Praktik
Politik Ekonomi ala Rasulullah
Selain sebagai seorang nabi dan utusan Allah, Rasulullah adalah seorang pemimpin ‘negara Islam.’ Ia menjadi pucuk pimpinan negara Madinah. Kemudian wilayahnya semakin luas setelah menaklukkan Makkah dalam peristiwa Fathu Makkah dan wilayah lainnya. Dengan demikian tugas Rasulullah tidak hanya mendakwahkan agama Islam, akan tetapi juga mensejahterakan kehidupan umat Islam di bawah naungan negara yang ia pimpin.
Apapun yang menjadi
urusan dan kebutuhan masyarakat Muslim pada saat itu, secara otomatis juga menjadi
tanggung jawab Rasulullah. Setidaknya ada lima langkah politik dan ekonomi yang
ditempuh Rasulullah untuk mewujudkan kesejahteraan dan memenuhi kebutuhan umat
Islam tersebut, sebagaimana keterangan dalam kitab Syakshiyah Ar-Rasul.
Pertama, memanfaatkan
kekayaan alam secara optimal. Rasulullah adalah orang yang sangat jeli dalam
memanfaatkan kekayaan alam demi kesejahteraan bersama. Dalam mengoptimalkan
kekayaan alam, Rasulullah membuat beberapa kebijakan seperti menyerukan kepada
umat Islam untuk menghidupkan lahan-lahan yang mati dengan cara suatu tanaman
atau menabur benih di atasnya. Rasulullah tidak membiarkan ada lahan sejengkal
pun di wilayah kekuasaan umat Islam yang mati atau tidak dikelola.
Dalam mengoptimalkan
pemanfaatan kekayaan alam, Rasulullah juga tidak segan-segan menempuh politik
ekonomi bagi hasil dengan orang yang ahli di bidangnya. Misalnya, suatu ketika
Rasulullah hendak mengusir kaum Yahudi dari Khaibar karena mereka mengkhianati
perjanjian bersama. Namun, kaum Yahudi meminta kepada Rasulullah agar mereka
tetap diizinkan untuk tinggal di Khaibar dengan alasan mereka lah orang yang
lebih mengetahui cara mengelola tanah Khaibar.
Rasulullah akhirnya
membiarkan mereka untuk tinggal di Khaibar dan mengolah tanahnya. Namun
Rasulullah memberikan syarat, yaitu setengah hasil kekayaan tanah Khaibar untuk
kaum Muslim. Mereka juga diizinkan tinggal di sana dalam waktu tertentu hingga
kaum Muslim pandai mengelola tanah Khaibar sendiri.
Kedua, fasilitas umum
tidak boleh dikuasai individu. Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bersama,
Rasulullah juga menerapkan kebijakan yang ketat dalam dalam hal kepemilikan.
Rasulullah tidak mengizinkan fasilitas yang memiliki manfaat umum seperti
tambang garam, tempat menggembala, jalan, sumur, dan lainnya dimiliki dan
dikuasai oleh satu dua orang saja.
Dalam sebuah hadits
yang diriwayatkan Abu Daud dan Tirmidzi, Abyadh bin Hammal meminta Rasulullah
sebuah kapling tambang garam di Ma’rib. Rasulullah pun memberikannya. Namun
beberapa saat kemudian, ada seseorang yang protes kepada Rasulullah. Ia
menginformasikan kepada Rasulullah kalau apa yang telah diberikan Rasullah
kepada Abyadh bin Hammal ada sumber air yang mengalir terus menerus. Seketika
itu juga Rasulullah langsung mencabut hak kepemilikan Abyadh bin Hammal atas
kapling tambang garam tersebut.
Ketiga, mendorong
masyarakat untuk bekerja keras dan kreatif. Rasulullah sadar bahwa untuk
mendirikan negeri yang kuat maka harus ditopang dengan ekonomi yang kuat pula.
Sementara ekonomi yang kuat hanya bisa diwujudkan manakala masyarakatnya
bekerja secara keras dan kreatif. Untuk itu, Rasulullah selalu mendorong umat
Islam untuk bekerja keras dengan tangan-tangan mereka sendiri, bukan dengan
tangan-tangan budak atau tenaga kerja asing.
“Tidak ada makanan
yang lebih baik dimakan oleh seseorang selain makanan yang dimakan dari hasil
tangannya sendiri. Dan sesungguhnya nabi Allah Daud memakan dari hasil
tangannya sendiri,” kata Rasulullah dalam hadits riwayat Bukhari.
Keempat, menjaga
harga agar stabil. Rasulullah menjaga betul stabilitas harga bahan-bahan,
terutama bahan pokok. Rasulullah melarang seseorang membeli barang tanpa
mengetahui harga yang ada di pasar. Rasulullah juga mewanti-wanti agar
seseorang yang tidak mencegat para petani atau pemasok barang di tengah jalan
sebelum sampai pasar dan kemudian menimbunnya. Rasulullah sangat melarang
praktik-praktik seperti ini. Mengapa? Jika ini terjadi, maka harga di pasar
akan melambung tinggi. Dalam sebuah hadits, Rasulullah menegaskan bahwa siapa
pun yang menimbun barang atau makanan selama 40 malam, maka ia telah melepaskan
diri dari Allah. Begitu pun sebaliknya. Allah juga telah melepaskan diri
darinya.
Terakhir,
redistribusi aset. Rasululla tidak membiarkan yang kaya semakin kaya dan yang
miskin semakin miskin. Oleh sebab itu, Rasulullah menjalankan politik ekonomi
redistribusi kekayaan secara adil. Misalnya pada tahun-tahun pertama hijriyah,
Rasulullah banyak mengirim tentara kaum Muhajirin dari pada Anshar dalam sebuah
peperangan. Tidak lain alasannya adalah agar kaum Muhajirin bisa mendapatkan
harta rampasan perang dan memperbaiki kondisi perekonomian mereka yang terpuruk
setelah hijrah ke Madinah. Bahkan, dalam beberapa peperangan dan ekspedisi
Rasulullah hanya mengirim tentara dari kaum Muhajirin saja.
Begitu pun dengan
ajaran Islam yang bersifat sosial seperti zakat mal, zakat fitrah, sedekah,
infak, dan lainnya. Semestinya hal tersebut menjadi kontribusi efektif dalam
mengikis gap antara yang kaya dan yang miskin. []
(A Muchlishon
Rochmat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar