Nasihat Orang Kampung tentang Cara Berteman
yang Baik
Dalam kitab al-Shadâqah wa al-Shadîq, Imam Abu Hayyan al-Tawhidi (310-414 H) mencatat jawaban orang Arab Badui (Arab Kampung) ketika ditanya siapa orang yang paling baik pergaulannya:
وقيل
لأعرابي: من أكرم الناس عشرة؟ قال: من إن قرب منح، وإن بعد مدح، وإن ظلم صفح، وإن
ضويق فسح، فمن ظفر به فقد أفلح ونجح
Seorang Arab Badui (orang Arab kampung)
ditanya: “Siapakah orang yang paling mulia pergaulannya?”
Ia menjawab: “Orang yang jika dekat ia
memberi; jika jauh ia memuji; jika dizalimi ia memaafkan; jika dipersempit ia
melapangkan. Siapa saja yang mendapatkan (teman seperti itu), maka ia
benar-benar beruntung dan sukses.” (Imam Abu Hayyan al-Tawhidi, al-Shadâqah wa
al-Shadîq, Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, 1998, h. 39)
****
Mungkin ini adalah salah satu alasan kenapa
orang Arab Perkotaan (hadlari) zaman dulu menitipkan anaknya di perkampungan
untuk disusui dan dibesarkan, seperti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
Sayyidina Hamzah bin Abdul Muttalib, dan lain sebagainya. Karena kebanyakan
orang kampung memiliki ketulusan dan keluguan yang murni. Mereka cerdas dengan
caranya sendiri. Seringkali kebijaksanaan keluar dari perilaku dan ucapan
mereka, dengan apa adanya, tidak dibuat-buat dan dicitrakan.
Kebijaksanaan mereka tidak berasal dari
pengajaran sistematis seperti masyarakat perkotaan, tapi pergaulan mereka dengan
alam, lingkungan, realitas sosial, dan budaya berbagi di kalangannya. Orang
Arab Badui, meskipun kasar, mereka terkenal sangat dermawan dan murah hati.
Sayyidina Qais bin Sa’d, seorang sahabat nabi yang kedermawanannya dianggap
tanpa tanding, ketika ditanya, ‘apakah ada orang yang melebihi kedermawananmu?’
Ia menjawab, ‘ada’.
Kemudian ia bercerita suatu hari ia dan
temannya melakukan perjalanan dan menginap di tenda orang Arab Badui. Sang tuan
rumah menyembelihkan mereka unta untuk hidangan makan malam. Di pagi harinya,
tuan rumah menyembelihkan mereka unta lagi. Qais bin Sa’id terkejut dan
bertanya, “tuan, bukankah daging unta sisa tadi malam masih banyak, kenapa
menyembelihkan kami unta lagi?” Jawaban orang Arab Badui itu membuat Qais bin
Sa’d lebih terkejut. Ia menjawab, “innî lâ ath’amu adlyâfîl ghâbb—aku tidak mau
memberi makanan yang telah bermalam kepada tamu-tamuku.”
Mereka menginap di tenda orang Arab Badui
selama tiga hari, dan setiap hari mereka memakan daging unta yang baru
disembelih. Ketika hendak melanjutkan perjalanan, Qais bin Sa’d memberi isteri
orang Arab Badui itu uang seratus dinar. Belum terlalu jauh mereka berjalan,
sang suami memanggil dengan suara keras, “wahai pengendara yang sangat tercela,
kalian membayar hidangan yang kuberikan pada kalian sebagai tamu?” Lalu ia
melanjutkan ucapannya dengan marah, “lata’khudznahu wa illâ tha’antukum bi
ramhî—ambillah kembali uangmu ini, jika tidak, akan kutikam kau dengan
tombakku!” (Imam Abu al-Qasim al-Qusyairi, al-Risâlah al-Qusyairiyyah, Kairo:
Dar al-Salam, 2014, h. 136)
Kisah di atas adalah contoh kemurahan hati
mereka. Mereka sangat marah jika kemurahan hatinya dinilai dengan uang. Karena
itu, bagi mereka, teman yang ideal adalah teman yang selalu membuka, bukan
dibuka. Jika disakiti, ia memaafkan sebelum diminta; jika dibakhili, ia memberi
sebelum diminta; jika dibenci, ia menyayangi sebelum diminta, sehingga wajar
saja jika mereka mengatakan: “Orang yang jika dekat ia memberi; jika jauh ia
memuji; jika dizalimi ia memaafkan; jika dipersempit ia melapangkan. Siapa saja
yang mendapatkan (teman seperti itu), maka ia benar-benar beruntung dan
sukses.”
Oleh karena itu, kita harus terbuka dalam
berteman, menjaga di depan sekaligus mengawasinya di belakang. Kita harus
memahami bahwa teman kita adalah manusia, yang bisa benar dan salah. Agar kita
tidak terlalu kecewa ketika ia berbuat salah, dan tidak terlalu melebihkan
ketika ia berlaku benar. Sebab, asas dasar dalam pertemanan adalah menerima
kekurangan temannya, bukan mengharapkan kelebihannya. Jika kita bisa menerima
kekurangan teman kita, kita akan lebih bahagia dalam menerima kelebihannya.
Dengan demikian, kita sudah menyiapkan
beribu-ribu maaf untuk kesalahan yang telah, sedang, dan akan diperbuatnya.
Ketika ia menzalimi kita, kita tidak terkejut karena sudah menyiapkan maaf
untuknya. Tidak hanya itu, kita malah berterima kasih kepadanya karena
meningkatkan semangat ibadah kita. Bagi orang yang selalu mengintrospeksi diri,
ia tidak akan menerima kebencian sebagaimana kebencian itu sendiri. Ia akan
menelaahnya terlebih dahulu, apakah itu murni kebencian atau ada yang
melatar-belakanginya. Andaipun tidak menemukan latar belakang kebencian
tersebut, ia tetap merasa perlu memohon ampun kepada Allah karena
ketidak-sadaran dirinya akan kesalahannya.
Kisah Aban bin Abi ‘Ayyas bisa menjadi
pelajaran. Suatu hari seseorang mendatanginya dan menceritakan bahwa fulan
mencaci makinya. Aban bin Abi ‘Ayyas menjawab:
أَقْرِئْهُ
السَّلَامَ، وَأَعْلِمْهُ أَنَّهُ قَدْ هَيَّجَنِي عَلَى الِاسْتِغْفَارِ “
Sampaikan salam(ku) kepadanya, dan beritahu
dia bahwa dia telah membangkitkan (semangat)ku untuk beristigfar (memohon ampun
kepada Allah).” (Imam Ibnu Abi Dunya, al-Shumt wa Adâb al-Lisân, Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Arabi, 1410 H, h. 268)
Dengan mendalami nasihat orang Arab Badui di
atas, semoga kita bisa menjadi teman yang membuat temannya merasa beruntung
berteman dengan kita. Amin. Wallahu a’lam bish shawwab. []
Muhammad Afiq Zahara, alumni PP.
Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar