Jumat, 01 November 2019

(Ngaji of the Day) Keadilan Ekonomi dalam Islam Menurut Imam al-Ghazali


Keadilan Ekonomi dalam Islam Menurut Imam al-Ghazali

Ekonomi Islam pada dasarnya dibangun berdasarkan sistem ekonomi pasar. Anda bisa lihat kembali kitab fiqih. Pasal pertama dalam muamalah selalu berbicara soal jual beli (bai‘) yang berisikan penjelasan tentang syarat dan rukun jual beli, serta pembagian jual beli apakah sah atau tidak dilihat dari sisi akad dan barang.

Berpaku pada bangunan utama bahwa sistem ekonomi Islam adalah berdasarkan ekonomi pasar, maka seharusnya “keadilan ekonomi” di wilayah yang berpenduduk mayoritas Muslim sudah bukan lagi menjadi bahan pertanyaan yang penting dalam keseharian masyarakat. Namun, faktanya pertanyaan itu tidak bisa hilang. Bahkan dalam situasi BBM (Bahan Bakar Minyak) sedang naik atau turun, harga barang mengalami inflasi atau deflasi, selalu saja hal ini dijadikan alasan telah terjadi ketidakadilan dalam sistem ekonomi. 

Padahal, bagaimanapun juga, dalam sistem ekonomi pasar, selalu berlaku yang dinamakan keadilan pasar. Barang yang harganya tinggi dengan kualitas yang biasa tidak akan laku dijual, sementara barang yang diproduksi oleh Usaha Kecil Menengah (UKM) dan tidak memiliki pangsa internasional, akan tetap dinilai tinggi manakala kualitas barang juga tinggi. Inilah prinsip keadilan pasar itu. 

Rukun pasar dalam hukum ekonomi Islam, antara lain adalah wajib adanya produsen, konsumen, distributor dan pemerintah serta institusi ekonomi. Anda bisa membuka kitab Ihyâ Ulum al-Dîn li al-Ghazâli, Juz 4. Asal muasal dari rukun ini adalah wajib adanya produsen dan konsumen saja. Namun, seiring pertimbangan distribusi ke berbagai wilayah, maka masuk di dalamnya ada distributor produk. Pemerintah berperan mengawasi harga lewat institusi ekonomi yang didirikannya serta berperan memberikan jaminan terhadap keberlangsungan transaksi antara produsen dan konsumen tersebut sehingga tidak ada yang dirugikan antara satu sama lain (Al-Ghazali, Ihyâ Ulûm al-Dîn, Juz 4, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.: 94).

Jadi, apabila masih dijumpai adanya ketidakadilan, maka yang perlu dipertanyakan adalah peran dari elemen-elemen ekonomi penyusun rukun ekonomi itu. Bisa jadi objek permasalahannya ada pada produsen, atau mungkin ongkos distribusi yang terlalu tinggi diakibatkan sarana untuk menuju ke wilayah konsumen menjadi sulit dijangkau. 

Jika keadilan ekonomi itu terjadi akibat pemerintah dan institusi ekonomi, maka ada kemungkinan munculnya ketidakadilan tersebut adalah disebabkan ketidakberpihakan kebijakkan terhadap konsumen dan produsen. Misalnya adalah disebabkan bea distribusi yang tinggi, lewat pajak atau cukai. Bisa jadi juga akibat pejabat yang korup yang melakukan pemalakan liar terhadap pihak konsumen dan distributor sehingga menyebabkan bea produksi menjadi semakin tinggi ketika barang tersebut telah sampai kepada konsumen. 

Kadangkala, sebagian ekonom menerapkan parameter keadilan ekonomi berdasarkan pada terjadi atau tidaknya krisis moneter. Menurut al-Ghazali, memang salah satu instrumen mewujudkan kesejahteraan masyarakat, adalah dibutuhkan pada perhatian tidak hanya kepada keempat rukun ekonomi di atas. Perhatian lain juga harus sama diberikan kepada penjagaan jumlah uang yang beredar di masyarakat (penjagaan moneter) dan perilaku konsumtif masyarakat. Menurut al-Ghazali, krisis moneter terjadi karena hal berikut:

وكل من عامل معاملة الربا على الدرهم والدنانير فقد كفر النعمة وظلم لأنهما خلقا لغيرهما لالنفسهما إذ لاغرض في عينهما فإذا اتجر في عينهما فقد اتخذهما مقصودا على خلاف وضع الحكمة إذ طلب النقود لغير ما وضع له ظلم وكموقع المرآة من الألوان فأما من معه نقد فلو جاز له أن يبيعه بالنقد فيتخذ التعامل على النقد غاية عمله فيبقى النقد مقيدا عنده وينزل منزلة المكنوز

Artinya: “Setiap orang yang melakukan muamalah riba (pertukaran uang) atas (mata uang) dirham dan dinar maka sesungguhnya ia telah kufur nikmat dan telah berbuat dhalim karena keduanya diciptakan bukan untuk ditukarkan dengan selain keduanya dan bukan untuk sesamanya. Hal ini mengingat keduanya bukan untuk tujuan ‘ain-nya, maka dari itu apabila keduanya diperdagangkan, maka sama artinya dengan telah memperlakukannya tidak sebagaimana dimaksud sebelumnya. Oleh karena itulah, maka memperlakukan keduanya tidak sebagaimana fungsinya merupakan sikap dhalim. Ibarat cermin yang merefleksikan warna-warna, demikianlah seseorang yang bersamanya sebuah mata uang. Apabila ia diperbolehkan untuk menjual uang, padahal uang menjadi perantara muamalahnya sehari-hari, jadilah kemudian uang yang beredar menjadi terbatas. (Al-Ghazali, Ihyâ Ulûm al-Dîn, juz 4, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.: 94)

Al-Ghazali mengibaratkan uang layaknya sebuah cermin. Cermin tidak punya warna namun dapat merefleksikan semua warna. Jika cermin dijual, maka tidak akan terefleksi lagi warna-warna. Uang bukanlah komoditas sehingga tidak dapat diperjualbelikan. Memperjualbelikan uang adalah ibarat memenjarakannya, sebab hal ini akan mengurangi jumlah yang beredar dan berfungsi sebagai alat tukar. Efeknya kemudian adalah timbul krisis. 

Singkatnya bahwa perdagangan mata uang merupakan pangkal dari krisis. Namun, apakah benar bahwa krisis moneter dapat berlaku sebagai tolok ukur ketidakadilan pasar? Menurut al-Ghazali, pasar memiliki tabiat dasar yang bersifat alami. Ia tidak dipengaruhi oleh jumlah uang yang beredar, melainkan dipengaruhi oleh faktor distribusi barang dan permintaan. Kurang lebihnya al-Ghazali menjelaskan bahwa bisa saja petani hidup tanpa keberadaan alat-alat pertanian di sisinya. Namun hal itu tidak dapat dilakukan oleh tukang kayu yang tidak memiliki lahan pertanian. Kebutuhan imbal balik untuk saling melengkapi antara tukang kayu dan petani merupakan akar dari pasar. Tabiat ini akan selalu ada seiring manusia tidak dapat memenuhi beberapa kebutuhannya sendiri. 

Jadi pada prinsipnya, keadilan ekonomi tidak dipengaruhi oleh peredaran keuangan, melainkan oleh tabiat dasar manusia yang membentuk pasar. Tabiat pasar ini akan dengan sendirinya terbentuk seiring ruang dan waktu yang memisahkan antara produsen dan konsumen. Jadi, dalam mewujudkan keadilan pasar, maka peran pokok keempat rukun ekonomi pasar di atas, merupakan sarana pokok yang mutlak diusahakan. Semakin kecil hambatan yang menghalangi sampainya distribusi barang ke konsumen, maka semakin kecil pula jurang terjal ketidakadilan bisa dikurangi. 

Bersyukurlah Indonesia, dengan konsentrasi pembangunan infrastruktur yang hari ini sedang digalakkan oleh pemerintah. Infrastruktur merupakan bagian dari memperkecil gap harga antara tempat produksi dengan konsumen. Tetap bersyukur menjadi warga dan negara Indonesia. Wallâhu a’lam bi al-shawab. []

Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri P. Bawean dan saat ini menjabat sebagai Tim Peneliti dan Pengkaji Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jatim dan Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBM PWNU Jatim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar