Patriotisme
Oleh: Komaruddin Hidayat
STEFAN, pemuda Korea Selatan nan tampan, umur 25 tahun, banyak menghabiskan waktunya di luar negeri. Dia punya dua saudara perempuan, semuanya sekarang tinggal di New York, Amerika Serikat (AS).
Terlahir di Korea, lalu orang tuanya pindah ke New Zealand, membuat Stefan mengenyam pendidikan semasa kanak-kanaknya sampai sekolah dasar di New Zealand. Setamat SD Stefan pindah ke Jakarta, tinggal bersama tantenya yang punya usaha di Jakarta. Sekolah SMP dan SMA dia jalani di Sekolah Pelita Harapan, Karawaci, Jakarta Barat, tidak jauh dari tempat tinggalnya di Pantai Indah Kapuk (PIK).
Tamat dari Sekolah Pelita Harapan, Stefan memperoleh beasiswa dari Universitas Hong Kong mengambil Jurusan Pure Mathematics. Memasuki tahun kedua, dia mengambil cuti selama satu tahun untuk pendidikan wajib militer.
Dia ditugasi di bagian dapur untuk memasak, memberi ransum ratusan orang, padahal dia tidak punya pengalaman sama sekali untuk urusan dapur dan masak karena Stefan datang dari keluarga yang kaya dan mapan. Namun dia menjalani tugas itu dengan semangat meskipun berangkat dari nol, sejak dari urusan dapur sampai pelatihan militer.
Ketika bertemu dengan temannya dari Indonesia yang tengah berkunjung ke Hong Kong, dia menceritakan pengalamannya ikut wajib militer. Katanya, "For Korean, this is a place when a boy turned to be a man." Pendidikan wajib militer, menurut Stefan, banyak mengubah cara pandang, mental, dan sikapnya terhadap negaranya.
“Jiwa patriotisme tumbuh dalam dirinya. Sewaktu-waktu perang
meletus menghadapi Korea Utara atau negara lain, saya akan langsung pulang
membela negeriku sekalipun saya tahu akan dikirim ke garis depan dan kematian
telah menanti,” katanya dengan mantap.
Ketika September lalu saya jalan-jalan ke Seoul dan ngobrol-ngobrol dengan teman Korsel, apa yang disampaikan Stefan tadi juga saya dengarkan langsung dari lisannya. Mereka merasa dikepung dan terancam oleh tiga negara tetangganya, baik ancaman militer maupun perdagangan dan industri. Mereka adalah Korea Utara berupa ancaman militer serta Jepang dan China yang merupakan ancaman persaingan industri dan bisnis.
Situasi merasa terancam itu membuat bangsa dan negara Korsel bekerja keras dan selalu berpikir kreatif-inovatif untuk memenangi pertarungan. Mereka berhasil membangun tradisi belajar dan bekerja keras untuk menghadapi kompetisi di dalam maupun di luar negeri. Adalah hal biasa mendengar berita pelajar dan pemuda yang bunuh diri akibat stres, kata Umar Hadi, Duta Besar RI di Seoul.
Kembali ke cerita Stefan tadi, saya jadi tercenung membayangkan para pejuang dan pahlawan pendiri bangsa dan negara Republik Indonesia. Mereka para pencinta ilmu, pekerja keras, dan sekaligus juga pejuang yang siap mengorbankan jiwa-raganya demi membela Tanah Air.
Muncul pertanyaan, apakah pemuda, mahasiswa dan politisi kita saat ini memiliki mental pejuang patriotik untuk membela dan memajukan bangsa dan negara seperti yang diungkapkan Stefan tadi?
Kalaupun bukan kekuatan militer yang mesti dihadapi, bukankah kita dikepung oleh kekuatan modal dan produk industri asing yang pelan-pelan membunuh kekuatan kita sendiri?
Korea menjadikan Jepang sebagai lawan yang membuat pemerintah dan bangsanya gelisah, jangan sampai kalah terlindas oleh kemajuan Jepang. Sementara itu di Indonesia yang saya lihat dan amati mereka saling tengkar dan berusaha menaklukkan lawan politiknya, tidak punya wacana kebangsaan yang cerdas yang membangkitkan patriotisme para pemudanya.
Belakangan ini cukup menyedihkan munculnya isu kebangkitan identitas primordial yang memperlemah kohesi serta identitas keindonesiaan. Keragaman identitas etnis dan agama memang sebuah kenyataan dari realitas kebinekaan kita. Tapi semua itu jangan mengganjal semangat dan agenda nasional memperkuat keikhlasan untuk menghadapi persaingan dan ancaman dari luar dengan cara yang cerdas dan beradab. []
KORAN SINDO, 1 November 2019 - 10:45 WIB
Komaruddin Hidayat | Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia
(UIII)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar