Wanita Ahli Ibadah yang Tak Pernah Tidur
Malam
Dalam kitab Thahârah al-Qulûb wa al-Khudlû’ li ‘Allâm al-Ghuyûb, Sayyid Abdul Aziz al-Darani mencatat kisah wanita ahli ibadah. Berikut kisahnya:
كانت
امرأة متعبدة لا تنام من الليل إلا يسيرا فعوتبت في ذلك فقالت: كفي بطول الرقدة في
القبور رقادا
Ada seorang wanita ahli ibadah. Dia tidak
pernah tidur di malam hari kecuali sebentar saja. Karena itu seseorang
menegurnya. Wanita itu menjawab: “Cukuplah tidur lama di kuburan (kelak)
sebagai tidur (peristirahatanku).” (Sayyid Abdul Aziz al-Darani, Thahârah
al-Qulûb wa al-Khudlû’ li ‘Allâm al-Ghuyûb, Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah,
2003, h. 145)
****
Dengan mengajukan kisah ini, Sayyid Abdul
Aziz hendak mengajak kita untuk mempersiapkan diri secara batin dalam menjalani
kehidupan. Niat yang tulus hanya akan hadir dari kesiapan jiwa yang baik. Salah
satu cara penyiapan jiwa yang baik adalah dengan memperkuat perasaan takut akan
siksa-Nya dan rindu akan ridha-Nya. Penggunaan kata “tidur lama di kuburan
kelak sebagai tidur peristirahatan” memberikan beberapa hal untuk dipahami.
Pertama, untuk merasakan istirahat panjang di
alam kubur seperti halnya tidur di saat hidup, kita harus bersih dari dosa atau
hanya memiliki sedikit dosa, dan banyak amal. Banyaknya amal pun belum bisa
menjamin kenikmatan istirahat kita di alam kubur tanpa rahmat Allah subhanahu
wata'ala.
Kedua, bahwa dunia adalah tempat pencari
bekal untuk kehidupan yang sesungguhnya, yaitu kehidupan akhirat. Dan yang
terakhir, ketiga, orang yang tidak menyiapkan bekal dan menanggung banyak dosa
tidak bisa beristirahat dengan tenang di kuburnya. Dia akan disiksa karena dosa
dan kejahatannya selama hidup.
Sebelum berkisah tentang wanita ahli ibadah
tersebut, Sayyid Abdul Aziz al-Darani memberikan pertanyaan kontemplatif.
Beliau menulis:
تفكر
لماذا خلقت؟ فمن يرد الله به خير يفقهه في الدين. النفس لا تكاد توافقك طوعا فخذ
آلة الحرب
“Berpikirlah kenapa kau diciptakan? Karena
orang yang Allah kehendaki kebaikan akan dipahamkan (dididik) dalam persoalan
agama. Nafsu nyaris tidak akan mengikutimu dengan sukarela, ambillah peralatan
perang (untuk berjuang melawannya).” (Sayyid Abdul Aziz al-Darani, Thahârah
al-Qulûb wa al-Khudlû’ li ‘Allâm al-Ghuyûb, 2003, h. 145)
Sayyid Abdul Aziz mendorong kita untuk
berpikir kenapa kita diciptakan. Pertanyaan itu dijawab Allah dengan sederhana
(QS. Al-Dzariyat: 56), “li-ya’budûni—agar manusia dan jin mengabdi/menyembah
kepadaKu.” Jawaban ini memiliki sisi teoritis sekaligus praksis. Bisa saja kita
memberikan jawaban panjang lebar menggunakan berbagai pendekatan, tapi efeknya
tidak akan sebesar jawaban simple di atas yang bisa dipahami semua orang dalam kehidupan
sehari-hari. Jawaban yang bisa katakan sebagai sumber asal pedoman hidup
manusia, yaitu menyembah dan mengabdi kepadaNya.
Jawaban ini pun bergaris lurus dengan
pernyataan Sayyid Abdul Aziz al-Darani tentang orang yang dikehendaki Allah
kebaikan, dia akan dipahamkan dalam persoalan agama. Pernyataan tersebut
sebenarnya berasal dari hadits (HR. Imam al-Bukhari), “man yuridillahu bihi
khairan yufaqqihhu fid dîn—barangsiapa yang dikehendaki Allah kebaikan baginya,
Allah akan memahamkannya dalam urusan agama.”
Bukan berarti jika ada orang jahat, itu
karena Allah tidak menghendakinya kebaikan, bukan. Kita harus memandang hadis
tersebut sebagai kehendak Tuhan yang Mahabaik, yaitu “kehendak kebaikan” untuk
seluruh ciptaan-Nya, khususnya manusia. Tidak mungkin Tuhan menghendaki
keburukan untuk makhluk-Nya, tidak mungkin. Tuhan selalu menghendaki kebaikan
untuk seluruh makhluk-Nya. Salah satu buktinya adalah diturunkannya berbagai
kitab suci dan diutusnya para nabi dari masa ke masa untuk mendidik manusia dan
memahamkannya dalam agama.
Karena itu, Sayyid Abdul Aziz al-Darani
menasihati kita untuk mengambil perlengkapan perang melawan hawa nafsu. Orang
yang dikuasai oleh hawa nafsunya, akan sukar menerima pendidikan dan pemahaman
agama dengan baik, padahal itu kehendak Allah. Artinya, orang yang mengacuhkan
ketetapan Allah yang berupa “menghendaki kebaikan”, dia telah berdosa.
Hadis itu mendorong kita untuk welcome pada
kehendak kebaikan Allah untuk manusia, sehingga kita bisa menerima pendidikan
dan pemahaman agama yang menyelematkan kita di dunia dan akhirat. Seringkali
kita sendiri yang tidak merasakan pendidikan yang Allah berikan pada kita.
Padahal, jika kita melihat ke segala arah, mengukur ke dalam diri, dan
mengamati gerak semesta, kita akan menemukan banyak pengetahuan, bahkan dari
kerapian bebek yang melintasi jalanan.
Bulan Ramadan ini adalah waktu yang tepat
untuk memperbaharui hati kita agar lebih bersih dari sebelumnya, dengan
berpuasa, memperbanyak ibadah dan memanjatkan doa kepadaNya. Oleh karena itu,
di tengah-tengah munajatnya, Sayyid Abdul Aziz al-Darani mengakui
ketidak-mampuannya sebagai manusia dengan cara menghamba. Di hadapan-Nya, ia
merendahkan diri dan akalnya serendah-rendahnya. Ia berujar:
تحيّرت
العقول في وصف جلالك وعجزت الأفهام عن الإحاطة بكمالك “
Akal kebingungan dalam menggambarkan
kebesaranMu dan pengetahuan terlalu lemah untuk meliput kesempurnaanMu.”
((Sayyid Abdul Aziz al-Darani, Thahârah al-Qulûb wa al-Khudlû’ li ‘Allâm
al-Ghuyûb, 2003, h. 146)
Karena itu, kita harus terus memohon petunjuk
Allah. Karena secerdas apapun akal kita, tak mungkin dapat mengumpulkan bahasa
untuk menggambarkan kebesaranNya. Sebanyak apapun pengetahuan kita, tak mungkin
bisa merangkai kata untuk melukiskan kesempurnaan-Nya. Semoga kita bisa terhindar
dari segala keburukan. Amin. Wallahu a’lam bish shawwab. []
Muhammad Afiq Zahara, alumni PP.
Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar