Belajar dari Nabi Yusuf:
Memaafkan Tanpa Mendendam
Bisakah Anda bayangkan bila satu ketika Anda disakiti oleh seseorang atau bahkan oleh saudara sendiri dengan perilaku yang begitu menyakitkan dan bahkan hampir menghilangkan nyawa Anda, mampukah Anda memaafkan kesalahannya? Atas kezaliman yang sedemikian rupa dapatkah Anda memaafkan kesalahannya tanpa menyisakan rasa dendam sedikitpun dalam hati Anda, dan bahkan setelah itu Anda tetap bersahabat dan bersaudara secara baik dengannya?
Tidak dipungkiri bahwa sering kali atas
kesalahan yang sesungguhnya tak seberapa kita susah untuk memaafkannya dengan
penuh ketulusan dan bahkan juga susah untuk bisa kembali bersahabat sebagaimana
sebelumnya. Atau setidaknya, ketika kita berkenan memaafkan kesalahan tersebut
kita tidak benar-benar memaafkannya dengan hati yang tulus. Masih ada rasa
tidak suka dan bahkan dendam yang tersisa di dalam hati kita. Mengingat,
mengungkit dan membincangkan kesalahnnya masih tetap dilakukan meski sudah
memaafkannya. Padahal semestinya memaafkan adalah menghapus kesalahan itu tanpa
pernah lagi mengingat dan mengungkitnya.
Memaafkan yang dalam bahasa Arab disebut
‘afwun dan pelakunya disebut al-‘âfî berasal dari kata ‘afâ – ya‘fû semakna
dengan kata mahâ – yamhû – mahwûn yang berarti menghapus (Atabik Ali dan Ahmad
Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab–Indonesia [Yogyakarta: Yayasan Ali
Maksum, 1997], hal. 1302).
Orang yang memberi maaf tidak sekadar
mengucapkan kata maaf belaka, namun juga disertai rasa keridhaan, keikhlasan,
dan tidak mendendam. Ia menghapus kesalahan dari dalam hatinya. Bukanlah pemaaf
bila satu saat masih mengungkit-ungkit kesalahan orang lain dan bahkan
menyebarluaskannya ke banyak orang. Bukanlah pemaaf bila dalam hatinya masih
tersimpan kebencian pada orang yang berbuat salah kepadanya.
Berat! Iya. Tapi bukan bererti tidak mungkin
untuk bisa dilakukan. Al-Qur’an, melalui kisah Nabi Yusuf, telah menggambarkan
dan mengajarkan bagaimana semestinya seseorang memberikan maaf kepada orang
yang menyalahinya dan kemudian kembali bersahabat sebagaimana mestinya.
Sebagaimana telah dipahami bersama bahwa Nabi
Yusuf ‘alaihis salâm adalah korban kezaliman luar biasa yang dilakukan oleh
saudara-saudara kandungnya sendiri karena merasa tidak diperlakukan sama
baiknya oleh orang tua. Mereka dengan sengaja bermaksud menyingkirkan Yusuf
dengan memasukkannya ke dalam sumur. Sebelumnya bahkan mereka menyiksa Yusuf
terlebih dahulu dan tak menghiraukan permintaan tolongnya.
Perjalanan kehidupan berikutnya dilalui oleh
Yusuf dengan berbagai cobaan yang tak ringan. Ia sempat menjadi budak yang
diperjualbelikan di pasar budak hingga dipenjara atas sebuah tuduhan satu
tindakan tak bermoral yang tak pernah ia lakukan.
Pada gilirannya Nabi Yusuf menjadi seorang
pejabat penting di Mesir. Ia memiliki kekuasaan dan pengaruh yang besar di
negerinya. Ia menentukan banyak kebijakan publik bagi bangsanya. Dan pada saat
posisinya yang begitu kuat ini Allah menunjukkan kemuliaan dan kebesaran hati
Nabi Yusuf.
Saudara-saudara Nabi Yusuf yang dulu telah
membuangnya beberapa kali datang ke Mesir untuk satu keperluan kebutuhan hidup.
Mereka diterima langsung oleh Nabi Yusuf namun tak mengenalinya karena
menyangka Yusuf telah meninggal di dasar sumur itu. Pada akhirnya mereka
mengenali bahwa pejabat negara yang selama ini mereka datangi dan membantu
memenuhi kebutuhan hidup mereka adalah orang yang dahulu pernah mereka
singkirkan secara aniaya. Kini mereka telah mengetahui dan mengakui bahwa Allah
lebih memberikan kemuliaan kepada Yusuf dari pada kepada mereka. Yusuf telah
menjadi orang penting, terpandang dan mulia. Dan kini di hadapan Nabi Yusuf
mereka mengakui kesalahan dan dosa-dosanya.
Sebagai seorang pejabat yang memiliki
kekuasaan dan sangat berpengaruh pada saat itu semestinya Nabi Yusuf memiliki
kesempatan dan kemampuan untuk membalas dan memberikan hukuman yang berat bagi
saudara-saudaranya. Saat itu bisa saja Nabi Yusuf membalas dendam atas apa yang
dilakukan oleh mereka kepadanya. Namun itu semuanya tak dilakukan olehnya. Pada
saat seperti itu kemuliaan akhlaknya justru menuntunnya untuk berbesar dan
berlapang hati mengucapkan satu kalimat:
لَا
تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكُمْ
Artinya: “Tak ada celaan bagi kalian di hari
ini, semoga Allah mengampuni kalian.” (QS. Yusuf: 92)
Ada dua hal yang disampaikan Nabi Yusuf
dengan kalimat tersebut. Pertama, dengan kalimat “tak ada celaan bagi kalian di
hari ini” Nabi Yusuf ingin menegaskan bahwa ia memberikan maaf kepada
saudara-saudaranya tanpa ada rasa dendam di dalam hatinya. Ia benar-benar telah
memaafkan mereka dengan menghapus semua kesalahan dari ingatan dan hatinya. Ia
tak ingin mencela, mencemooh dan bahkan mengecam orang-orang yang telah
menyengsarakannya, bahkan hampir saja menghilangkan nyawanya.
Imam al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi dalam
tafsirnya Ma’âlimut Tanzîl (2016:500) menuliskan penafsiran kalimat itu dengan
“tak ada kecaman bagi kalian pada hari ini dan aku tidak akan menyebut-nyebut
dosa kalian setelah hari ini.” Sementara Az-Zujaj sebagaimana dikutip
Al-Qurtubi dalam Al-Jâmi li Ahkâmil Qur’ân (2010, V:232) menafsirkan “tak ada
perusakan terhadap kehormatan dan persaudaraan di antara aku dan kalian”.
Kedua, Nabi Yusuf tidak saja memaafkan para
saudaranya dan membebaskan mereka dari celaan dan kecaman di kehidupan dunia
ini, dengan kalimat “semoga Allah mengampuni kalian” Nabi Yusuf juga
menginginkan mereka diampuni oleh Allah atas dosa-dosanya sehingga kelak di
akhirat pun mereka terbebas dari siksaan.
Tidak sekadar itu, pada ayat berikutnya Nabi
Yusuf juga meminta para saudaranya untuk kembali lagi datang ke mesir dengan
membawa serta semua anggota keluarga besar mereka; istri dan anak-anak mereka.
Inilah pemberian maaf yang sesungguhnya yang
diajarkan Al-Qur’an melalui kisah Nabi Yusuf. Memaafkan tidak hanya sekadar
mengucapkan kata maaf belaka namun jauh di dalam hatinya masih menyimpan
dendam. Memberi maaf mesti dibarengi dengan sikap tidak akan mencemooh,
menista, mencela, mengecam dan bahkan sekadar mengingat dan membicarakan
kesalahan pelakunya.
Ini pula yang dicontohkan oleh Baginda
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam ketika beliau dengan kaum muslimin
menaklukan Kota Makkah. Ketika beliau memegang kedua tiang pintu ka’bah beliau
menyeru dan bertanya kepada kaum Quraisy, “Menurut kalian, apa yang akan aku
lakukan pada kalian, wahai kaum Quraisy?”
Mereka menjawab, “Engkau akan lakukan
kebaikan kepada kami. Engkau saudara yang mulia, anak dari saudara yang mulia.
Dan engkau telah mampu melakukan itu.”
Rasulullah menimpali, “Pada hari ini akan aku
katakan apa yang dikatakan oleh saudaraku Yusuf, lâ tatsrîba ‘alaikumul yauma,
di hari ini tak ada kecaman bagi kalian.”
Mendengar apa yang disampaikan oleh
Rasulullah itu sahabat Umar bin Khattab merasa sangat malu sekali hingga
mengucur keringatnya. Ini dikarenakan sebelumnya ia sangat ingin sekali
membalas apa-apa yang telah dilakukan oleh kaum kafir Quraisy kepada kaum
muslimin, namun ternyata Rasulullah menyatakan sikap yang begitu mulia;
memaafkan tanpa ada dendam. Wallâhu a’lam. []
Yazid Muttaqin, santri alumni Pondok
Pesantren Al-Muayyad Surakarta, kini aktif di kepengurusan NU Cabang Kota
Tegal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar