Baca Fatihah dalam Shalat,
Maaliki Yaumiddiin atau Maliki Yaumiddiin?
Membaca Surat al-Fatihah dalam shalat adalah
kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan. Sebab, ia adalah salah satu rukun
dalam shalat. Di samping itu, membaca al-Fatihah harus tepat dan tidak boleh
salah dari sisi kaidah tajwid dan qira’at, apabila salah dan bahkan sampai
mengubah makna, maka batal shalat seseorang.
Berangkat dari diskripsi di atas, ada
sebagian kalangan yang membaca Surat al-Fatihah ayat keempat (مالك يوم الدين),
dengan membaca panjang huruf mim-nya (mâliki) pada rakaat pertama, dan membaca
(ملك)
dengan membaca pendek huruf mim-nya (maliki) pada rakaat kedua. Bahkan banyak
kalangan yang menggunakan dan mengaplikasikan kedua bacaan tersebut dalam
shalat.
Terkait persoalan ini, apakah ada riwayat
yang sahih tentang bacaan di atas, apakah ada perbedaan makna keduanya, dan
apakah bacaan al-Fatihah seperti di atas dapat dibenarkan dalam shalat?
Dalam qira’at Al-Qur’an, baik qira’at
sab’ah (tujuh) maupun qira’at asyrah (sepuluh), ada dua pendapat;
ada yang membaca panjang huruf mim-nya dan ada pula yang membaca pendek.
Syekh Abdul Fattah al-Qadhi dalam karyanya Al-Budur
al-Zahirah fi Qira’at al-Asyr al-Mutawatirah secara spesifik merinci
sebagaimana berikut:
Imam Ashim, al-Kisa’i, Ya’kub, dan Khalaf
al-Asyir membaca panjang mim (مَالِكِ), sedangkan imam-imam yang lain, seperti
Imam Nafi’, Ibnu Katsir, Abu Amr al-Bashri, Ibnu Amir, Hamzah dan Abu Ja’far
membaca pendek mim (مَلِكِ) (Al-Qadhi, Al-Budur al-Zahirah fi Qira’at al-Asyr
al-Mutawatirah, [Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, tth], h. 15).
Oleh karena demikian, dari sisi periwayatan
bacaan panjang dan pendek pada huruf mim (مَلِكِ) itu dapat dikatakan shahih bahkan
mutawatir, karena diriwayatkan dari qira’at yang mutawatirah.
Dari sisi pemaknaan, perbedaan bacaan dalam
setiap qira’at ada dua kategori; (1) berpengaruh pada makna dan (2) tidak
berpengaruh pada makna.
Perbedaan bacaan yang tidak berpengaruh pada
pemaknaan adalah seperti dialek pengucapaan dalam bahasa Arab, semacam bacaan
imalah, ibdal hamzah, dan lainnya. Perbedaan bacaan semacam ini lebih dominan
masuk pada kategori ushul qira’at atau kaidah dasar dalam ilmu qira’at,
ada juga yang masuk pada kaidah furusy al-qira’at.
Sedangkan perbedaan bacaan yang berpengaruh
pada pemaknaan adalah seperti perbedaan kata dalam suatu kalimat. Perbedaan
makna pada sebuah qira’at yang semacam ini bukan sebuah perbedaan yang
kontradiktif dan bertolak belakang, justru perbedaan ini saling mendukung
bahkan memperindah makna. Sebab tidak akan pernah dijumpai perbedaan yang
kontradiktif dalam Al-Qur’an (Nabil Muhammad, Ilmu al-Qira’at, Nasy’atuhu, Athwaruhu,
Atsaruhu fi al-Ulum al-Syar’iyah, [Thab’ah Khassah bi Darah al-Malik Abdul
Aziz, 2002], h. 46-47).
Adapun untuk kasus lafadz (مَالِك) dan (مَلِك),
masuk pada kategori perbedaan bacaan yang berpengaruh pada makna.
Pada lafadz (مَالِك) berarti pemilik, artinya Allah adalah
pemilik hari pembalasan. Sedangkan lafadz (مَلِك) berarti raja atau penguasa, artinya Allah
adalah penguasa hari pembalasan.
Ibnu Khalawaih menjelaskan bahwa alasan bagi
yang membaca panjang huruf mim (مالك) ia berarti pemilik penguasa dan penguasa
masuk dalam kategori pemilik, dengan berdalil firmah Allah Surat Ali Imrah 26 (قُلِ اللَّهُمَّ مالِكَ الْمُلْكِ). Sedangkan menurut pendapat yang membaca pendek mim (ملك)
mempunyai arti raja atau penguasa dan penguasa lebih khusus dan lebih terpuji
dibandingkan pemilik. Sebab kadang pemilik bukan seorang raja atau penguasa,
dan tidak ada seorang raja kecuali dia adalah pemilik (Ibnu Khalawaih,
Al-Hujjah fi al-Qira’at al-Sab’ah, [Beirut: Dar al-Syuruq, tth] h. 62).
Imam al-Thanthawi menjelaskan bahwa lafadz (مَالِك)
memiliki arti pemilik, yakni menempatkan sesuatu disertai penguasaannya dalam
mengatur. Ia mampu mengatur urusan hari pembalasan; hisab, ganjaran dan
siksaan, mampu mengatur yang ia miliki. Sedangkan lafadz (مَلِك) memiliki arti
raja atau penguasa, yakni Ia pengatur terhadap urusan hari pembalasan, Ia
memiliki kekuasaan dan kewenangan pada hari itu. Setiap sesuatu pada hari itu
berjalan sesuai dengan perintahnya, pada hari itu, setiap sesuatu terlaksana
atas nama-Nya (al-Thanthawi, Tafsir al-Wasith, t. tth).
Imam al-Nawawi al-Bantani menjelaskan bahwa
lafadz (مَالِك) memiliki arti pengatur dalam urusan hari kiamat secara
keseluruhan. Sedangkan lafadz (مَلِك) memiliki arti pengatur dalam urusan hari
kiamat dengan perintah atau larangan (al-Nawawi, Tafsir Munir,
[Surabaya: Toko Kitab al-Hidayah, tth] h. 4).
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan
bahwa Allah adalah dzat sebagai penguasa sekaligus sebagai pemilik hari kiamat.
Atas kuasa-Nya, Ia menunjukkan kepada kita bahwa Dialah satu-satunya penguasa sekaligus
pemilik hari pembalasan. Tidak ada satupun manusia yang luput dari pantauan dan
pengawasannya.
Kedua bacaan tersebut adalah bacaan yang sah
dan mutawatir dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam meskipun
berbeda dalam pemaknaan tapi tidak kontradiktif dan bertolak belakang, bahkan
saling mendukung dan memperindah kandungan maknanya.
Jika dalam periwayatan bacaan dianggap sah
bahkan mutawatir, dan pemaknaannya tidak terjadi kontradiktif, maka apakah
boleh kedua bacaan tersebut dibaca dalam shalat—misalnya, pada rakaat pertama
membaca (مَالِك) panjang huruf mim-nya, dan pada rakaat kedua membaca (مَلِك)
pendek huruf mim-nya?
Dalam mazhab Imam Syafi’i (as-Syafi’iyah),
seorang mushalli (orang yang shalat) dianjurkan memanjangkan rakaat
pertama dibandingkan rakaat kedua. Sebagian ulama berpendapat memanjangkan
bacaan rakaat pertama daripada rakaat kedua walau satu huruf (Ibrahim
al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri, [Beirut: Dar al-Minhaj, 2016, juz I], h.
595).
وكان بعض
العلماء يقرأ في الركعة الأولى (مَالِك) بإثبات الألف، وفي الثانية (مَلِك) بحذفها، لأنه يسنّ تطويل الأولى على الثانية ولو
بحرف
“Sebagian ulama membaca al-Fatihah pada
rakaat pertama dengan menetapkan alif pada lafadz (مَالِك) sedangkan pada rakaat kedua membuang
huruf alif pada lafadz (مَلِك), karena sesungguhnya disunnahkan memnajangkan rakaat pertama
daripada kedua walau satu huruf.”
Sejalan dengan pendapat di atas bahwa dalam
kitab al-Fawaid al-Mukhtarah li Salik Thariq al-Akhirah menguraikan kebolehan
menggunakan kedua bacaan di atas dalam shalat, bahkan al-Habib Ali al-Habsyi
menggunakan kedua bacaan tersebut dalam shalat.
قال
بعضهم إنّ قراءة (مَالِك) في الفاتحة أفضل لزيادة الحرف، ولكل حرف عشر حسنات، وفضل
بعضهم قراءة (ملك) لأنه أصح قراءة، وكان الحبيب علي الحبشي قرأ في الركعة الأولى ب
(مَالِك) وفي الثانية ب (مَلِك) ـ
“Sebagian ulama berkata: sesungguhnya membaca
(مالك)
dalam Surat al-Fatihah lebih afdhal karena menambah huruf, dan setiap satu
huruf memiliki sepuluh kebaikan. Sedangkan sebagian ulama yang lain
mengunggulkan bacaan (ملك) karena itu adalah bacaan yang paling sahih. Habib Ali
al-Habsyi (ketika shalat) membaca (مالك) pada rakaat pertama dan membaca (ملك) pada
rakaat kedua”.
Diceritakan bahwa al-Habib Salim bin Muhammad
bin Agil berkata: “Saya bertanya kepada al-Habib Abi Bakar bin Muhammad
as-Segaf dalam bacaan Surat al-Fatihah yang agung, apakah membaca (مالك)
dengan menetapkan (memanjangkan) huruf mim atau membaca (ملك) tanpa alif?
Al-Habib Abu bakar menjawab: “Dulu saya
membaca (مالك) dengan menetapkan (memanjangkan) huruf mim-nya, suatu ketika
pada malam hari saya didatangi oleh salah satu dari pendahulu kami dari klan
Alawiyyin yang arif billah, ia melaksanakan shalat, saya pun ikut
mendirikannnya. Kemudian dia menyuruh saya membaca (مالك) dengan menetapkan (memanjangkan) huruf
mim-nya pada rakaat pertama, dan membaca (ملك) tanpa alif, pada rakaat kedua. Saya pun
menanyakan persoalan ini.
“Apakah demikian pelaksanaannya dalam shalat,
dan jika memang demikian, bagaimana praktiknya bagi seseorang di luar shalat?”
Dia pun menjawab: “Dia boleh memilih antara
membaca (مَالِك) atau (مَلِك), sebab kedua bacaan tersebut shahih. Kemudian saya kembali
bertanya.
“Jika dalam perlaksanaan shalat empat rakaat,
bagaimana (sebaiknya) bacaan pada rakaat ketiga dan keempat?”
Beliau pun menjawab:
“Pada rakaat pertama dan kedua pelaksaannya
seperti apa yang saya sampaikan tadi, sedangkan untuk rakaat ketiga dan
keempat, ia boleh memilih antara keduanya; (مَالِك) atau (مَلِك). (Habib Zain bin Sumaith, al-Fawaid
al-Mukhtarah li Salik Thariq al-Akhirah, [Pasuruan, Dalwa, 2008], h. 121).
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan
sebagaimana berikut:
1. Bacaan (مَالِك) atau (مَلِك) adalah bacaan yang shahih bahkan
mutawatir, sepuluh imam qira’at sab’ah (tujuh) atau Asyrah (sepuluh)
meriwayatkan kedua bacaan di tersebut.
2. Secara pemaknan kedua bacaan (مَالِك)
atau (مَلِك)
memiliki perbedaan yang tidak kontradiktif, bahkan memperindah kandungan
maknanya. Dengan perbedaan bacaan di artas, menunjukkan sifat kekuasaan-Nya,
tidak sekedar memiliki namun juga sebagai penguasa. Hanya Allah semata Maha
Penguasa dan Pemilik hari pembalasan.
3. Dalam pelaksaan shalat, kedua perbedaan bacaan
tersebut boleh dibaca. Bahkan dianjurkan membaca panjang (مَالِك) pada rakaat
pertama, dan membaca pendek (ملك) pada rakaat kedua. Hal ini dianalogikan dengan kesunnahan
memanjangkan bacaan rakaat pertama walau satu huruf dan meringkas rakaat kedua.
Menurut al-Habib Abu Bakar, untuk rakaat ketiga dan keempat seorang mushalli
boleh memilih antara kedua bacaan di atas (مَالِك) atau (مَلِك).
Wallahu a‘lam. []
Ustadz Moh. Fathurrozi, Pecinta Ilmu Qira’at,
Kaprodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir IAI Al Khoziny Buduran Sidoarjo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar