Selasa, 12 November 2019

(Ngaji of the Day) Telur dari Dalam Bangkai Ayam, Apakah Halal Dikonsumsi?


Telur dari Dalam Bangkai Ayam, Apakah Halal Dikonsumsi?

Ternak hewan merupakan salah satu mata pencarian bagi sebagian orang. Dengan menernak hewan, mereka mendapatkan berbagai macam rezeki yang dapat menjamin keberlangsungan hidup yang mereka jalani.

Sebagian dari jenis ternak hewan yang cukup banyak ditekuni oleh masyarakat adalah ternak hewan unggas, khususnya adalah ayam. Ternak ayam menjadi pilihan sebagian masyarakat, karena cukup menjanjikan untuk dijadikan sebagai objek mata pencarian. Mulai dari ternak ayam potong, sampai ayam petelur. Khusus dalam ternak ayam petelur ini, sering terjadi berbagai problem yang dialami oleh para peternak, salah satunya adalah terkait status telur di dalam ayam yang sudah mati tanpa disembelih secara syar’i. Masihkah telur tersebut halal dikonsumsi, mengingat induknya telah menjadi bangkai?

Dalam menyikapi status telur tersebut, ulama berbeda pendapat dalam tiga pandangan. Pertama, status telur tersebut dihukumi bisa disucikan dan dapat dikonsumsi ketika kondisi telur sudah mengeras, berbeda halnya ketika kondisi telur masih lentur dan permukaan telur belum berwujud kulit telur seperti yang biasa kita lihat, maka telur tersebut dihukumi najis dan tidak dapat dikonsumsi. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama. 

Kedua, status telur yang berada dalam induk yang menjadi bangkai adalah suci secara mutlak, baik kondisi permukaan telur sudah mengeras maupun belum mengeras. Pendapat ini didasarkan pada pandangan bahwa antara telur dan hewan merupakan wujud yang berbeda, sehingga status telur tidak bisa disamakan dengan induknya yang dihukumi najis karena sudah menjadi bangkai. Pendapat ini merupakan pendapat Imam Abu Hanifah.

Ketiga, status telur yang berada dalam induk yang telah menjadi bangkai adalah najis secara mutlak. Pendapat ini berdasarkan pandangan bahwa telur yang masih belum terpisah dari induknya (masih di dalam perut) dihukumi persis seperti induknya yang telah menjadi bangkai, sehingga dalam keadaan bagaimanapun statusnya adalah najis dan tidak dapat dikonsumsi. Pendapat ini adalah pendapat yang diungkapkan oleh Imam Malik. 

Ketiga pendapat yang dijelaskan di atas di antaranya ditemukan dalam kitab Hayat al-Hayawan al-Kubra:

فرع: البيضه التي في جوف الطائر الميت فيها ثلاثة أوجه حكاها الماوردي والروياني والشاشي أصحها، وهو قول ابن القطان وأبي الفياض، وبه قطع الجمهور إن تصلبت فطاهرة وإلا فنجسة. والثاني طاهرة مطلقاً، وبه قال أبو حنيفة لتميزها عنه فصارت بالولد أشبه 

“Cabang permasalahan: status telur yang  terdapat di dalam hewan burung yang mati terdapat tiga pendapat, seperti yang disampaikan oleh Al-Mawardi, Ar-Rawyani, dan Asy-Syasyi. Pendapat yang paling sahih adalah pendapat Ibnu al-Qattan dan Abi al-Faid yang juga dipastikan oleh mayoritas ulama bahwa ketika telur sudah mengeras maka telur tersebut suci, namun jika telur tidak mengeras maka telur tersebut najis. Pendapat kedua, telur yang terdapat dala perut hewan burung yang mati berstatus suci secara mutlak, pendapat ini seperti yang disampaikan oleh Abu Hanifah dengan dalih telur tersebut sudah dapat dibedakan dengan hewan yang mati, maka telur tersebut lebih serupa dengan anak hewan (yang masih hidup dalam perut induk yang telah mati).”

والثالث نجسة مطلقاً، وبه قال مالك لأنها قبل الإنفصال جزء من الطائر وحكاه المتولي عن نص الشافعي رضي الله تعالى عنه. وهو نقل غريب شاذ ضعيف.

“Pendapat ketiga, telur tersebut berstatus najis secara mutlak, pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik, sebab telur ketika belum terpisah (dari Induknya) merupakan bagian (juz) dari hewan burung. Imam Al-Mutawalli juga menyampaikan pendapat tersebut dari penjelasan Imam Syafi’I. Namun penukilan tersebut dianggap aneh, dan merupakan pendapat yang syadz dan lemah.” (Kamaluddin Muhammad bin Musa ad-Damiri, Hayat al-Hayawan al-Kubra, juz 1, hal. 462)

Penisbatan pada telur hewan burung pada referensi di atas bukanlah suatu ketentuan yang khusus, sebab hukum yang sama juga berlaku pada hewan-hewan yang sejenis, termasuk dalam status telur dari ayam.

Sedangkan maksud dari status telur yang suci dalam referensi di atas bukan berarti seluruh komponen telur tersebut langsung dihukumi suci ketika langsung diambil dari hewan yang telah menjadi bangkai, namun yang dimaksud adalah bagian dalam telur di hukumi suci, sedangkan permukaan telur (kulit telur) harus disucikan terlebih dahulu, sebab permukaan telur menyentuh bagian perut bangkai yang  najis, sehingga permukaan telur menjadi benda yang terkena najis (mutanajjis) dan harus disucikan terlebih dahulu sebelum di masak atau di konsumsi. 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam menyikapi status telur yang terdapat di dalam bangkai ayam dan sejenisnya, terdapat tiga pendapat, seperti yang telah dijelaskan dalam penjelasan awal. Namun dalam ranah pengamalan, sebaiknya kita berpijak pada pendapat yang paling shahih, yaitu pendapat mayoritas ulama yang berpandangan bahwa ketika permukaan telur sudah mengeras, maka dihukumi suci dan dapat dikonsumsi, sedangkan ketika permukaan telur belum mengeras, maka telur dihukumi najis dan tidak dapat dikonsumsi. Wallahu a’lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar