Kisah Mualaf dan
Rezeki Langit
Dua kakak beradik Majusi (penyembah api), kecewa dengan api yang mereka sembah. Pasalnya, waktu dites, api itu tidak jadi dingin, tapi malah membakar jemari si adik. Padahal sudah mereka sembah bertahun-tahun.
Di tengah galau
bimbang mereka, keduanya mendengar tentang Islam. Dan di daerah nun jauh di
sana, katanya, ada salah satu orang ampuh yang menyebarkan agama Islam bernama
Malik bin Dinar.
Kakak beradik itu
mantap berangkat ke majelis Malik bin Dinar untuk mengenal Islam. Namun, baru
pertengahan jalan sang kakak surut langkah, dengan alasan khawatir cacian
keluarga dan tetangganya. Sedang sang adik tetap berjalan membawa serta istri
dan anaknya.
Sesampai di majelis
Syekh Malik bin Dinar, keluarga kecil itu mendengarkan pengajian sampai usai.
Setelahnya, baru menyampaikan kisah dan tujuannya. Langsung, hadirin yang belum
bubar menangis berjamaah! Terharu ada Majusi yang menyembah api puluhan tahun
masuk Islam.
“Nantilah sebentar,
jangan beranjak pergi dulu," rayu Syekh Malik bin Dinar, "Tunggulah
sebentar, kami akan mengumpulkan sedikit uang untuk bekal kalian
sekeluarga."
"Maaf, kami
tidak ingin menjual agama ini dengan uang!" jawab mualaf itu tegas, lalu
ia pamit meninggalkan majelis.
Kemudian keluarga
kecil itu meninggalkan majelis Malik bin Dinar dan memasuki rumah kosong hampir
roboh yang mereka temukan sebagai ganti rumah asri yang mereka tinggalkan nun
jauh di sana. Sesampai di rumah, si istri meminta:
"Yah, cobalah
Ayah mencari pekerjaan di pasar, dan nanti, belilah dengan uang hasil kerjamu,
sesuatu yang bisa kami makan."
Sang suami
mengiyakan, lalu pergi ke pasar menawarkan tenaganya. Namun nahas, orang
sebanyak itu, tidak ada satu pun yang mau menggunakan tenaganya.
"Ah, bagaimana
kalau aku bekerja pada Allah saja?" batinnya ditengah deraan putus asa.
Lalu, ia melangkahkan
kaki menuju masjid, mengerjakan shalat berjam-jam hingga malam. Kemudian pulang
dengan tangan hampa.
"Hari ini, kau
tidak dapat apa-apa?" tanya sang istri setelah melihat lesu pada wajah
suaminya.
"Hai, sayangku.
Hari ini aku bekerja kepada Allah yang menguasai segenap kerajaan. Tapi Ia
belum memberikan ongkos, mungkin besok akan membayarnya."
Dan keluarga kecil
itu menahan lapar dalam kedinginan malam yang menusuk. Keesokan harinya, dengan
semangat tinggi, sang suami mengulangi apa yang dilakukan kemarin, yakni ke
pasar dulu, kalau tidak ada yang menggunakan tenaganya baru ke Masjid untuk
"berdagang" kepada Allah sampai malam. Tapi, lagi-lagi hasilnya
nihil. Pulang malam tidak membawa apa-apa. Jadilah keluarga itu hanya minum air
selama dua hari, tanpa makanan.
Di hari ketiga, yang
kebetulan hari Jumat, ia mengulangi aktivitasnya ke pasar. Lemas dia, sebab
hari itupun tidak ada orang yang mempekejakannya. Padahal dua perut yang
menunggu di rumah sudah menjerit kelaparan.
Dengan langkah
gontai, ia menuju masjid, wudhu, shalat dua rakaat, lalu mengangkat
tinggi-tinggi kedua tangannya:
"Ya, Tuhanku. O,
Sayyidi. Wahai Maulaya. Engkau telah memuliakanku dengan mengenal agama Islam.
Memahkotaiku dengan mahkota Islam. Menunjukkanku dengan mahkota hidayah. Demi
agama yang Kau-rezekikan padaku dan dengan kemuliaan hari mulia yang Kau
katakan berderajat agung, yakni hari Jumah. O, Tuhanku. Aku memohon kepada-Mu.
Hilangkan himpitan nafkah keluargaku ini dari dada. Berilah hamba rezeki yang
tiada disangka. Aku, O, Allah! Malu pada keluargaku. Aku takut, karena baru
masuknya Islam, hati mereka akan berubah!"
Lalu dia meneruskan
shalat sampai malam.
Di lain tempat di
waktu yang sama. Tiba-tiba rumah reyot lelaki pendo'a itu diketuk orang.
Setelah dibukakan oleh sang Istri. Ternyata, di depan pintu, berdiri lelaki
rupawan luar biasa dengan membawa bejana emas, ditutupi kain bersulam emas, dan
di dalamnya juga berisi emas seribu Dinar!
"Ini adalah upah
suamimu," kata lelaki tampan itu pada istri orang yang sedang shalat di
Masjid, "Katakan padanya, kalau ini baru ongkos dua hari kerjanya. Kalau
hari ini dia semakin giat, maka kami akan menambahkan ongkos khusus, di hari
Jumat yang istimewa ini,"
Setelah lelaki tampan
itu pergi, sang istri bergegas mengambil satu emas untuk ditukarkan dengan mata
uang yang terlaku di tempat penukaran. Ganti pemilik toko penukaran mata uang
yang beragama Nasrani terlongong bingung dan takjub. "Ini, kualitas emas
yang di bumi tidak ada! Pasti ini dari akhirat!" batinnya. Apalagi setelah
dia bertanya dan dikisahkan bagaimana emas itu bisa didapatkan. Hatinya semakin
mantap lalu masuk Islam. Subhanallah.
Ketika sang suami
pulang dengan tangan hampa. Dalam keputusasaannya. Ia mengambil debu di pinggir
jalan, membungkusnya dengan sapu tangannya. Angannya, "Kalau istriku
bertanya apa isinya. Akan kujawab tepung!".
Namun ketika memasuki
pelataran rumah, ia takjub dan terheran-heran. Rumahnya jadi rajin, dengan
berbagai macam hiasan dan makanan lezat. Apalagi sang istri menyongsong
bahagia. Melewati pintu, bungkusan bututnya ia letakkan di pinggir. Lalu
bertanya kepada sang istri apa yang terjadi. Setelah tahu, ia langsung sujud
syukur. Alhamdulillaahh...
Beberapa saat
kemudian.
"Eh, Yah?
Bungkusan itu isinya apa?"
"Entahlah,
jangan kau tanya aku," jawab sang suami sambil mengalihkan pandangan
matanya.
Tidak dijawab, malah
membuat penasaran istrinya yang lalu mengambil bungkusan itu.
"Alhamdulillaah... isinya tepung, Yah,"
"Apa?
Alhamdulillaah..."
Lalu dia pun sujud
syukur kembali.
[]
(Dialihbahasakan H.
Muhammad Aminuddin Nuruddin Qosim, Tegalsari, Banyuwangi dari kitab
al-Ushfuriyah, halaman 5-6).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar