Jumat, 15 November 2019

Satrawi: Terorisme dan Pengafiran


Terorisme dan Pengafiran
Oleh: Hasibullah Satrawi

KENAPA para teroris begitu tega menusuk, menembak, bahkan mengebom orang lain, termasuk mereka yang satu agama? Bahkan, pelakunya acap tak merasa bersalah, justru meyakini akan mendapatkan pahala dan akan masuk surga walaupun dengan cara melakukan bom bunuh diri sekalipun.

Jawabannya ialah karena para teroris telah melakukan pengafiran kepada targetnya, khususnya dari kalangan aparat keamanan, maupun pejabat negara secara umum. Dengan kata lain, sebelum melakukan serangan, para teroris melakukan justifikasi atas tindakan yang dilakukan dengan membatalkan keislaman targetnya. Maka itu, menjadi penting membahas bagaimana sesungguhnya konsep kafir dalam Islam?

Dalam tradisi fikih Islam klasik, ada empat kategori kafir bagi orang-orang nonmuslim, yaitu kafir dzimmi (orang kafir dalam perlindungan), kafir mu'ahad (orang kafir dalam perjanjian), kafir musta'min (orang kafir yang dijamin keamanannya), dan kafir harbi (orang kafir yang boleh diperangi).

Secara bahasa, istilah kafir berasal dari kata dasar kafara, yang berarti menutupi (at-taghthiyah) dan mengingkari (al-inkar). Dalam Alquran dan Hadis, sebagai pedoman umat Islam, istilah kafir secara bahasa cukup banyak ditemukan dengan sejumlah derivasinya. Harus dipahami bersama, tak semua istilah 'kafir' dalam Alquran maupun Hadis merujuk kepada orang-orang nonmuslim. Bahkan, dalam salah satu ayat (Qs Al-Hadid: 20), Alquran menyebut para petani dengan istilah al-kuffar (bentuk jamak dari kata kafir) karena mereka menutup kembali tanah yang awalnya dilubangi untuk menaruh benih tanaman tertentu.

Namun demikian, secara teologis, penggunaan istilah kafir merujuk kepada mereka yang tidak memercayai atau tidak beriman terhadap konsep teologi Islam beserta segenap elemennya yang menitikberatkan pada monoteisme murni yang dibawa Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah (rasulullah).

Pemberlakuan garis batas teologi ini mencakup dua, yakni garis jauh dan garis dekat sekaligus. Garis jauh merupakan pembatasan teologis Islam yang dilakukan terhadap kelompok-kelompok agama di luar agama samawi, yang kadang-kadang disebut dengan istilah (musyrik) dalam Alquran.

Sementara itu, garis dekat ialah pembatasan teologis Islam yang dilakukan terhadap kelompok agama samawi (Kristen dan Yahudi) yang dalam Alquran banyak disebut dengan istilah ahlulkitab (orang-orang yang juga mendapatkan Kitab Suci dari Allah, seperti Taurat, Injil, dan Zabur).

Setidaknya, ada tiga macam bentuk pengafiran yang kerap dilakukan kelompok tertentu kepada pihak lain, termasuk seperti yang dilakukan kelompok teroris. Pertama, pengafiran secara menyeluruh (takfir ithlaq) kepada mereka yang berbeda konsep teologisnya (atau penganut agama lain). Pengafiran seperti ini sebagai akibat dari sebuah pemahaman tertentu terhadap ayat maupun hadis yang membahas tentang orang-orang kafir.

Berdasarkan pembacaan penulis terkait dengan ayat maupun hadis yang bisa dipahami secara intoleran, sedikitnya lebih dari 100 ayat maupun hadis yang bisa dijadikan sebagai pembenaran atas aksi-aksi intoleran, termasuk di dalamnya istilah kafir. Ungkapan seperti "...wahai orang-orang kafir", "...mereka adalah orang-orang kafir", "sungguh kafir mereka yang...", "sesungguhnya orang-orang kafir...," dan istilah-istilah senada lainnya dengan mudah ditemukan dalam Alquran maupun hadis.

Kedua, pengafiran secara umum (takfir 'am). Dalam kajian terorisme dan radikalisme, pengafiran seperti ini acap dilakukan kelompok-kelompok lama seperti Al-Qaeda, bukan hanya kepada kelompok di luar Islam, melainkan juga kepada pihak internal umat Islam yang dianggap keluar dari pakem-pakem akidah yang ada. Namun, kelompok ini tidak melakukan pengafiran sampai pada tahap orang per orang ataupun jabatan tertentu secara spesifik. Itu sebabnya pengafiran ini disebut dengan istilah takfir 'am (pengafiran umum).

Ketiga, pengafiran secara spesifik (takfir mu'ayyan) seperti yang belakangan dilakukan kelompok ISIS. Pengafiran spesifik dilakukan sampai pada tahap perseorangan atau jabatan demi jabatan. Aparat keamanan pun dianggap sebagai pendukung (anshar thaghut) yang sah untuk dijadikan sebagai target serangan.

Bila pengafiran itu dilakukan, akan menimbulkan serangkaian aksi kekerasan seperti dilakukan para teroris. Paling tidak akan menimbulkan disharmoni dalam hubungan kewargaan. Melalui Munas di Banjar beberapa waktu lalu, NU mencoba untuk mengurangi ketegangan-ketegangan tak perlu antarwarga (akibat pengafiran) dengan menyerukan agar tidak menggunakan istilah kafir kepada warga negara yang berbeda keyakinan. Akan tetapi, menyebutnya dengan istilah muwathin, yang berarti warga negara.

Namun demikian, upaya yang dilakukan NU tak semudah membalikkan telapak tangan. Mengingat istilah kafir (baik secara bahasa maupun secara teologis) memang ada dalam Alquran maupun Sunnah, bahkan jumlahnya cukup banyak, sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Di sinilah pentingnya jembatan pemahaman yang bisa menghubungkan antara niat luhur (seperti diupayakan NU melalui Munas di atas; agar tidak perlu terjadi disharmoni antarwarga, terlebih lagi konflik) dan realitas ayat-ayat maupun hadis (termasuk tentang kafir) yang acap menjadi pembenaran aksi intoleran, bahkan pengafiran di kalangan kelompok tertentu.

Sebatas pengetahuan penulis, walaupun ditemukan ratusan ayat dan hadis yang membahas tentang kafir, semuanya dalam bentuk deskripsi atau penggambaran dari Allah. Tidak ada satu ayat maupun hadis yang memberikan hak kepada manusia untuk mengafirkan orang lain.

Sebaliknya, tidak sedikit hadis yang mewanti-wanti bahaya pengafiran; "barangsiapa mengatakan "wahai orang kafir" kepada saudaranya, maka salah satu mereka telah menjadi kafir." Bahkan, dalam salah satu ayat Alquran, Allah menegaskan bahwa Nabi Muhammad SAW sekalipun tidak memiliki otoritas untuk memberikan hidayah kepada orang-orang yang dikasihi karena sesungguhnya Allah yang dapat memberikan hidayah kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya (Qs Al-Qasas: 56).

Apa yang pernah dikatakan oleh pembaru Islam berkebangsaan Mesir, Muhammad Abduh, sejatinya menjadi penguat untuk lebih berhati-hati dalam mengafirkan orang lain. Bila ada pernyataan yang mengarah pada kekufuran dari 100 sisi, tapi masih ada kemungkinan mengarah pada keimanan meski hanya dari satu sisi, maka pernyataan tersebut sejatinya dibawa pada keimanan (Al-Islam wan-Nashraniyah ma'al Ilmi wal-Madaniyah, hal 46).

Tak perlu terjadi lagi aksi kekerasan akibat pengafiran di Indonesia. Tak perlu terjadi lagi aksi kekerasan atas nama agama di negeri tercinta ini karena aksi kekerasan tak sesuai dengan nilai-nilai agama. Sebagaimana kekerasan juga tidak sesuai dengan cita-cita pendirian bangsa.

Indonesia sebagai negara bangsa telah dirancang sedemikian rupa oleh para pendiri bangsa untuk melampaui sekat-sekat teologis warganya. Sebaliknya, melalui Pancasila sebagai ideologi negara, Indonesia merangkul seluruh keyakinan warganya. Hingga setiap pihak merasa menemukan sosok nilainya dalam diri Pancasila. []

MEDIA INDONESIA, 15 November 2019
Hasibullah Satrawi | Alumnus Al-Azhar, Kairo Mesir, Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar