Keseimbangan Negara-Masyarakat
Oleh: Komaruddin Hidayat
Setelah berhasil menerbitkan Why
Nations Failed (2013), Daron Acemoglu & James A Robinson
menerbitkan buku terbarunya The
Narrow Corridor (2019).
Pemikirannya menarik disimak untuk membaca perkembangan politik
kenegaraan Indonesia yang begitu dinamis, sebuah pergulatan sejarah untuk
meraih keseimbangan antara: negara, masyarakat, dan kebebasan warganya.
Sejarah bangsa selalu menghadapi turbulensi politik, akibat ayunan pendulum
yang kontradiktif, antara tuntutan kebebasan warganya dan kebutuhan institusi
negara yang kuat. Keduanya sering tak mudah disinkronkan.
Sebelum muncul institusi ”negara” (state), masyarakat tetap memerlukan
keteraturan hidup dan rasa aman. Maka bermunculan tatanan sosial yang bersifat
hierarkis, yang dikendalikan orang kuat dan karismatik, diperkuat baik oleh
sentimen etnis maupun agama. Struktur sosial seperti ini oleh Acemoglu disebut cage of norms.
Problem yang dihadapi Pemerintah Afghanistan hari-hari ini salah
satunya adalah kekuatan komunalisme eksklusif seperti Pashtuns dan kelompok
lain yang eksistensinya bagaikan negara dalam negara sehingga sulit menciptakan
perdamaian nasional. Komunitas Pashtuns sangat setia memegang aturan oleh hukum
dan tradisi lokal yang sangat ketat, yang sebagian diambil dari agama yang
mereka pahami.
Posisi perempuan sangat terbelakang, seakan sekadar pelengkap kaum
laki-laki. Menurut Acemoglu, komunitas yang terkurung dalam cage of norms ini masih
kuat di sejumlah negara Afrika.
Kemunculan ”Leviathan”
Adalah Thomas Hobbes (1588-1679) seorang pemikir Inggris yang
mewariskan salah satu karyanya yang monumental berjudul Leviathan. Dia lahir dan
tumbuh dalam suasana perang sehingga merasa hidupnya dibayangi oleh rasa
takut yang mencekam akibat perang di Eropa waktu itu. Melihat suasana kacau dan
saling terkam, dia sampai pada sebuah kesimpulan manusia itu pada dasarnya
serigala bagi yang lain.
Homo homini lopus. Siapa yang kuat akan menerkam
yang lemah. Perang adalah kondisi permanen manusia, sedangkan damai hanyalah
situasi interval ketika setiap pihak memiliki kekuatan yang seimbang untuk
menghancurkan yang lain sehingga pertimbangan rasionalnya mereka memilih damai,
tepatnya gencatan senjata, ketimbang sama-sama hancur.
Menyadari kecenderungan dasar manusia bagaikan serigala bagi yang
lain, menurut Hobbes, rakyat memerlukan negara kuat untuk menjamin keamanan
mereka sekalipun dengan imbalan menyerahkan kebebasannya pada negara agar
terhindar dari ancaman dan perang yang mengerikan.
Karena Leviathan sangat menekankan keamanan yang merampas
kebebasan warganya, sesungguhnya Leviathan tak ubahnya sebuah monster.
Celakanya, pengendali kekuasaan negara menikmati self-glory di atas ketakutan rakyat yang
sengaja dipelihara. Pemerintahan Korea Utara mungkin mendekati model ini.
Sejak revolusi Perancis (1789-1799) yang memperjuangkan prinsip
kebebasan, persamaan, dan persaudaraan (liberte,
egalite, fraternite) pemerintahan monarki absolut di Eropa
bertumbangan diterjang gerakan demokratisasi. Rakyat merayakan kebebasan dari
berbagai gagasan dan kekuatan yang membelenggu. Kekuasaan gereja yang semula
mengatasnamakan suara dan kehendak Tuhan mendapat perlawanan.
”Jika orang masih mengakui kekuasaan di luar manusia, yaitu Tuhan,
berarti mereka belum menjadi orang yang terbebaskan,” kata Sartre. Oleh karena
itu, dalam mengendalikan sebuah pemerintahan dan negara, Tuhan dan agama
jangan disertakan karena akan mengajak pada sikap absolutistik yang menindas
kebebasan manusia.
Jika negara terlalu kuat dan serba mengancam kebebasan warganya,
ia menggali kuburannya sendiri. Rakyat yang semula apatis dan merasa tertekan
pada urutannya akan terkonsolidasi dan mengeras menjadi gelombang perlawanan.
Namun, sebaliknya, rakyat yang terlalu bebas dan tak mematuhi rambu-rambu etika
dan hukum juga akan membuat negara, pemerintahan dan masyarakat lemah, tak akan
mampu melaksanakan agenda pembangunan.
Oleh karenanya, dalam istilah Daron Acemoglu, masyarakat mesti
memiliki kekuatan tawar sehingga muncul Shackled Leviathan, atau kekuatan
negara yang terkendali agar tak masuk perangkap menjadi despotic leviathan.
Kita punya pengalaman pahit semasa Orde Baru yang gagal menjaga keseimbangan antara kekuatan negara dan kebebasan masyarakat. Demokrasi terpimpin sesungguhnya gagasan genius dan realistis bagi masyarakat Indonesia yang sangat besar dan majemuk.
Ada ruang bersama antara negara dan masyarakat untuk membicarakan
agenda bangsa. Akan tetapi, pemerintah Orde Baru tak memberi ruang cukup bagi
masyarakat serta gagal mempertahankan prestasinya menjaga birokrasi yang
wibawa, bersih dan melayani sehingga ibarat kereta api, deru pembangunan yang
tengah melaju cepat tiba-tiba berhenti mendadak.
Berbagai gerbong dan komponennya pada kendur dan lepas berantakan.
Bagasinya tumpah ke mana-mana. Kita mengalami turbulensi dan disrupsi politik
yang menjungkirbalikkan kehidupan bernegara yang memerlukan waktu minimal satu
generasi untuk menemukan kembali keseimbangan baru.
Ormas dan godaan kekuasaan
Kemunculan reformasi dan kebijakan baru yang ditempuh ditandai
dengan semangat kritik dan antitesis terhadap kebijakan dan budaya politik Orde
Baru. Undang-undang desentralisasi kekuasaan, pembatasan masa jabatan presiden,
multipartai dan kebebasan pers, kesemuanya itu merupakan pendulum antitesis
dari budaya politik Orde Baru. Dari semua itu yang paling sukses adalah
terciptanya kebebasan pers dan pembatasan masa jabatan presiden.
Kebebasan tidak datang secara alami melainkan mesti diperjuangkan.
Dalam bahasa pesantren: alhurriyyah
tuthlab, la tu’tha. Kemerdekaan itu dicari, bukannya diberikan.
Yang alami justru kekuasaan itu cenderung menindas dan korup. Makanya, jalan
kebebasan atau kemerdekaan itu kalau tidak diperjuangkan dan dikawal oleh
masyarakat akan menyempit, seperti tersirat dalam judul buku: The Narrow Corridor.
Di Indonesia peran ormas itu sangat instrumental untuk mengimbangi
kekuatan negara. Dua ormas besar, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, mesti
menyadari peran sejarah dan politiknya untuk menjinakkan Leviathan agar
kekuatan sipil tidak lumpuh di hadapan negara yang cenderung hegemonik.
Terlebih saat ini ketika partai politik juga tersedot ke dalam
jejaring kekuasaan negara, maka dua ormas di atas bersama ormas lain dan
jajaran intelektual independen mesti tampil sebagai penyeimbang secara tegas
dan kritis untuk menjaga keseimbangan antara negara dan masyarakat. Bagi ormas
memang ini sebuah godaan terlebih lagi ketika mereka memiliki saham suara yang
banyak dalam memenangkan pertarungan pilpres.
Menurut Acemoglu dan Robinson, pengalaman panjang negara Amerika
Serikat (AS) memberikan contoh kisah sukses (success
story) bagaimana keseimbangan antara negara dan masyarakat itu
dibangun dan dijaga.
Pilar-pilar bernegara kuat, sedangkan warganya yang secara etnis
dan agama sangat plural memiliki kebebasan untuk mengkritisi pemerintahannya
dengan tetap menghargai etika dan kaidah hukum serta loyal pada cita-cita besar
AS. Bahkan, partai oposisi telah menjadi bagian integral dari kehidupan politik
di AS yang dilestarikan. Mereka bisa bertengkar sengit, tetapi keduanya tetap
setia memperjuangkan kepentingan negara dan warganya di atas kepentingan
partai.
Acemoglu juga membahas eksperimentasi Nabi Muhammad dalam
mendamaikan konflik di Madinah dengan tawaran kontrak sosial untuk
mengakomodasi pluralitas suku dan agama, yang dikenal dengan Piagam Madinah.
Nabi Muhammad melakukan politik detribalisasi, digantikan
konsensus sosial, sebuah gagasan yang jauh mendahului Jean-Jacques
Rousseau (1712-1778) tentang general
will dan social contract. Namun, sayang, eksperimentasi Nabi
Muhammad yang sangat modern mendahului zamannya ini terkubur oleh kebangkitan
kekuatan sukuisme di dunia Arab tak lama setelah beliau wafat.
Piagam Madinah ini mirip ideologi Pancasila, sebuah kalimatun
sawa, atau common
denominator yang menjadi titik temu dari beragam suku, agama, dan
budaya, juga mencakup formula keseimbangan negara-masyarakat dalam rumah
tunggal Indonesia. []
KOMPAS, 16 November 2019
Komaruddin Hidayat | Pembina Yayasan Pendidikan Madania
Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar