Wali Nikah bagi Perempuan
Mualaf
Salah satu permasalahan yang muncul dalam hal
pernikahan adalah persoalan wali nikah bagi seorang perempuan mualaf. Yang
dimaksud perempuan mualaf di sini adalah seorang perempuan non-Muslim yang
lahir dari pasangan suami istri non-Muslim dalam sebuah perkawinan yang
dilakukan tidak secara Islam dan kemudian perempuan tersebut memeluk agama
Islam.
Tidak sedikit masyarakat yang memahami bahwa
seorang perempuan mualaf yang hendak melakukan pernikahan maka yang bisa
menjadi wali nikahnya adalah wali hakim, bukan ayah kandungnya meskipun telah
menjadi Muslim. Pemahaman seperti ini berangkat dari satu kenyataan bahwa sang
anak lahir dari perkawinan yang tidak secara Islam dan juga dari orang tua yang
tidak beragama Islam. Anak yang demikian—menurut mereka—tidak bisa dinasabkan
kepada orang tuanya.
Lalu bagaimana sesungguhnya fiqih Islam
mengatur permasalahan ini? Apakah yang dipahami oleh masyarakat sebagaimana di
atas memang demikian benarnya menurut hukum fiqih Islam?
Sebelum lebih jauh membahas tentang wali
nikah bagi seorang perempuan mualaf ada baiknya bila kita menilik kembali
beberapa aturan fiqih Islam perihal wali nikah. Sebagaimana telah dimaklumi
bahwa seorang perempuan yang hendak melangsungkan pernikahan maka ia harus
memiliki wali. Keberadaan wali ini merupakan salah satu rukun nikah yang bila
tidak terpenuhi maka akad nikah menjadi batal.
Di dalam fiqih para ulama menetapkan beberapa
persyaratan bagi seorang wali nikah. Di antara persyaratan itu adalah seorang
wali harus beragama Islam. Seorang non-Muslim tidak bisa menjadi wali bagi
seorang perempuan Muslimah (Abu Bakar Al-Hishni, Kifâyatul Akhyâr, [Bandung:
Al-Ma’arif, tt.], juz II, hal. 49). Ini didasarkan pada firman Allah pada ayat
71 Surat At-Taubah:
وَالْمُؤْمِنُونَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
Artinya: “Orang-orang mukmin laki-laki dan
orang-orang mukmin perempuan sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang
lain.”
Dari penjelasan ini sudah dapat diambil satu
pemahaman bahwa bila ayah kandung perempuan mualaf yang hendak menikah telah
masuk Islam maka ia dapat menjadi wali dalam akad nikahnya. Namun bila sang
ayah masih tetap pada agama asalnya maka ia tidak dapat menjadi wali nikah bagi
putrinya yang telah memeluk agama Islam.
Bila demikian adanya—sang ayah masih
non-Muslim—lalu siapa yang dapat menjadi wali nikah baginya?
Bila telah jelas sang ayah tidak dapat
menjadi wali nikah karena perbedaan agama maka diruntutlah daftar orang-orang
yang dapat menjadi wali nikah sesuai dengan urutannya, bila memang di antara
mereka ada yang beragama Islam. Adapun urutan orang-orang yang dapat menjadi
wali nikah sebagaimana ditulis oleh Al-Hishni di dalam kitab Kifâyatul Akhyâr
adalah ayah, kakek (bapaknya bapak), saudara laki-laki sekandung (seayah
seibu), saudara lak-laki seayah, anak laki-laki saudara laki-laki sekandung,
anak laki-laki saudara laki-laki seayah, paman (saudara ayah), dan anak laki-lakinya
paman (Abu Bakar Al-Hishni, Kifâyatul Akhyâr, hal. 51). Bila ada salah satu
dari orang-orang tersebut yang beragama Islam dan kedudukannya lebih dekat maka
ia berhak menjadi wali bagi sang perempuan mualaf. Namun bila dari daftar
urutan itu sama sekali tidak ada yang beragama Islam maka berlaku wali hakim
yang dalam tata perundangan di Indonesia dilaksanakan oleh Kepala KUA Kecamatan
setempat.
Pertanyaan dan permasalahan berikutnya adalah
bukankah perempuan mualaf tersebut lahir dari pasangan suami istri non-Muslim
yang menikah dengan tata cara yang berbeda dengan tata cara pernikahan Islam?
Bagaimana status nasab anak yang lahir dalam kondisi demikian?
Dalam hal ini para ulama telah sepakat bahwa
Islam mengakui keabsahan pernikahan sepasang suami istri non-Muslim yang
menikah tidak dengan tata cara Islam selama di antara keduanya tidak ada
halangan untuk menikah secara Islam. Sebagai contoh, pasangan suami istri
non-Muslim yang keduanya memiliki hubungan mahram sehingga semestinya tidak
diperbolehkan menikah, seperti seorang laki-laki yang menikah dengan adik
kandungnya sendiri. Pernikahan non-Muslim semacam ini tidak diakui keabsahannya
oleh Islam.
Di dalam kitab Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah
disebutkan:
فَذَهَبَ
جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ - الْحَنَفِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ عَلَى الصَّحِيحِ
وَالْحَنَابِلَةُ وَقَوْلٌ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ - إِلَى أَنَّ نِكَاحَ
الْكُفَّارِ غَيْرِ الْمُرْتَدِّينَ بَعْضِهِمْ لِبَعْضٍ صَحِيحٌ
Artinya: “Jumhur fuqaha—ulama Hanafiyah,
ulama Syafi’iyah menurut pendapat yang sahih, ulama Hanabilah, dan sebuah
pendapat dalam kalangan ulama Malikiyah—berpendapat bahwa pernikahan
orang-orang kafir selain orang-orang yang murtad adalah sah.” (Al-Mausû’ah
Al-Fiqhiyyah, [Kuwait: Kementerian Wakaf dan Islam, 1983], juz XXXXI, hal. 319)
Penjelasan tentang keabsahan pernikahan
non-Muslim juga bisa mengambil dalil dari sahabat Ghailan dan lainnya yang
ketika masuk Islam mereka memiliki istri lebih dari empat orang. Maka kemudian
Rasulullah memerintahkan untuk tetap memegang empat orang istri dan menceraikan
lainnya. Pada saat bersamaan Rasulullah juga tidak menanyakan perihal
persyaratan nikah yang dahulu dilakukan sebelum masuk Islam (Muhammad Khathib
As-Syarbini, Mughnil Muhtâj, [Beirut; Darul Fikr, 2009], juz III, hal. 247 –
248). Ini semua menunjukkan bahwa Rasulullah mengakui keabsahan pernikahan yang
telah terjadi sebelum masuk Islam.
Karenanya bila pernikahan non-Muslim
sebagaimana di atas dianggap sah oleh Islam maka anak yang lahir dalam
pernikahan itu pun dianggap sebagai anak sah yang bernasab kepada kedua orang
tuanya.
Dengan demikian seorang perempuan mualaf yang
hendak melakukan pernikahan, sedangkan ayahnya juga telah memeluk agam Islam,
maka sang ayah dapat menjadi wali nikah baginya. Wallâhu a’lam. []
Ustadz Yazid Muttaqin, santri alumni Pondok
Pesantren Al-Muayyad Surakarta, kini aktif sebagai penghulu di lingkungan
Kantor Kementerian Agama Kota Tegal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar