Hukum Makan Bekicot
Bekicot merupakan salah satu hewan yang biasa
ditemukan di tempat-tempat yang lembab dengan ciri khas memiliki tempurung yang
berfungsi untuk melindungi dirinya. Tempurung bekicot ini selalu menyertainya
di mana pun hewan ini berjalan, seperti halnya yang juga terjadi pada siput dan
kura-kura.
Akhir-akhir ini ramai terjadi di masyarakat
penjualan daging bekicot. Umumnya hewan ini dimasak dalam bentuk sate, sehingga
lebih dikenal dengan nama “sate bekicot”. Masyarakat awam merespon fenomena
tersebut dengan sikap yang beda-beda. Ada yang membeli dan mengonsumsinya,
tanpa peduli apakah hewan bekicot ini halal atau tidak, ada pula yang memilih
untuk tidak membeli karena belum tahu status kehalalan hewan bekicot, bahkan
ada pula yang menganggap bahwa “sate bekicot” merupakan salah satu objek mata
pencaharian tersendiri yang dapat mencukupi keberlangsungan hidupnya dan
keluarganya.
Sebenarnya, halal atau haramkah mengonsumsi
bekicot menurut hukum Islam?
Bekicot dalam istilah Arab biasa dikenal
dengan nama halzun. Hewan ini oleh para ulama dikategorikan sebagai hewan yang
menjijikkan (mustakhbas), sehingga termasuk hewan yang tidak halal alias haram.
Hal demikian seperti yang dijelaskan dalam kitab Hayat al-Hayawan al-Kubra:
الحلزون: عود في جوف أنبوبة حجرية يوجد في سواحل البحار وشطوط
الأنهار. وهذه الدودة تخرج بنصف بدنها من جوف تلك الأنبوبة الصدفية، وتمشي يمنة
ويسرة تطلب مادة تغتذي بها فإذا أحست بلين ورطوبة انبسطت إليها، وإذا أحست بخشونة
أو صلابة انقبضت وغاصت في جوف الأنبوبة الصدفية، حذراً من المؤذي لجسمها، وإذا
انسابت جرت بيتها معها.
وحكمه: التحريم لاستخباثه. وقد قال الرافعي في السرطان أنه يحرم
لما فيه من الضرر لأنه داخل في عموم تحريم الصدف. وسيأتي الكلام عليه في باب السين
المهملة
“Halzun membiasakan hidup di dalam tempurung
yang keras. Hewan ini dapat ditemukan di pinggir lautan dan di tepi sungai.
Hewan ini mengeluarkan sebagian badannya dari dalam tempurung kerangnya, lalu
berjalan ke kanan dan kiri untuk mencari benda yang dapat ia makan. Ketika dia
merasa berada di tempat yang lembut dan basah maka ia akan membeberkan diri
pada tempat itu. Dan ketika dia merasa berada di tempat kasar dan kering maka
dia akan mengurung dan masuk kedalam tempurung kerang tersebut karena khawatir
dari sesuatu yang menyakiti tubuhnya. Ketika dia berjalan maka rumahnya juga
bersamanya.
Hukum mengonsumsi hewan ini adalah haram,
karena hewan ini dianggap hewan yang menjijikkan (menurut orang Arab).” (Syekh
Kamaluddin ad-Damiri, Hayat al-Hayawan al-Kubra, juz 1, hal. 234)
Berdasarkan referensi di atas, maka
mengonsumsi hewan bekicot adalah hal yang diharamkan sebab bekicot tergolong
hewan yang menjijikkan menurut pandangan orang Arab. Sehingga meskipun sebagian
orang ada yang menganggap bekicot sebagai hewan yang normal untuk dikonsumsi
dan dianggap tidak menjijikkan, maka penilaiannya sama sekali tidak
mempengaruhi terhadap keharaman mengonsumsi hewan bekicot secara umum.
Ketika hewan tersebut diharamkan, maka hukum
menjual sate bekicot, seperti halnya yang biasa terjadi di masyarakat juga
merupakan hal yang diharamkan, sebab akan mengantarkan orang lain untuk
melakukan keharaman (i’anah alal maksiat), berupa mengonsumsi hewan yang haram
dimakan.
Pendapat di atas merupakan pandangan dalam
mazhab Syafi’i, seperti halnya yang dianut oleh mayoritas Muslim di Indonesia.
Sedangkan ketika menelisik status daging bekicot dengan berpijak pada mazhab
lain, rupanya masih terdapat ulama yang berpandangan bahwa bekicot bukanlah hal
yang diharamkan, misalnya seperti dalam pendapat Imam Malik seperti yang
dikutip dalam kitab al-Mudawwanah al-Kubra:
ولقد
سئل مالك عن شئ يكون في المغرب يقال له الحلزون يكون في الصحارى يتعلق بالشجر
أيؤكل قال أراه مثل الجراد ما أخذ منه حيا فسلق أو شوي فلا أرى باكله بأسا وما وجد
منه ميتا فلا يؤكل
“Imam Malik pernah ditanya tentang hewan yang
ditemukan di tanah Maghrib (Maroko) biasa disebut dengan halzun. Hewan ini
biasa berada di hutan belantara dan bergantungan pada pepohonan. Apakah hewan
ini dapat dimakan? Beliau menjawab, ‘Aku berpandangan hewan tersebut seperti
jarad (belalang) jika diambil dalam keadaan hidup lalu diseduh atau dimasak,
sehingga menurutku mengonsumsi hewan tersebut tidak masalah. Sedangkan ketika
ditemukan dalam keadaan mati, maka tidak boleh di makan’.” (Imam Sahnun bin
Said at-Tanukhi, al-Mudawwanah al-Kubra, juz 3, hal. 111)
Namun meski begitu, baiknya bagi kita agar
tetap berpijak pada pendapat mazhab Syafi’i seperti yang dianut oleh umumnya
Muslim di Indonesia. Sebab dengan tidak mengonsumsi bekicot berarti seseorang
konsisten dalam mengamalkan ajaran mazhabnya (mazhab Syafi’i) sekaligus sudah
menjalankan husnul khuluq, yaitu adaptif terhadap masyarakat sekitar yang juga
berpandangan bahwa bekicot itu haram—sehingga masyarakat tidak memberikan nilai
buruk pada dirinya.
Pendapat ulama yang memperbolehkan
mengonsumsi bekicot baiknya ditempatkan dalam tataran yang sesuai, misalnya
ketika dalam keadaan terpaksa seperti tidak ada makanan lain selain hewan
bekicot. Dalam keadaan mendesak tersebut ia dapat berpijak pada pendapat dalam
mazhab Maliki seperti yang dijelaskan di atas. Wallahu a’lam. []
Ustadz Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok
Pesantren Kaliwining Rambipuji Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar