dengan
berbagai ekspresi. Masyarakat Jawa, misalnya, merayakan Maulid dengan membaca
Manaqib Nabi Muhammad dalam Kitab Barzanji, Simtud Dhurar, Diba’, Saroful Anam,
dan lain-lain.
Selesai membaca
Manaqib Nabi Muhammad, biasanya masyarakat menyantap makanan bersama-sama yang
disediakan secara gotong royong oleh warga. Masyarakat Muslim tidak hanya
bergembira merayakan kelahiran Nabi, tetapi juga bersyukur atas teladan, jalan
hidup, dan tuntunan yang dibawa oleh Nabi.
Bangsa Indonesia
tidak hanya beragam atau majemuk dalam hal agama, suku, bahasa, seni, dan
lain-lain, tetapi juga beragam dalam mengekspresikan tradisi amaliyah keagamaan
seperti Maulid. Seperti di Sulawesi Selatan yang merayakan Mualid dengan cara
yang unik. Perayaan Maulid tersebut dinamakan Maudu Lompoa atau Maulid Akbar.
Bahkan dirayakan lebih ramai dari hari raya Idul Fitri.
Maudu Lompoa berarti
Maulid Besar atau lebih dikenal sebagai puncak peringatan maulid. Dalam
perayaan ini, warga mengarak replika perahu Pinisi yang dihias beraneka ragam
kain sarung dan dipamerkan di tepi sungai. Salah satu daerah yang terkenal
dalam perayaan ini ialah Desa Cikoang, Kecamatan Laikang, Kabupaten Takalar,
Sulawesi Selatan.
Setelah dipamerkan,
replika perahu sepanjang lima meter tersebut diangkat dan diarak warga keliling
desa. Sepanjang acara, tabuhan gendang atau seni musik Gandra Bulo khas
masyarakat lokal terus terdengar.
Di dalam perahu,
disimpan makanan nasi ketan khas Makassar atau biasa disebut Songkolo dan
dihias telur berwarna-warni. Sajian makanan ini melambangkan bahtera yang
membawa berkah bagi masyarakat Cikoang. Setelah prosesi arak selesai, makanan
ini dipersembahkan dalam puncak Maudu Lompoa di Baruga, yang dipimpin oleh
pemimpin ritual yang biasa disebut Sayye.
Secara historis,
perayaan Maudu Lompoa ini melambangkan sejarah masuknya agama Islam di wilayah
selatan pulau Sulawesi yang dibawa oleh pedagang-pedagang Arab. Peringatan
Maudu Lompoa ini juga menjadikan Cikoang, yang berjarak 80 kilometer dari
Makassar menjadi tujuan wisata budaya yang menarik bagi wisatawan.
Maulid di Arab
Dalam bangsa Arab,
perayaan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW menurut catatan Ahmad
Tsauri (Sejarah Maulid Nabi, 2015) sudah dirayakan oleh masyarakat Muslim sejak
tahun kedua hijriah.
Catatan tersebut
merujuk pada Nuruddin Ali dalam kitabnya Wafa’ul Wafa bi Akhbar Darul Mustafa.
Dalam catatan tersebut dijelaskan bahwa seorang bernama Khaizuran (170 H/786 M)
yang merupakan ibu dari Amirul Mukminin Musa al-Hadi dan al-Rasyid datang ke
Madinah dan memerintahkan penduduk mengadakan perayaan Maulid Nabi Muhammad di
Masjid Nabawi.
Dari Madinah,
Khaizuran juga menyambangi Makkah dan melakukan perintah yang sama kepada
penduduk untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad. Jika di Madinah bertempat di
masjid, Khaizuran memerintahkan kepada penduduk untuk merayakan Maulid di
rumah-rumah mereka.
Khaizuran merupakan
sosok berpengaruh selama masa pemerintahan tiga khalifah Dinasti Abbasiyah,
yaitu pada masa Khalifah al-Mahdi bin Mansur al-Abbas (suami), Khalifah al-Hadi
dan Khalifah al-Rasyid (putra). Karena pengaruh besarnya tersebut, Khaizuran
mampu menggerakkan masyarakat Muslim di Arab. Hal ini dilakukan agar teladan
ajaran dan kepemimpinan mulia Nabi Muhammad bisa terus menginspirasi warga
Arab.
Pada masa Dinasti
Abbasiyah, pembaruan pemikiran memang banyak terjadi di semua sektor kehidupan,
dari perkembangan ilmu-ilmu umum, arsitektur, hingga situs-situs sejarah.
Khaizuran merupakan salah satu sosok yang mempunyai perhatian besar terhadap
Nabi Muhammad beserta situs-situs sejarah peninggalan Nabi. Termasuk
memprakarsai penghormatan terhadap kelahiran Rasulullah SAW. []
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar