Ketika Habib yang Alim Hormat kepada Kiai NU
Habib Ali bin Husein Al-Aththas (1889 M-1976
M) terkenal sebagai salah satu dari tiga serangkai habib di Jakarta pertengahan
abad ke-20 M. Habib Ali bermigrasi dari negeri kelahirannya Huraidhah di
Hadhramaut ke Indonesia dan menetap di Jakarta.
Habib Ali Al-Aththas dikenal juga dengan
panggilan Habib Ali Bungur (Senen) atau Habib Ali Cikini karena ia pernah
tinggal di dua daerah tersebut. Habib Ali Cikini merupakan ulama besar yang
sangat disegani. Ia memiliki banyak murid yang terdiri atas habaib dan para
kiai berpengaruh di Jakarta, Jawa Timur, hingga Malaysia.
Berbeda dari habib lain yang menyampaikan
ajaran Islam melalui ceramah, Habib Ali Cikini memilih jalur pengajian kitab.
Ia mengajarkan banyak kitab induk hadits, tafsir, ushul fiqih, dan kitab-kitab
fiqih yang dianggap sebagai “kitab besar” saat itu. Tidak heran kalau habaib di
Indonesia memberikan julukan "lautan ilmu" kepadanya.
Suatu hari habib yang dikenal jarang
berbicara ini tidak hadir di sejumlah majelis taklim untuk menjalankan
aktivitasnya dalam pengajian. Ketidakhadiran Habib Ali Cikini di majelis taklim
kemudian diketahui karena kondisi kesehatannya yang menurun.
KHM Syafi’i Hadzami (1931 M-2006 M) salah
satu murid Habib Ali Cikini datang ke rumahnya untuk menjenguk. Muallim Syafi’i
Hadzami (Rais Syuriyah PBNU 1994 M-1999 M) melepas sandalnya di muka rumah Habib
Ali Cikini dan mengetuk pintu. Jawaban atas salam Muallim Syafi’i Hadzami
terdengar sayup dari dalam rumah.
Sampai di dalam Muallim Syafi’i Hadzami
menanyakan keadaan gurunya dan seterusnya. Tahu Muallim Syafi’i Hadzami
telanjang kaki, Habib Ali meminta muallim untuk memakai sandalnya. Tentu saja
Muallim Syafi’i Hadzami menolak permintaan gurunya karena sebuah praktik yang
sangat tidak lazim mengenakan sandal hingga ke dalam rumah guru.
Permintaan Habib Ali bukan pemanis bibir
belaka. Ia kembali meminta Muallim Syafi’i Hadzami untuk mengenakan sandalnya
yang dilepas di luar. Tetapi lagi-lagi Muallim Syafi’i Hadzami menolaknya.
Tidak berapa lama, Habib Ali meninggalkan kamarnya. Habib Ali mengambilkan
sandal Muallim Syafi’i Hadzami dan meminta muridnya untuk mengenakan sandal di
kamar sang guru.
“Kalau bukan kecintaan yang sangat besar
kepada muridnya ini, rasanya Habib Ali tidak akan melakukan hal itu. Beliau
mencintai semua muridnya, tetapi Muallim Syafi’i diperlakukan secara khusus
olehnya. Kecintaan dan perhatian Habib Ali Bungur kepada Muallim juga diakui
dan diketahui oleh murid-murid beliau yang lain. Murid-murid Habib Ali yang
lain banyak yang mendengar cerita darinya tentang keistimewaan Muallim Syafi’i
Hadzami,” (Ali Yahya, 2012: 44).
Habib Ali Cikini pernah membuat syair yang
ditujukan untuk Muallim Syafi'i Hadzami yang lebih menonjol di antara
murid-muridnya yang lain.
مَنْ
لِي بِمِثْلِ سَيْرِكَ المُذَلَّلِ
تَمْشِي
رُوَيْدَ وَتَجِي بِالأَوَّلِ
Artinya, “Siapa yang dapat menunjukkan
kepadaku seperti perjalananmu yang dimudahkan. Engkau berjalan perlahan-lahan,
tetapi engkau sampai terlebih dahulu.
Habib Ali Cikini melafalkan syair ini di
hadapan sejumlah kiai dan habib yang menjadi sahabat mengaji Muallim Syafi’i
Hadzami di saat Habib Ali tahu bahwa rekaman siaran tanya jawab agama asuhan
Muallim Syafi’i Hadzami di Radio Cenderawasih pimpinan Sechan Al-Aththas
dicetak dalam bentuk buku dengan judul Taudhihul Adillah jilid I pada
1971 M.
Taudhihul Adillah adalah kitab yang
memuat 100 pertanyaan berbagai persoalan dari masyarakat dan fatwa keagamaan
yang disiarkan di Radio Cenderawasih. Kitab Taudhihul Adillah terus
keluar hingga berjumlah 7 jilid.
Kitab Taudhihul Adillah hampir sama
dengan Kitab Ahkamul Fuqaha (saat itu belum dicetak), kumpulan putusan
keagamaan yang berisi tanya-jawab dalam forum muktamar, munas, dan konbes NU
sejak 1926 M hingga kini. Kitab ini menjadi rujukan masyarakat pada umumnya
perihal keagamaan. Kitab ini cukup laku keras di pasaran karena buku semacam
ini terbilang langka di zamannya. Kitab ini membuka akses bagi masyarakat yang
tidak dapat atau memiliki kompetensi "ala kadarnya" terhadap kitab
kuning sebagai rujukan keagamaan.
Kemiripan kedua kitab ini tampak pada format,
corak, dan referensi yang digunakan. Bedanya terletak pada jumlah pengambil
putusannya. Pengambil putusan dalam Ahkamul Fuqaha adalah peserta
muktamar, munas, dan konbes NU dari cabang dan wilayah NU se-Indonesia.
Sementara Kitab Taudhihul Adillah merupakan “ijtihad” seorang Betawi
Muallim Syafi’i Hadzami.
Habib Ali Cikini senang mendengarkan siaran
keagamaan asuhan Muallim Syafi’i Hadzami di radio. Ia kerap menyatakan kepuasan
atas jawaban-jawaban Muallim Syafi’i Hadzami dan memuji murid kesayangannya itu.
Habib Ali juga kerap memberikan panggung
kepada muridnya itu untuk menyampaikan ceramah agama di pelbagai kesempatan
yang dihadiri oleh habaib, para kiai, dan umat Islam. Sepekan sebelum wafat,
Habib Ali memberikan ijazah ilmu kepada muridnya itu dengan sanad yang
tersambung hingga Rasulullah SAW.
Profil Singkat Habib Ali Cikini
Habib Ali bermigrasi dari negeri kelahirannya
Hadhramaut ke Indonesia dan menetap di Jakarta. Ia seorang traveller yang tidak
berpikir untuk pulang ke tanah halamannya sebagai konon citra sufi zaman dulu.
Ia telah mencapai makrifat yang tidak lagi memandang manusia dari bangsa dan
keturunannya.
Habib Ali yang alim dan banyak karamahnya ini
adalah salah satu dari tiga serangkai habib berpengaruh di Jakarta. Dua habib
lainnya adalah Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Habib Ali Kwitang) dan
Habib Salim bin Jindan.
Habib Ali Cikini lahir pada 1 Muharram 1309 H
(1889 M) di Huraidhah, Hadhramaut. Ia wafat pada 16 Februari 1976 dan
dimakamkan di dekat Masjid Al-Hawi, Condet, Jakarta Timur.
Pada 1912 M, ia berangkat haji ke Mekkah dan
menetap selama lima tahun untuk menuntut ilmu di dalamnya. Pada 1917 M, ia
kembali ke tanah airnya, Huraidhah. Tiga tahun kemudian pada 1920 M, ia tiba di
Jakarta. Ia dikenal sangat alim, terutama bidang fiqih perbandingan mazhab.
Tokoh terkemuka yang pernah berguru kepadanya
antara lain adalah Habib Muhammad bin Ali Al-Habsyi Kwitang, Habib Abdullah bin
Abdul Qadir Bilfaqih (Malang), KH Abdullah Syafi‘i Tebet, KH Thohir Rohili Kp
Melayu, KH Abdurrazak Makmun Mampang-Kuningan, KH M Naim Cipete, Prof KH
Abubakar Aceh, KH Noer Ali Bekasi, Habib Abdurrahman Assegaf Tebet, KHM Syafi’i
Hadzami Kebayoran Lama.
Habib Ali menulis Kitab Tajul A’ras fi
Manaqib Al-Qutub Al-Habib Shaleh bin Abdullah Al-Attas, sebuah kitab
sejarah para ulama Hadhramaut yang pernah ia jumpai, dari masa penjajahan
Inggris di Hadhramaut, hingga sekilas perjalanan para ulama Hadramaut di
Indonesia. Karyanya ini juga memuat beberapa kajian ilmu tasawuf dan Thariqah
Alawiyah. []
(Alhafiz K)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar