Terorisme dan Pengafiran
Oleh: Hasibullah Satrawi
KENAPA para teroris begitu tega menusuk, menembak, bahkan mengebom
orang lain, termasuk mereka yang satu agama? Bahkan, pelakunya acap tak merasa
bersalah, justru meyakini akan mendapatkan pahala dan akan masuk surga walaupun
dengan cara melakukan bom bunuh diri sekalipun.
Jawabannya ialah karena para teroris telah melakukan pengafiran
kepada targetnya, khususnya dari kalangan aparat keamanan, maupun pejabat
negara secara umum. Dengan kata lain, sebelum melakukan serangan, para teroris
melakukan justifikasi atas tindakan yang dilakukan dengan membatalkan keislaman
targetnya. Maka itu, menjadi penting membahas bagaimana sesungguhnya konsep
kafir dalam Islam?
Dalam tradisi fikih Islam klasik, ada empat kategori kafir bagi
orang-orang nonmuslim, yaitu kafir dzimmi (orang kafir dalam perlindungan),
kafir mu'ahad (orang kafir dalam perjanjian), kafir musta'min (orang kafir yang
dijamin keamanannya), dan kafir harbi (orang kafir yang boleh diperangi).
Secara bahasa, istilah kafir berasal dari kata dasar kafara, yang
berarti menutupi (at-taghthiyah) dan mengingkari (al-inkar). Dalam Alquran dan
Hadis, sebagai pedoman umat Islam, istilah kafir secara bahasa cukup banyak
ditemukan dengan sejumlah derivasinya. Harus dipahami bersama, tak semua
istilah 'kafir' dalam Alquran maupun Hadis merujuk kepada orang-orang
nonmuslim. Bahkan, dalam salah satu ayat (Qs Al-Hadid: 20), Alquran menyebut
para petani dengan istilah al-kuffar (bentuk jamak dari kata kafir) karena
mereka menutup kembali tanah yang awalnya dilubangi untuk menaruh benih tanaman
tertentu.
Namun demikian, secara teologis, penggunaan istilah kafir merujuk
kepada mereka yang tidak memercayai atau tidak beriman terhadap konsep teologi
Islam beserta segenap elemennya yang menitikberatkan pada monoteisme murni yang
dibawa Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah (rasulullah).
Pemberlakuan garis batas teologi ini mencakup dua, yakni garis
jauh dan garis dekat sekaligus. Garis jauh merupakan pembatasan teologis Islam
yang dilakukan terhadap kelompok-kelompok agama di luar agama samawi, yang
kadang-kadang disebut dengan istilah (musyrik) dalam Alquran.
Sementara itu, garis dekat ialah pembatasan teologis Islam yang
dilakukan terhadap kelompok agama samawi (Kristen dan Yahudi) yang dalam
Alquran banyak disebut dengan istilah ahlulkitab (orang-orang yang juga
mendapatkan Kitab Suci dari Allah, seperti Taurat, Injil, dan Zabur).
Setidaknya, ada tiga macam bentuk pengafiran yang kerap dilakukan
kelompok tertentu kepada pihak lain, termasuk seperti yang dilakukan kelompok
teroris. Pertama, pengafiran secara menyeluruh (takfir ithlaq) kepada mereka
yang berbeda konsep teologisnya (atau penganut agama lain). Pengafiran seperti
ini sebagai akibat dari sebuah pemahaman tertentu terhadap ayat maupun hadis
yang membahas tentang orang-orang kafir.
Berdasarkan pembacaan penulis terkait dengan ayat maupun hadis
yang bisa dipahami secara intoleran, sedikitnya lebih dari 100 ayat maupun
hadis yang bisa dijadikan sebagai pembenaran atas aksi-aksi intoleran, termasuk
di dalamnya istilah kafir. Ungkapan seperti "...wahai orang-orang
kafir", "...mereka adalah orang-orang kafir", "sungguh
kafir mereka yang...", "sesungguhnya orang-orang kafir...," dan
istilah-istilah senada lainnya dengan mudah ditemukan dalam Alquran maupun
hadis.
Kedua, pengafiran secara umum (takfir 'am). Dalam kajian terorisme
dan radikalisme, pengafiran seperti ini acap dilakukan kelompok-kelompok lama
seperti Al-Qaeda, bukan hanya kepada kelompok di luar Islam, melainkan juga
kepada pihak internal umat Islam yang dianggap keluar dari pakem-pakem akidah yang
ada. Namun, kelompok ini tidak melakukan pengafiran sampai pada tahap orang per
orang ataupun jabatan tertentu secara spesifik. Itu sebabnya pengafiran ini
disebut dengan istilah takfir 'am (pengafiran umum).
Ketiga, pengafiran secara spesifik (takfir mu'ayyan) seperti yang
belakangan dilakukan kelompok ISIS. Pengafiran spesifik dilakukan sampai pada
tahap perseorangan atau jabatan demi jabatan. Aparat keamanan pun dianggap
sebagai pendukung (anshar thaghut) yang sah untuk dijadikan sebagai target serangan.
Bila pengafiran itu dilakukan, akan menimbulkan serangkaian aksi
kekerasan seperti dilakukan para teroris. Paling tidak akan menimbulkan
disharmoni dalam hubungan kewargaan. Melalui Munas di Banjar beberapa waktu
lalu, NU mencoba untuk mengurangi ketegangan-ketegangan tak perlu antarwarga
(akibat pengafiran) dengan menyerukan agar tidak menggunakan istilah kafir
kepada warga negara yang berbeda keyakinan. Akan tetapi, menyebutnya dengan
istilah muwathin, yang berarti warga negara.
Namun demikian, upaya yang dilakukan NU tak semudah membalikkan
telapak tangan. Mengingat istilah kafir (baik secara bahasa maupun secara
teologis) memang ada dalam Alquran maupun Sunnah, bahkan jumlahnya cukup
banyak, sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Di sinilah pentingnya jembatan pemahaman yang bisa menghubungkan
antara niat luhur (seperti diupayakan NU melalui Munas di atas; agar tidak
perlu terjadi disharmoni antarwarga, terlebih lagi konflik) dan realitas
ayat-ayat maupun hadis (termasuk tentang kafir) yang acap menjadi pembenaran
aksi intoleran, bahkan pengafiran di kalangan kelompok tertentu.
Sebatas pengetahuan penulis, walaupun ditemukan ratusan ayat dan
hadis yang membahas tentang kafir, semuanya dalam bentuk deskripsi atau
penggambaran dari Allah. Tidak ada satu ayat maupun hadis yang memberikan hak
kepada manusia untuk mengafirkan orang lain.
Sebaliknya, tidak sedikit hadis yang mewanti-wanti bahaya
pengafiran; "barangsiapa mengatakan "wahai orang kafir" kepada
saudaranya, maka salah satu mereka telah menjadi kafir." Bahkan, dalam
salah satu ayat Alquran, Allah menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW sekalipun
tidak memiliki otoritas untuk memberikan hidayah kepada orang-orang yang
dikasihi karena sesungguhnya Allah yang dapat memberikan hidayah kepada siapa
pun yang dikehendaki-Nya (Qs Al-Qasas: 56).
Apa yang pernah dikatakan oleh pembaru Islam berkebangsaan Mesir,
Muhammad Abduh, sejatinya menjadi penguat untuk lebih berhati-hati dalam
mengafirkan orang lain. Bila ada pernyataan yang mengarah pada kekufuran dari
100 sisi, tapi masih ada kemungkinan mengarah pada keimanan meski hanya dari
satu sisi, maka pernyataan tersebut sejatinya dibawa pada keimanan (Al-Islam
wan-Nashraniyah ma'al Ilmi wal-Madaniyah, hal 46).
Tak perlu terjadi lagi aksi kekerasan akibat pengafiran di
Indonesia. Tak perlu terjadi lagi aksi kekerasan atas nama agama di negeri
tercinta ini karena aksi kekerasan tak sesuai dengan nilai-nilai agama.
Sebagaimana kekerasan juga tidak sesuai dengan cita-cita pendirian bangsa.
Indonesia sebagai negara bangsa telah dirancang sedemikian rupa
oleh para pendiri bangsa untuk melampaui sekat-sekat teologis warganya.
Sebaliknya, melalui Pancasila sebagai ideologi negara, Indonesia merangkul
seluruh keyakinan warganya. Hingga setiap pihak merasa menemukan sosok nilainya
dalam diri Pancasila. []
MEDIA INDONESIA, 15 November 2019
Hasibullah Satrawi | Alumnus Al-Azhar, Kairo Mesir, Pengamat
Politik Timur Tengah dan Dunia Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar