Pemerintahan Indonesia Maju
Oleh: Azyumardi Azra
Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin
telah terbentuk. Pemilihan nama Kabinet Indonesia Maju menunjukkan orientasi
pemerintahan Jokowi-Amin dalam lima tahun ke depan, yaitu membawa Indonesia ke
alam kemajuan.
Melihat format dan komposisi menteri di Kabinet Indonesia Maju
(KIM), orang patut bertanya, sejauh mana pemerintahan Indonesia maju akan
berhasil menjalankan misinya memajukan Indonesia?
Meminjam pernyataan Jokowi dalam pidato pelantikannya sebagai
presiden periode 2019-2024 pada 20 Oktober lalu, apakah pemerintahan Indonesia
maju dapat deliver,
memenuhi janji untuk mewujudkan Indonesia maju? Menteri-menteri di KIM tidak
dapat hanya sekadar sent—sekali
lagi meminjam pernyataan Jokowi—sekadar mengirim pesan mengandung harapan yang
bisa jadi ternyata kosong melompong.
Jelas tidak mudah memprediksi kinerja Pemerintah Indonesia lima
tahun ke depan karena banyak faktor internal dan eksternal yang memengaruhi.
Namun, setidaknya dalam 100 hari ke depan, ketika setiap menteri mulai
mengungkapkan agenda pokoknya, publik sedikit banyak bisa meraba ke arah mana
Pemerintah Indonesia melangkah beserta peluangnya.
Selain itu, komposisi kabinet dengan para menteri berikut
portofolionya masing-masing sedikit banyak memberi isyarat apakah setiap
menteri mampu memenuhi harapan? Guna membawa Indonesia ke kemajuan, para
menteri tidak hanya harus mampu men-deliver, tetapi
lebih jauh lagi, yaitu membuat berbagai terobosan signifikan ke arah kemajuan.
Sejak masa awal pembentukannya, KIM telah menjadi sasaran kritik
banyak kalangan. Dalam pandangan kritis, pertama-tama, KIM cenderung ”terlalu
gemuk” dengan 34 menteri dan 12 wakil menteri (wamen). Belum lagi pejabat
setingkat menteri yang bakal mengepalai badan baru, seperti Badan Legislasi
Nasional, Badan Manajemen Pengembangan Talenta, Badan Riset Nasional, dan
Lembaga Ekonomi Syariah.
Kabinet yang gemuk memunculkan pertanyaan tentang agenda reformasi
birokrasi untuk menciptakan pemerintahan efektif dan efisien. Pemerintahan yang
gemuk juga tak selaras dengan pernyataan Presiden Jokowi sebelumnya, yang akan
memangkas jabatan eselon tiga dan eselon empat.
Kedua, KIM cenderung terdiri atas para menteri yang mencerminkan
akomodasi berbagai kekuatan politik, baik partai politik yang ada di parlemen
(PDI-P, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan
Bangsa, dan Partai Persatuan Pembangunan) maupun parpol yang tidak ada di
parlemen, seperti Perindo dan Partai Solidaritas Indonesia.
Di satu sisi, fenomena ini boleh jadi mencerminkan pembagian
kekuasaan, yang bisa menciptakan kepaduan politik. Namun, dari sisi lain,
akomodasi politik yang menciptakan koalisi besar pemerintahan Indonesia maju di
mata banyak kalangan tidak lain daripada bagi-bagi kekuasaan dalam kerangka political deals atau
transaksi politik.
emerintahan yang dibentuk melalui transaksi politik, yang tetap
saja menyimpan berbagai agenda politik tersembunyi dari setiap pihak, agaknya
sulit diharapkan dapat mencapai hasil maksimal untuk kemajuan. Bukan tidak
mungkin terjadi pergumulan politik di antara mereka, baik secara terbuka maupun
terselubung.
Apalagi dalam kerangka politik transaksional ada ketidaksesuaian
keahlian dan pengalaman antara menteri dan wamen. Ada wamen yang ditempatkan di
posisi di mana dia tidak punya keahlian atau rekam jejak terkait tugas
kementeriannya. Sebagian wamen lain dipasang lebih sebagai representasi
politik. Dalam keadaan seperti itu, sulit diharapkan dapat terwujud kinerja
kementerian yang efektif dan efisien.
Pemerintahan koalisi besar mungkin ”menjanjikan” stabilitas
pemerintahan atau lebih jauh lagi stabilitas politik. Kalaupun ada pertikaian
di antara kekuatan politik dalam koalisi besar tersebut, tampaknya hal itu
boleh jadi tidak terlalu menonjol ke depan publik.
Pemerintahan dengan koalisi besar menyisakan hanya sedikit
kekuatan di luar pemerintahan (Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, dan
Partai Amanat Nasional) tampaknya sulit membangun ”oposisi” efektif. Kekuatan
politik minoritas tersebut paling banter hanya bisa mengungkapkan nada politik
berbeda, tetapi sulit menjadi ancaman serius bagi pemerintahan dengan segala
kebijakan dan langkahnya.
Namun, kegaduhan lama atau baru di luar pemerintahan masih dapat
terjadi. Kegaduhan sosial-politik yang muncul dari kalangan masyarakat karena
kebijakan pemerintahan dapat menciptakan situasi tak terlalu kondusif pada awal
masa kerja KIM; sedikit banyak bisa memengaruhi stabilitas politik.
Hal ini terlihat dari munculnya berbagai reaksi di masyarakat
karena pernyataan tentang menteri-menteri yang mendapat tugas khusus mengatasi
radikalisme. Presiden Jokowi menyebut Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan
Keamanan Mahfud MD dan Menteri Agama Fachrul Razi sebagai pemikul tugas khusus
dalam bidang ini. Menteri Pertahanan dan Menteri Dalam Negeri secara implisit
juga memikul tugas yang sama.
Di kalangan tokoh Muslim muncul reaksi terhadap tugas khusus
beberapa menteri untuk mengatasi radikalisme tersebut. Mereka menganggap
pernyataan atau penugasan itu berlebihan dan cenderung memojokkan umat Islam
tertentu.
Dalam berbagai segi, isu tentang radikalisme cenderung
kontraproduktif. Jelas, radikalisme di kalangan warga terus menggejala. Namun,
cara penanganannya tak bisa dengan pernyataan yang hanya coba menangani simtom
di hilir. Penanganan radikalisme harus dari hulu dengan melibatkan banyak
kementerian atau lembaga pemerintah. Warga juga harus terlibat.
Hal penting lain yang mengganjal pada masa awal pemerintahan baru
ini adalah tentang (revisi) Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Mahasiswa dan berbagai kelompok masyarakat sipil di sejumlah kota kembali
menggelar unjuk rasa, meminta Presiden mengeluarkan Perppu KPK.
residen Jokowi sepatutnya mencermati berbagai dinamika itu secara
saksama dan mengambil kebijakan yang tepat. Dengan demikian, publik bisa lebih
nyaman dan lebih optimistis dengan Presiden Jokowi, Kabinet Indonesia Maju, dan
masa depan Indonesia yang lebih maju. []
KOMPAS, 31 Oktober 2019
Azyumardi Azra | Profesor Sejarah UIN Syarif
Hidayatullah; Anggota KK AIPI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar