Telur dari Dalam Bangkai
Ayam, Apakah Halal Dikonsumsi?
Ternak hewan merupakan salah satu mata
pencarian bagi sebagian orang. Dengan menernak hewan, mereka mendapatkan
berbagai macam rezeki yang dapat menjamin keberlangsungan hidup yang mereka
jalani.
Sebagian dari jenis ternak hewan yang cukup
banyak ditekuni oleh masyarakat adalah ternak hewan unggas, khususnya adalah
ayam. Ternak ayam menjadi pilihan sebagian masyarakat, karena cukup menjanjikan
untuk dijadikan sebagai objek mata pencarian. Mulai dari ternak ayam potong,
sampai ayam petelur. Khusus dalam ternak ayam petelur ini, sering terjadi
berbagai problem yang dialami oleh para peternak, salah satunya adalah terkait
status telur di dalam ayam yang sudah mati tanpa disembelih secara syar’i.
Masihkah telur tersebut halal dikonsumsi, mengingat induknya telah menjadi
bangkai?
Dalam menyikapi status telur tersebut, ulama
berbeda pendapat dalam tiga pandangan. Pertama, status telur tersebut dihukumi
bisa disucikan dan dapat dikonsumsi ketika kondisi telur sudah mengeras,
berbeda halnya ketika kondisi telur masih lentur dan permukaan telur belum
berwujud kulit telur seperti yang biasa kita lihat, maka telur tersebut
dihukumi najis dan tidak dapat dikonsumsi. Pendapat ini merupakan pendapat
mayoritas ulama.
Kedua, status telur yang berada dalam induk
yang menjadi bangkai adalah suci secara mutlak, baik kondisi permukaan telur
sudah mengeras maupun belum mengeras. Pendapat ini didasarkan pada pandangan
bahwa antara telur dan hewan merupakan wujud yang berbeda, sehingga status
telur tidak bisa disamakan dengan induknya yang dihukumi najis karena sudah
menjadi bangkai. Pendapat ini merupakan pendapat Imam Abu Hanifah.
Ketiga, status telur yang berada dalam induk
yang telah menjadi bangkai adalah najis secara mutlak. Pendapat ini berdasarkan
pandangan bahwa telur yang masih belum terpisah dari induknya (masih di dalam
perut) dihukumi persis seperti induknya yang telah menjadi bangkai, sehingga
dalam keadaan bagaimanapun statusnya adalah najis dan tidak dapat dikonsumsi.
Pendapat ini adalah pendapat yang diungkapkan oleh Imam Malik.
Ketiga pendapat yang dijelaskan di atas di
antaranya ditemukan dalam kitab Hayat al-Hayawan al-Kubra:
فرع: البيضه التي في جوف الطائر الميت فيها ثلاثة أوجه حكاها
الماوردي والروياني والشاشي أصحها، وهو قول ابن القطان وأبي الفياض، وبه قطع
الجمهور إن تصلبت فطاهرة وإلا فنجسة. والثاني طاهرة مطلقاً، وبه قال أبو حنيفة
لتميزها عنه فصارت بالولد أشبه
“Cabang permasalahan: status telur yang
terdapat di dalam hewan burung yang mati terdapat tiga pendapat, seperti yang
disampaikan oleh Al-Mawardi, Ar-Rawyani, dan Asy-Syasyi. Pendapat yang paling
sahih adalah pendapat Ibnu al-Qattan dan Abi al-Faid yang juga dipastikan oleh mayoritas
ulama bahwa ketika telur sudah mengeras maka telur tersebut suci, namun jika
telur tidak mengeras maka telur tersebut najis. Pendapat kedua, telur yang
terdapat dala perut hewan burung yang mati berstatus suci secara mutlak,
pendapat ini seperti yang disampaikan oleh Abu Hanifah dengan dalih telur
tersebut sudah dapat dibedakan dengan hewan yang mati, maka telur tersebut
lebih serupa dengan anak hewan (yang masih hidup dalam perut induk yang telah
mati).”
والثالث
نجسة مطلقاً، وبه قال مالك لأنها قبل الإنفصال جزء من الطائر وحكاه المتولي عن نص
الشافعي رضي الله تعالى عنه. وهو نقل غريب شاذ ضعيف.
“Pendapat ketiga, telur tersebut berstatus
najis secara mutlak, pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik, sebab telur
ketika belum terpisah (dari Induknya) merupakan bagian (juz) dari hewan burung.
Imam Al-Mutawalli juga menyampaikan pendapat tersebut dari penjelasan Imam
Syafi’I. Namun penukilan tersebut dianggap aneh, dan merupakan pendapat yang
syadz dan lemah.” (Kamaluddin Muhammad bin Musa ad-Damiri, Hayat al-Hayawan
al-Kubra, juz 1, hal. 462)
Penisbatan pada telur hewan burung pada
referensi di atas bukanlah suatu ketentuan yang khusus, sebab hukum yang sama
juga berlaku pada hewan-hewan yang sejenis, termasuk dalam status telur dari
ayam.
Sedangkan maksud dari status telur yang suci
dalam referensi di atas bukan berarti seluruh komponen telur tersebut langsung
dihukumi suci ketika langsung diambil dari hewan yang telah menjadi bangkai,
namun yang dimaksud adalah bagian dalam telur di hukumi suci, sedangkan
permukaan telur (kulit telur) harus disucikan terlebih dahulu, sebab permukaan
telur menyentuh bagian perut bangkai yang najis, sehingga permukaan telur
menjadi benda yang terkena najis (mutanajjis) dan harus disucikan terlebih
dahulu sebelum di masak atau di konsumsi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam
menyikapi status telur yang terdapat di dalam bangkai ayam dan sejenisnya,
terdapat tiga pendapat, seperti yang telah dijelaskan dalam penjelasan awal.
Namun dalam ranah pengamalan, sebaiknya kita berpijak pada pendapat yang paling
shahih, yaitu pendapat mayoritas ulama yang berpandangan bahwa ketika permukaan
telur sudah mengeras, maka dihukumi suci dan dapat dikonsumsi, sedangkan ketika
permukaan telur belum mengeras, maka telur dihukumi najis dan tidak dapat
dikonsumsi. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar