Jumat, 29 November 2019

Azyumardi: Pemerintahan Indonesia Maju


Pemerintahan Indonesia Maju
Oleh: Azyumardi Azra

Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin telah terbentuk. Pemilihan nama Kabinet Indonesia Maju menunjukkan orientasi pemerintahan Jokowi-Amin dalam lima tahun ke depan, yaitu membawa Indonesia ke alam kemajuan.

Melihat format dan komposisi menteri di Kabinet Indonesia Maju (KIM), orang patut bertanya, sejauh mana pemerintahan Indonesia maju akan berhasil menjalankan misinya memajukan Indonesia?

Meminjam pernyataan Jokowi dalam pidato pelantikannya sebagai presiden periode 2019-2024 pada 20 Oktober lalu, apakah pemerintahan Indonesia maju dapat deliver, memenuhi janji untuk mewujudkan Indonesia maju? Menteri-menteri di KIM tidak dapat hanya sekadar sent—sekali lagi meminjam pernyataan Jokowi—sekadar mengirim pesan mengandung harapan yang bisa jadi ternyata kosong melompong.

Jelas tidak mudah memprediksi kinerja Pemerintah Indonesia lima tahun ke depan karena banyak faktor internal dan eksternal yang memengaruhi. Namun, setidaknya dalam 100 hari ke depan, ketika setiap menteri mulai mengungkapkan agenda pokoknya, publik sedikit banyak bisa meraba ke arah mana Pemerintah Indonesia melangkah beserta peluangnya.

Selain itu, komposisi kabinet dengan para menteri berikut portofolionya masing-masing sedikit banyak memberi isyarat apakah setiap menteri mampu memenuhi harapan? Guna membawa Indonesia ke kemajuan, para menteri tidak hanya harus mampu men-deliver, tetapi lebih jauh lagi, yaitu membuat berbagai terobosan signifikan ke arah kemajuan.

Sejak masa awal pembentukannya, KIM telah menjadi sasaran kritik banyak kalangan. Dalam pandangan kritis, pertama-tama, KIM cenderung ”terlalu gemuk” dengan 34 menteri dan 12 wakil menteri (wamen). Belum lagi pejabat setingkat menteri yang bakal mengepalai badan baru, seperti Badan Legislasi Nasional, Badan Manajemen Pengembangan Talenta, Badan Riset Nasional, dan Lembaga Ekonomi Syariah.

Kabinet yang gemuk memunculkan pertanyaan tentang agenda reformasi birokrasi untuk menciptakan pemerintahan efektif dan efisien. Pemerintahan yang gemuk juga tak selaras dengan pernyataan Presiden Jokowi sebelumnya, yang akan memangkas jabatan eselon tiga dan eselon empat.

Kedua, KIM cenderung terdiri atas para menteri yang mencerminkan akomodasi berbagai kekuatan politik, baik partai politik yang ada di parlemen (PDI-P, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Persatuan Pembangunan) maupun parpol yang tidak ada di parlemen, seperti Perindo dan Partai Solidaritas Indonesia.

Di satu sisi, fenomena ini boleh jadi mencerminkan pembagian kekuasaan, yang bisa menciptakan kepaduan politik. Namun, dari sisi lain, akomodasi politik yang menciptakan koalisi besar pemerintahan Indonesia maju di mata banyak kalangan tidak lain daripada bagi-bagi kekuasaan dalam kerangka political deals atau transaksi politik.

emerintahan yang dibentuk melalui transaksi politik, yang tetap saja menyimpan berbagai agenda politik tersembunyi dari setiap pihak, agaknya sulit diharapkan dapat mencapai hasil maksimal untuk kemajuan. Bukan tidak mungkin terjadi pergumulan politik di antara mereka, baik secara terbuka maupun terselubung.

Apalagi dalam kerangka politik transaksional ada ketidaksesuaian keahlian dan pengalaman antara menteri dan wamen. Ada wamen yang ditempatkan di posisi di mana dia tidak punya keahlian atau rekam jejak terkait tugas kementeriannya. Sebagian wamen lain dipasang lebih sebagai representasi politik. Dalam keadaan seperti itu, sulit diharapkan dapat terwujud kinerja kementerian yang efektif dan efisien.

Pemerintahan koalisi besar mungkin ”menjanjikan” stabilitas pemerintahan atau lebih jauh lagi stabilitas politik. Kalaupun ada pertikaian di antara kekuatan politik dalam koalisi besar tersebut, tampaknya hal itu boleh jadi tidak terlalu menonjol ke depan publik.

Pemerintahan dengan koalisi besar menyisakan hanya sedikit kekuatan di luar pemerintahan (Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Amanat Nasional) tampaknya sulit membangun ”oposisi” efektif. Kekuatan politik minoritas tersebut paling banter hanya bisa mengungkapkan nada politik berbeda, tetapi sulit menjadi ancaman serius bagi pemerintahan dengan segala kebijakan dan langkahnya.

Namun, kegaduhan lama atau baru di luar pemerintahan masih dapat terjadi. Kegaduhan sosial-politik yang muncul dari kalangan masyarakat karena kebijakan pemerintahan dapat menciptakan situasi tak terlalu kondusif pada awal masa kerja KIM; sedikit banyak bisa memengaruhi stabilitas politik.

Hal ini terlihat dari munculnya berbagai reaksi di masyarakat karena pernyataan tentang menteri-menteri yang mendapat tugas khusus mengatasi radikalisme. Presiden Jokowi menyebut Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dan Menteri Agama Fachrul Razi sebagai pemikul tugas khusus dalam bidang ini. Menteri Pertahanan dan Menteri Dalam Negeri secara implisit juga memikul tugas yang sama.

Di kalangan tokoh Muslim muncul reaksi terhadap tugas khusus beberapa menteri untuk mengatasi radikalisme tersebut. Mereka menganggap pernyataan atau penugasan itu berlebihan dan cenderung memojokkan umat Islam tertentu.

Dalam berbagai segi, isu tentang radikalisme cenderung kontraproduktif. Jelas, radikalisme di kalangan warga terus menggejala. Namun, cara penanganannya tak bisa dengan pernyataan yang hanya coba menangani simtom di hilir. Penanganan radikalisme harus dari hulu dengan melibatkan banyak kementerian atau lembaga pemerintah. Warga juga harus terlibat.

Hal penting lain yang mengganjal pada masa awal pemerintahan baru ini adalah tentang (revisi) Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Mahasiswa dan berbagai kelompok masyarakat sipil di sejumlah kota kembali menggelar unjuk rasa, meminta Presiden mengeluarkan Perppu KPK.

residen Jokowi sepatutnya mencermati berbagai dinamika itu secara saksama dan mengambil kebijakan yang tepat. Dengan demikian, publik bisa lebih nyaman dan lebih optimistis dengan Presiden Jokowi, Kabinet Indonesia Maju, dan masa depan Indonesia yang lebih maju. []

KOMPAS, 31 Oktober 2019
Azyumardi Azra | Profesor Sejarah UIN Syarif Hidayatullah; Anggota KK AIPI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar