”Ambyar”
Oleh: Sindhunata
Seribu kota sudah kulewati. Seribu hati sudah kutanyai. Tapi tak
seorang pun mengerti, ke mana kau pergi. Bertahun-tahun aku mencari, belum
kutemukan kau juga sampai hari ini. Seandainya kau sudah hidup bahagia, aku
sungguh rela. Namun hanya satu permohonanku, aku ingin bertemu denganmu. Walau
hanya sekejap mata, sekadar untuk obat rindu di dalam dada.
Itulah sepenggal lagu di antara sekian lagu Didi Kempot yang
akhir-akhir ini telah mengharu biru penggemarnya. Lagu-lagu Didi Kempot
tercipta dalam bahasa Jawa. Dan sudah lama ia menyanyikannya. Namun, baru
akhir-akhir ini lagu-lagunya meledak. Penggemarnya meluas, tak terbatas mereka
yang mengerti bahasa Jawa. Bukan hanya orangtua yang gemar lagu campur sari,
melainkan juga anak-anak muda bergaya hidup modern dan jauh dari tradisi.
Mengapa lagu-lagu Didi Kempot bisa memeluk demikian banyak
penggemar? Karena lagu-lagunya mendendangkan patah hati, cinta yang dikhianati,
dan janji yang mudah diingkari. Luka-luka hati itu banyak dialami orang zaman
ini. Dan Didi Kempot dirasa bisa mewakili dan menumpahkan perasaan mereka.
Maka kaum patah hati itu berkelompok. Yang laki-laki menamai diri
Sad Bois, yang perempuan Sad Gerls. Keduanya berhimpun di bawah nama Sobat
Ambyar. Dan pujaan mereka, Didi Kempot, digelari The Godfather of The
Broken-Heart alias The Lord of Ambyar.
Ambyar, kata ini sudah jelas dengan sendirinya. Namun, mengapa kata itu
tiba-tiba bisa demikian populer? Lebih-lebih kenapa ambyar itu bisa mewakili perasaan demikian
banyak orang? Adakah kata itu hanya menyangkut romantisisme orang di sekitar
kesedihan patah hati? Kalau kita bisa bertanya demikian, berarti suatu makna
yang dalam ada di dalam kata ambyar.
Dan ambyar itu
tak bisa hanya dikembalikan ke pengalaman patah hati belaka.
Ambyar seakan adalah kata yang diberikan oleh keadaan zaman agar kita
merasakannya secara lebih luas dan mendalam. Ambyar
tak cukup dikembalikan pada Didi Kempot lagi. Zaman hanya meminjam ambyar-nya Didi Kempot
untuk mengungkapkan gejala dan warta sejarah yang sedang kita alami kini.
Petaka kemajuan
Dalam khazanah Jawa, sebagai gejala sejarah, ambyar membuka kembali apa
yang tersimpan dalam ramalan pujangga Ranggawarsita seperti tertulis dalam Serat Sabda Jati: Para djanma sadjroning djaman pekewuh,
kasudranira andadi, dahurune saja darung, keh tyas mirong murang margi,
kasetyan wus nora katon—di zaman serba susah dan salah ini, nista
budi manusia makin menjadi-jadi, ruwetnya hidup terus terjadi, orang-orang
sengaja menempuh jalan yang salah, kesetiaan tiada lagi bisa dilihat mata.
Rupanya ramalan Serat
Sabda Jati tentang datangnya zaman pekewuh, zaman ruwet, zaman ambyar sedang kita alami
sekarang. Di zaman ambyar
ini manusia jadi serba salah. Dan seakan ada sebuah kekuatan tersembunyi yang
sedang menjerat manusia untuk jadi serba salah.
Zaman ambyar
itu bukanlah ramalan akan masa mendatang. Ambyar
itu petaka di zaman sekarang. Dan ambyar
itulah yang menentukan apa yang akan terjadi di masa depan, termasuk cita-cita
manusia tentang kemajuan.
Maka, kata filsuf Sekolah Frankfurt, Walter Benyamin: pengertian
kemajuan itu dasar dan titik berangkatnya adalah petaka. Apa yang terus
berjalan maju adalah petaka itu. Dan petaka itu bukan apa yang akan datang,
melainkan apa yang terjadi sekarang. Kalau kita bicara penyelamatan, ini
hanyalah lompatan-lompatan kecil dari petaka yang terus berkesinambungan itu.
Menurut garis pemikiran itu, masa depan yang gemilang hanya
utopia. Yang akan terjadi adalah masa depan sebagai petaka. Atau dalam khazanah
Jawa, masa depan itu zaman ewuh-pekewuh, zaman ambyar.
Dalam literatur Barat, tulisan mengenai petaka atau ambyar itu dengan mudah
ditemukan, mulai dari tulisan-tulisan filsafat, sosiologi kritis, politik,
ekologis, sampai analisis psikologis, sastra, dan refleksi teologis. Jadi,
bencana atau ambyar
itu tak hanya mengenai alam dan lingkungan hidup, tetapi juga mengenai manusia,
pemikiran, rasionalitas, dan kondisi psikisnya.
etaka atau ambyar
dibahas dengan tajam, misalnya, oleh Pankaj Mishra, sarjana keturunan India,
dalam bukunya yang terkenal Age
of Anger: a History of the Present (2017). Ia menunjukkan, akar
dari chaos,
petaka dan ambyar-nya
zaman ini adalah utopia
enlightenment masyarakat Barat. Utopia itu impian indah yang
akhirnya mendarat sebagai realitas mimpi buruk di zaman sekarang.
Enlightenment dengan buahnya kapitalisme dan demokrasi
liberal ditanamkan ke negara-negara yang tak punya akar tradisi enlightenment Barat.
Penanamannya sering dengan tindakan paksa: invasi militer, yang percaya,
setelah itu demokrasi akan mekar dengan sendirinya.
Utopia enlightenment
mendambakan kemajuan dan kemodernan. Namun, sebaliknyalah yang terjadi:
anti-kemodernan. Di banyak negara, anti-kemodernan ini berhimpun menjadi aksi
radikalisme agama, kekerasan, dan teror.
Menurut Mishra, aksi-aksi itu bukan pertama-tama bertujuan merusak
kemapanan yang dimiliki kemajuan dan kemodernan. Sebaliknya, aksi-aksi itu
ingin menikmati kemapanan itu. Namun, alam semesta sebagai sumber daya yang
terbatas ini pasti tak bisa memberikan apa yang ingin mereka nikmati, apalagi
semuanya itu sudah berada di tangan mereka yang maju dan modern.
Akibatnya adalah ressentiment,
kebencian. Maka, Mishra mengetengahkan pentingnya kita memahami kembali
pemikiran filsuf Rousseau dan Nietzsche. Keduanya berpendapat, ressentiment terjadi
karena pengalaman inferior, yang kemudian mengecamukkan perasaan iri hati.
Maunya meniru, tetapi tak mampu.
Hasrat meniru itu terus meninggi, sementara kemampuan diri kian
tertinggal jauh. Janji-janji kemodernan tentang pemerataan akhirnya hanya
mimpi. Si pemimpi kemudian menjumpai realitasnya tak sejalan dengan impiannya.
Hidupnya merana, dalam hal keadilan, pendidikan, status,
kekuasaan, dan kesejahteraan. Hidupnya ternyata ambyar. Siapa yang mau ambyar?
Maka mereka yang dikecewakan ini frustrasi. Karena frustrasi, mereka lalu
marah, protes, jadi radikal, dan tak segan menjalankan aksinya dengan
kekerasan. Itulah kemarahan kaum ambyar dalam the age of anger ini.
Lunturnya kesetiaan
Di zaman ini, ambyar
tak hanya menyambar politik, ekonomi, ataupun lingkungan. Hubungan personal pun
ikut ambyar. Dalam
hal personal itu, lagu-lagu mellow
Didi Kempot tentang patah hati seakan membahasakan dan melokalkan krisis
kesetiaan yang kini tengah menyebar di mana-mana.
Seperti dilaporkan Stephanie Schramm (die Zeit, 7/4/2011), sebuah
studi dari Hamburg dan Leipzig, Jerman, pernah memperlihatkan, 90 persen
responden menyatakan ingin tetap setia ke pasangan, tetapi 50 persen mengaku
setidaknya sekali pernah melanggar kesetiaan itu. Dewasa ini masuknya ”orang
ketiga” jauh lebih mudah daripada dulu.
Setia dianggap bukan hanya setia pada seorang pasangan seumur
hidup. Orang juga bisa merasa setia terhadap ”orang lain” yang sedang jadi
pasangannya pada suatu saat. Kesetiaan itu bisa menjadi serial, kesetiaan pada
pasangan yang berganti-ganti.
Monogami tampaknya kian dirasakan sebagai upaya kultural yang
berlawanan dengan kodrat alami dan manusiawi, yang sulit bersetia pada seorang
saja.
Karena itu kesetiaan monogami itu sulit dihayati. Juga di kalangan
anak muda melebarlah jurang pemisah antara keinginan dan kenyataan di sekitar
kesetiaan. Mereka menjunjung tinggi kesetiaan. Namun, praktiknya, dengan mudah
mereka berganti pacar atau pasangan.
Fakta ini mengungkapkan sebuah ironi: anak muda ingin berpegang
sungguh pada kesetiaan dan mengidealkan kesetiaan sebagai pegangan, justru
karena dalam realitas kesetiaan itu sedang ambyar
dan sulit dialami.
Studi itu juga memperlihatkan, perselingkuhan banyak terjadi
kebanyakan karena si pelaku tertarik akan yang baru. Hubungan dengan
pasangannya bisa memuaskan, juga secara seksual. Namun, itu tak menjamin bahwa
orang tak bisa tertarik dan kemudian puas dan nikmat dengan yang baru.
Lunturnya kesetiaan semacam ini sering disebabkan oleh sebuah
kebetulan, bukan karena disengaja atau direncanakan. Sementara kesempatan untuk
jatuh dalam kebetulan itu sekarang tersedia banyak. Sebab, dewasa ini manusia
lebih mobile,
berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan amat cepat, dan dapat berjumpa
dengan ”orang baru” dalam waktu amat singkat.
Lewat internet, orang juga mudah menemukan rangsangan akan yang
baru, yang sangat bervariasi dan menarik. Dan itu bisa dialaminya dalam ruang
paling privat, bahkan di saat ketika orang berada dekat dengan keluarga atau
pasangannya.
Menurut banyak penelitian, psikologi, sosiologi atau antropologi,
ketidaksetiaan itu ditentukan banyak faktor. Dan sulitlah memastikan manakah
faktor yang paling menentukan.
Kata seorang pakar terapi keluarga, Guy Bodenmann, kesetiaan
adalah proses kognitif di mana orang menghasratkan sebuah eksklusivitas. Dan
itu mengandaikan bahwa orang mau secara total memberikan komitmennya, emosional
dan seksual .
Komitmen demikian butuh kehendak yang kuat dan bulat. Itu artinya
untuk menjadi setia, orang harus bersedia dan rela berkorban untuk memberikan
dirinya. Justru pengorbanan macam inilah yang sekarang sedang luntur. Tak heran
jika kini banyak kesetiaan yang ambyar.
Sinetron politik ”ambyar”
Seperti dalam cinta, kesetiaan juga merupakan nilai dalam politik.
Maka dalam ilmu politik, kesetiaan disebut sebagai keutamaan politik. Politik
yang baik tercipta jika politikusnya setia pada janji politiknya, setia pada
konstituennya, dan setia pada mitra koalisinya dalam mengejar cita-cita yang
disepakati bersama.
Jelas, politik yang baik mengandaikan kesetiaan. Apabila
menjunjung tinggi nilai itu, politik serta-merta akan mewujudkan kesetiaan
dalam komitmen, serta pemberian dan pengorbanan diri yang jujur dan tulus.
Namun, justru dalam politik, orang dengan amat mudah mengkhianati kesetiaan,
mengingkari komitmen, dan menjerumuskan diri dalam perselingkuhan politik yang
baru.
Jadi, persis seperti atau melebihi perkara cinta, kesetiaan dalam
politik itu mudah terjangkiti virus ambyar.
Cuma kadar akutnya saja berbeda-beda. Kadang akutnya tak seberapa, kadang
menggila. Celakanya, ada gejala, berbarengan dengan merebaknya virus ambyar bersama Didi
Kempot, akhir-akhir ini politik kita kelihatan juga terkena virus ambyar dengan sangat akut.
Maka, kalau orang percaya pada kawruh
Jawa, mewabahnya Sobat Ambyar Didi Kempot itu juga sasmita yang memperbolehkan
kita bertanya, jangan-jangan situasi sosial-politik kita juga sedang ambyar.
Dengan mudah, ambyar
itu kita temukan dalam tingkah laku politik kita akhir-akhir ini. Kita boleh lega
melihat Prabowo Subianto dan Presiden Jokowi bersatu, dan Gerindra masuk dalam
Kabinet Indonesia Maju (KIM).
Namun, pertanyaan kritis tetap boleh muncul: sebegitu mudahkah
politikus lupa akan pengorbanan pendukungnya. Di manakah kesetiaan dan komitmen
politik mereka pada harapan pendukungnya?
Maklum, sebelum Pilpres 2019, pendukung kedua kubu demikian
terbelah, sampai tak terbayangkan sama sekali bahwa pemimpin mereka mau
menjalin sebuah koalisi politik.
Politik memang punya 1001 alasan untuk membenarkan diri. Namun,
dalam fenomena politik di atas tetaplah terbukti, politik itu tak setia pada
janji. Tepatlah jika para pendukungnya merasakan pahitnya lagu ”Cidra”, Didi
Kempot: ”Wis samesthine ati
iki nelangsa/wong sing tak tresnani mblenjani janji/Gek apa salah awakku iki,
kowe nganti tego mblenjani janji/… (Sudah semestinya hati ini
merana karena yang aku cintai mengingkari janji… Apa salahku, sampai kamu tega
mengingkari janji).
Sinetron ambyar
di panggung politik itu terus berlanjut. Baru saja menyatakan janji setia pada
koalisi, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh berpelukan mesra dengan Presiden
Partai Keadilan Sejahtera Sohibul Iman.
Media pun ramai dengan adegan itu. Presiden Jokowi pun menyindir,
Surya Paloh kelihatan lebih cerah dari biasanya sehabis berpelukan dengan
Sohibul.
Dan Presiden Jokowi masih memberi komentar, ”Saya tidak tahu maknanya
apa. Tetapi rangkulan itu tidak seperti biasanya. Tidak pernah saya dirangkul
oleh Bang Surya Paloh seerat dengan Pak Sohibul Iman.”
Belakangan, pada perayaan HUT ke-8 Parta Nasdem, bahasa pelukan
itu masih berlanjut. Berulang kali Presiden menegaskan, pelukan itu tak ada
salahnya. Toh, Presiden masih menyindir juga, pelukan itu hanya masalah
kecemburuan.
Begitulah, diskursus politik kita diturunkan derajatnya menjadi
masalah pelukan. Sebagian waktu politik kita disita untuk berspekulasi tentang
pelukan. Bahasa politik kita menjadi bahasa Sobat Ambyar. Surya Paloh
menyatakan ”sayang”
kepada para tokoh. ”Dan
jangan ragukan lagi, betapa saya masih sayang kepada Mbak Mega.” Megawati
memperlihatkan senyumnya yang tertahan mendengar sapaan itu.
Namun, orang tahu ini sinetron politik, senyum itu boleh ditafsir
sebagai senyum sinis tak percaya. Di mata banyak pemirsa, senyum itu seakan mau
bilang, ”mbel”.
Atau dalam bahasa Sobat Ambyar, senyum itu adalah lagu: Jebule janjimu jebule sumpahmu, ra
biso digugu (Janjimu, sumpahmu, ternyata palsu). Jika bersama
dengan fenomena ambyar, kita mau diingatkan akan sasmita zaman ewuh-pekewuh kita haruslah
waspada, kepalsuan dan ketaksetiaan akan janji kelihatan akan menjadi warna
dari politik kita.
Lihat saja, Pemilu dan Pilpres 2019 baru saja berlalu. Tokoh-tokoh
politik sama sekali belum membuktikan diri apakah mereka bisa memenuhi janjinya
dari kampanye lalu. Kabinet Indonesia Maju juga belum terbukti kerjanya. Di
tengah keadaan demikian sudah terbaca bagaimana politik membuat manuver-manuver
agar mereka bisa mempertahankan atau meraih kekuasaan di 2024.
Buat politikus kita, demokrasi seakan hanyalah alat mengejar
kekuasaan. Ini sungguh politik ambyar.
Ambyar karena
politik itu menghilangkan jejak dan dasar kelahirannya. Seperti dikatakan
filsuf Richard David Precht, politik itu tak lahir dengan sendirinya. Politik
itu lahir dari kepercayaan dan kejujuran rakyat.
Rakyat lalu mengharap agar berdasarkan kepercayaan itu politik
bertindak bijak, setia, dan tahu diri. Politik yang hanya mengejar kekuasaan
berarti menyapu habis dasar kelahirannya itu. Tak peduli dengan kepercayaan dan
kejujuran rakyat, prek
dengan kesetiaan dan kebijaksanaan. Yang penting, pokoknya, bagaimana meraih
kekuasaan.
Politik tak lagi berpikir apa yang terbaik untuk rakyat yang
memercayai dan menumpahkan harapan padanya. Yang dipikirkannya hanyalah apa
yang terbaik bagi dirinya dan itulah adalah semakin besarnya kekuasaan.
Politik demikian politik yang tak setia janji. Itulah politik yang
sekarang kira rasakan. Maka terhadap politik demikian, bersama Sobat Ambyar,
rakyat kiranya boleh memaki: Tak
tandur pari, jebul tukule malah suket teki (Padi yang kutanam,
ternyata tumbuhnya malah alang-alang).
Ya, terhadap politik kita sekarang, rakyat kiranya boleh merasa
patah hati. Rasanya, kita memang sedang hidup di zaman ewuh-pekewuh, di mana
banyak hal jadi serba salah, apalagi politiknya, yang wr-wr-wr, ambyar. []
KOMPAS, 20 November 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar