Pandangan KH Wahab
Chasbullah soal Hukum Potong Tangan
Dalam lintas sejarah
Indonesia pasca-kemerdekaan, pemerintahan Indonesia pernah mengalami berbagai
perubahan bentuk. Pada 1945-1949 menggunakan sistem presidensial, 1949-1950
berbentuk parlemen semu, 1950-1959 berbentuk parlementer, kemudian dari 1959
hingga saat ini, Indonesia masih menggunakan sistem presidensial.
Pada rentang
1956-1959 perwujudan pemerintahan parlementer yaitu dengan membentuk Majelis
Konstituante. Pada masa ini terjadi perdebatan alot antara tiga faksi (kubu)
terkait dengan unsur yang ingin dijadikan sebagai dasar negara.
Pertama ialah Faksi
Pancasila yang sama sekali piagama Jakarta dalam dasar negara. Kedua Faksi
Islam (NU termasuk di kubu ini) yang menginginkan piagam Jakarta tidak
dihilangkan secara serta merta, dan kubu ekonomi sosialis demokrasi yang
menginginkan dasara negara sosialis.
Bahkan di tubuh faksi
Islam secara formal menginginkan Islam menjadi dasar negara. Meskipun NU ada di
kubu ini, organisasi para kiai tersebut tidak ingin Islam secara partikular
dijadikan dasar negara. Hal itu justru menyempitkan nilai-nilai ajaran Islam,
karena posisi agama di atas dasar negara. Maka dari itu, sudah selayaknya Islam
menjiwai dasar negara.
Keinginan kubu
sekuler yang ada di faksi Pancasila (PNI, PKI, Republik Proklamasi, PSI,
Parkindo, dan lain-lain) hanya menginginkan Pancasila tanpa dijiwai oleh
nilai-nilai Islam dalam Piagam Jakarta, inilah yang ditolak NU. Sedangkan NU
sendiri tidak menolak Pancasila dan UUD 1945 jika tetap dijiwai oleh
nilai-nilai agama Islam yang termaktub dalam Piagam Jakarta.
Dewan Konstituante
telah melakukan sidang pleno tiga kali pada tahun 1957 dari tujuh sidang pleno
dalam rentang 1956-1959. Pada sidang pleno 3 Desember 1957, KH Abdul Wahab
Chasbullah dari NU memberikan pidato yang berjudul Pancasila dan Demokrasi
dalam Sistem Islam. (Lihat Abdul Mun’im DZ, KH Abdul Wahab Chasbullah: Kaidah
Berpolitik dan Bernegara, 2014)
Dalam pidatonya itu,
Kiai Wahab panjang lebar memberikan pemahaman terkait elaborasi nilai-nilai
Islam dengan Pancasila dan demokrasi yang selama ini dikembangkan oleh
pemerintah Indonesia. Negara berdasar ketuhanan memang telah menjadi
kesepakatan bersama para pendiri bangsa. Namun bagi NU, ketuhanan yang
diwujudkan oleh umat Islam dengan menjalankan syariat juga patut diakomodasi
karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.
Tetapi, perlu
ditegaskan bukan berarti NU mendorong formalisasi syariat ke dalam sistem
negara, namun praktik-praktik hukum Islam juga penting diakomodasi ke dalam
Undang-undang. Perkara Undang-undang ini berarti harus melalui musyawarah
mufakat di Parlemen yang keputusannya diserahkan sepenuhnya berdasarkan
pemahaman dan kesepakatan bersama.
Hal ini berarti tidak
semua hukum yang diatur dalam syariat bisa serta merta dipraktikkan dalam
kehidupan bernegara, seperti hukum potong tangan. Karena harus melalui
kesepakatan di parlemen dengan mempertimbangkan maslahat dan mudharat-nya.
Dalam pidatonya, Kiai
Wahab Chasbullah mengatakan: “...bahwa hukum potong tangan atau sesamanya yang
selalu dibuat momok oleh penjajahan, dibuat memedi supaya umat Islam takut pada
Islam, ini saya jelaskan sedikit bahwa hukum potong tangan itu tidak lantas
potong-potong saja, tetapi lebih dahulu dipertimbangkan, dipotong tidaknya
dilihat dari sudut baik-buruknya, sedangkan yang menentukan baik-buruknya ialah
Parlemennya.
Karena itu, sekali
pun sekarang sudah dimufakati seorang pencuri dicemplungkan dalam sumur dan
Parlemennya juga memutuskan begitu, ya dicemplungkan saja. Jadi, potong tangan
itu bilamana belum menjadi putusan dengan mempertimbangkan baik-buruknya, tidak
akan dilakukan, jadi tidak usah khawatir.” (Abdul Mun’im DZ, KH Abdul Wahab
Chasbullah: Kaidah Berpolitik dan Bernegara, 2014: 29)
Islam secara
substansi dalam Undang-undang negara hingga saat ini merupakan hasil pemikiran
para kiai pesantren yang tergabung di dalam NU. NU tidak sepakat menerapkan
secara formal Piagam Jakarta ke dalam dasar negara di sidang pleno Majelis
Konstituante, seperti yang dikehendaki kelompok Islam lain seperti Masyumi,
PSII, Perti, dan lain-lain. Maka jalan tengahnya adalah Piagam Jakarta menjadi
jiwa dan semangat UUD 1945.
Jalan tengah yang
diberikan oleh NU disambut baik oleh Presiden Soekarno yang atas usul Jenderal
Abdul Haris Nasution bahwa negara harus kembali kepada Pancasila dan UUD 1945.
Sebab itu, harus dilakukan Dekrit Presiden secara konstitusional. Resistensi
terhadap kelompok Islam tidak terjadi ketika Soekarno mengeluarkan Dekrit pada
5 Juli 1959 karena dasar negara telah dijiwai oleh Piagam Jakarta atas jalan
tengah yang diberikan oleh NU.
Dalam hal ini, NU
berhasil memberikan pemahaman Islam secara substansial dalam sistem berbangsa
dan bernegara, bukan Islam partikular yang menginginkan formalisasi Islam ke
dalam sistem bernegara. []
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar