Senin, 25 November 2019

BamSoet: Pancasila, Orang Muda dan Akar Budaya


Pancasila, Orang Muda dan Akar Budaya
Oleh: Bambang Soesatyo

MENGAJAK dan men­do­rong orang mu­da kembali meng­ha­yati dan mem­prak­tikkan akar budaya daerah masing-masing bisa dijadikan model pendekatan untuk mem­bu­mikan Pancasila, karena nilai-nilai luhur Pancasila digali dari kearifan budaya Nusantara.

Keberagaman budaya semua daerah yang kemudian berbaur dalam rentang waktu yang pan­jang telah terpatri dan diterima sebagai akar budaya nasional. Adat istiadat dan tradisi di setiap daerah telah membangun dan membentuk perilaku serta pola pikir masyarakat yang selalu di­landasi kehendak baik dan tulus seturut nilai-nilai agama. Dari itu semua, lahirlah semangat mu­sya­warah untuk mufakat, go­tong royong, semangat keke­luar­ga­an, silaturahmi demi terjaga dan ter­pe­liharanya persaudara­an, saling pengertian dan tole­ran­si, sopan santun, budi pekerti sebagai ke­uta­maan serta se­ma­ngat bekerja sama.

Dengan be­gi­tu, budaya na­sional menge­li­mi­nasi ego ke­lom­pok dan golongan demi terwu­jud­nya persatuan dan kesatuan nasional. Berpijak pada nilai-nilai luhur inilah lima sila Pancasila dirumuskan, dite­tap­kan, dan di­sepakati. Maka, Pan­casila mem­bing­kai per­sa­tu­an dan kesatuan nasional Indo­ne­sia.

Persatuan dan kesatuan itu pun memiliki landasan yang sangat kuat. Fondasi kokoh itu dibangun oleh orang-orang mu­da dari seluruh wilayah Tanah Air pada Oktober 1928. Datang dari daerahnya masing-masing yang tentu saja dengan adat istiadat dan tradisi yang berbeda, mereka berkumpul di Jakarta. Setelah tiga kali bersidang, orang-orang muda Indonesia itu pada 28 Ok­to­ber 1928 mengikrar­kan sum­pah setia kepada Tanah Air Indo­nesia dalam apa yang sampai kini dikenang sebagai Sumpah Pe­mu­da; Bertumpah darah Satu, Tanah Air Indonesia, Berbangsa satu, bangsa Indonesia, Men­jun­jung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.

Dengan ikrar orang-orang muda Indonesia itu, 17.504 pu­lau menjadi Negara Kesatuan Re­publik Indonesia (NKRI); 1.340 suku menjadi bangsa Indonesia, dan 1.331 bahasa daerah mene­ri­ma bahasa Indonesia sebagai ba­hasa persatuan. Ikrar orang-orang muda kemudian dipahami sebagai tonggak utama dalam sejarah pergerakan bangsa seka­li­gus sebagai kristalisasi sema­ngat bagi berdirinya negara Indo­ne­sia.

Dan, untuk merawat kebi­ne­ka­an, Pancasila kemudian di­se­pakati sebagai pandangan hi­dup bangsa Indonesia, men­ja­di dasar negara serta sumber ke­kuat­an yang mempersatukan bang­sa. Alasannya sangat jelas, karena nilai luhur lima sila Pan­casila itu digali dari akar budaya atau sistem nilai semua suku yang sudah diterima sebagai nor­ma kehidupan bermasyarakat di semua daerah atau pulau. Maka, Indonesia yang Bhinneka Tung­gal Ika ini ada dan eksis karena Kehendak Tuhan.

Maka, menjadi kewajiban se­tiap generasi Indonesia untuk me­rawat kebhinnekaan ini da­lam bingkai Pancasila.

Ketika dalam beberapa tahun terakhir hingga saat ini muncul rongrongan terhadap eksistensi Pancasila dan adanya upaya me­rongrong persatuan dan kesa­tu­an nasional Indonesia, orang mu­­da Indonesia tidak boleh ting­­gal diam.

Maka, mendorong orang mu­da Indonesia untuk kembali meng­hayati dan mempraktik­kan akar budaya daerah masing-masing bisa dijadikan model pen­dekatan untuk membu­mi­kan Pancasila dan merawat NKRI. Alasannya, karena NKRI terbentuk oleh kehendak dan dorongan orang muda dan nilai-nilai luhur Pancasila digali dari kearifan budaya yang melekat turun-temurun di semua dae­rah. Dan, semua orang muda bangga dengan kekayaan dan kearifan lokal yang bersumber dari akar budaya daerahnya ma­sing-masing.

Festival Budaya

Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menyebut ada lima tantangan utama dalam upaya membumikan ideologi Pan­casila. Supaya lebih kom­prehensif pemahamannya, kerja membumikan Pancasila adalah bagian tak terpisah dari merawat eksistensi NKRI.

Kerja mem­bu­mi­kan Pancasila bukanlah isu yang menarik bagi orang muda se­hingga mendengarnya pun be­lum tentu mereka tertarik. Ha­rus terus dieksplorasi model-mo­del pendekatan yang me­mung­kinkan bangkitnya minat orang muda untuk tahu, paham, dan menghayati lima sila Pa­ncasila itu.

Semuanya sangat berga­n­tung pada efektivitas pola ko­mu­ni­kasi. Generasi orang tua masa kini mengakui bahwa untuk be­berapa aspek menjadi tidak ter­lalu mudah berkomunikasi de­ngan Generasi Milenial dan Ge­ne­rasi Z. Apalagi, kalau materi obro­lannya tentang Pancasila. Memang, masih sangat dimung­kin­kan untuk meminta 100 atau 200 orang muda berkumpul da­lam satu ruangan besar dan du­duk mendengarkan pidato atau ceramah tentang Pancasila. Per­ta­nyaannya, apakah pen­de­kat­an seperti ini efektif untuk orang muda masa kini? Banyak ka­lang­an sudah meragukan cara seperti ini. Dengan begitu, pencarian mo­del pendekatan harus lebih di­dahulukan.

Kalau generasi orang tua sulit mengomunikasikan nilai-nilai Pancasila, mengapa tidak me­nge­rahkan orang muda sendiri yang melakukannya? Mereka yang paling tahu bagaimana men­dekati dan berkomunikasi dengan rekan sebaya, dengan cara dan gaya yang mudah dipa­hami oleh komunitas mereka sen­diri. Tentu saja orang-orang mu­da dengan misi mem­bu­mikan Pancasila itu harus di­per­siapkan dengan matang.

Menjadi lebih ideal jika upaya itu dikaitkan dengan sistem nilai atau norma-norma yang ter­kan­dung dalam akar budaya setiap daerah. Me­nun­jukkan bahwa ke­arifan lokal yang turun-temu­run itu di­adop­si menjadi sila-sila Pan­ca­sila untuk merawat har­moni ke­hidupan komunitas itu.

Salah satu pintu masuk yang bisa di­pilih adalah menye­len­g­gara­kan festi­val budaya lokal di setiap daerah. Festival budaya lokal pa­da ting­kat­an daerah relevan un­tuk se­ma­kin diintensifkan. Se­lain un­tuk menanamkan ke­arif­an lokal pada generasi muda se­tem­pat, juga efektif untuk mem­bendung budaya asing yang des­truktif.

Suka tidak suka, harus dika­ta­kan bahwa ada upaya dari ke­lompok tertentu untuk menarik masyarakat keluar dari akar bu­daya daerahnya. Pada satu atau dua aspek, upaya itu sudah mem­buahkan hasilnya. Salah satu con­tohnya adalah perilaku into­le­ran yang merebak di sejumlah tempat.

Memulihkan harmoni kehi­dup­an berbangsa dan bernegara se­perti di masa lalu memang bu­kan pekerjaan mudah. Tetapi, upa­ya pemulihan itu harus di­mu­lai dan terjaganya konsis­ten­si­nya. Sebagian upaya itu layak di­percayakan kepada orang mu­da Indonesia di semua daerah, karena mereka lebih komuni­ka­tif dengan rekan segenerasi. []

KORAN SINDO, 11 November 2019
Bambang Soesatyo | Ketua MPR RI/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar