Hukum Bercadar, antara
Perintah Agama dan Budaya?
Batas aurat perempuan terdapat khilafiyah
pendapat di kalangan ulama’ fiqih. Secara literal kata aurat memiliki dua
makna; pertama celah yang terbuka, makna ini merujuk pada Surat Al-Ahzab ayat
13. Sedang makna lainnya adalah anggota tubuh yang harus ditutupi dan akan
membuat malu jika dilihat orang lain, arti ini merujuk pada Surat An-Nur ayat
31.
Dalam ilmu fiqih, aurat yang dimaksud adalah
yang termaktub dalam Surat An-Nur:
وَقُل
لِّلۡمُؤۡمِنَٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا
يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَاۖ وَلۡيَضۡرِبۡنَ بِخُمُرِهِنَّ
عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّۖ
Artinya, “Katakanlah kepada wanita yang
beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya,
dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak
darinya. Dan hendaklah mereka menutup kain kerudung pada dadanya,” (Surat
An-Nur ayat 31).
Menurut Ibnu Rusyd dan As-Syaukani, semua
ulama’ fiqih merujuk pada ayat ini dalam menentukan batas aurat perempuan.
Hanya saja letak perbedaan kemudian ada pada kalimat:
إِلَّا
مَا ظَهَرَ مِنۡهَا
Kecuali yang memang biasa terbuka.
Banyak interpretasi yang kemudian muncul dari
pengecualian tersebut. Sebagian mengatakan, “Kecuali yang biasa terbuka” adalah
muka dan kedua telapak tangan. Dari tafsir tersebut bisa diambil simpulan bahwa
muka dan telapak tangan perempuan bukanlah aurat. Ulama yang berpendapat
demikian adalah Imam Syafi’i, Hanafi dan Maliki. Ayat yang menunjukkan batasan
tersebut diperkuat oleh interpretasi dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Ibnu Abbas RA:
عن
عا ءشة ان اسماء بنت ابو بكر دخلت على رسول الله صلى الله عليه وسلم وعليها ثياب
رقاق فاءعرض عنها رسول الله صلى الله عليه وسلم وقال يا اءسماء ان المراءه اذا
بلغت المحيض لم يصلح ان يرى منها الا هذا وهذا و اشار الى وجهه وكفه .اخرجه ابو
داود.
Artinya, “Dari Aisyah RA bahwa Asma’ binti
Abu Bakar masuk ke rumah/kamar Rasulullah SAW, dia memakai pakaian yang tipis,
kemudian Rasul berpaling darinya seraya berkata, ‘Wahai Asma, sesungguhnya,
perempuan jika sudah haid tidak boleh diperlihatkan tubuhnya kecuali ini dan
ini,’ Rasul menunjuk pada muka dan telapak tangan,” (HR Abu Dawud).
Kendati demikian, banyak Ulama’ yang silang
pendapat berkenaan dengan aurat perempuan yang masuk dalam kategori (Kecuali
yang memang biasa terbuka). Sebagian Ulama’ lain berkata jika muka, telapak
tangan dan kaki termasuk dalam pengecualian tubuh yang tidak harus ditutupi,
yakni bukan termasuk aurat.
Berbeda dari ketiga Imam, yakni Syafi’I,
Hanafi dan Maliki, Imam Hanbali berhujjah sebaliknya yakni “Tubuh perempuan
adalah aurat tanpa terkecuali” dan Imam Hanbali merujuk pada teks hadits:
قال
النبي الله صلى الله عليه وسلم: المرءة عورة مستورة
Artinya, “Nabi Saw bersabda, ‘Perempuan
adalah aurat yang (harus) tertutup.’”
Namun dalam menjelaskan hadits yang termaktub
di atas, Imam Hanbali tetap mengecualikan (takhshish) muka dan telapak tangan
adalah anggota yang tidak wajib ditutup.
Perbedaan pendapat Ulama’ tentang batasan
aurat perempuan memiliki banyak tafsir dengan rujukan hadist yang berbeda
hingga kemudian ada yang menggunakannya sebagai dalil untuk memakai
cadar.
Perintah menutup aurat perempuan adalah dari
agama (teks syara’) namun batasan berkenaan dengan aurat ditentukan berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan konteksnya.
Dengan demikian, hal yang tidak bisa
dihilangkan adalah realitas menentukan batasan atau interpretasi aurat
perempuan. Beberapa Ulama’ memperbolehkan wajah, telapak tangan dan kaki tidak
ditutupi karena suatu keperluan (lil hajah) atau menutup anggota tersebut
menjadi suatu kesulitan atau memberatkan (daf’an lil haraj wal masyaqqah).
Sama halnya, jika menutup seluruh wajah
(memakai cadar) menjadi sebuah kebutuhan atau karena dihawatirkan dengan alasan
tertentu, semisal di Arab Saudi cadar menjadi budaya dan kebutuhan perempuan
Arab maka memakai cadar sah-sah saja dilakukan.
Khilafiyah ulama’ atas batasan aurat
perempuan tentu sudah masyhur dan dibahas di kitab fiqih klasik, bagi perempuan
boleh memakai pendapat Imam Syafii, Hanafi dan Maliki yang memperbolehkan muka,
telapak tangan dan kaki tidak tertutup atau memakai pendapat ulama’ lain yang
mengharuskan menutup seluruh tubuh. Wallahu a'lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar