Kisah Ulama Salaf Berhati-hati Menjawab
Pertanyaan Agama
Dalam pendahuluan (muqaddimah) kitab Shahîh Muslim, Imam Abu al-Husein Muslim bin Hajaj al-Naisaburi memasukkan perbincangan dua ulama besar dari generasi salaf. Berikut kisahnya:
وحَدَّثَنِي
أَبُو بَكْرِ بْنُ النَّضْرِ بْنِ أَبِي النَّضْرِ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَبُو النَّضْرِ هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ،
حَدَّثَنَا أَبُو عَقِيلٍ، صَاحِبُ بُهَيَّةَ، قَالَ: كُنْتُ جَالِسًا عِنْدَ
الْقَاسِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ، وَيَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، فَقَالَ يَحْيَى
لِلْقَاسِمِ: يَا أَبَا مُحَمَّدٍ إِنَّهُ قَبِيحٌ عَلَى مِثْلِكَ، عَظِيمٌ أَنْ
تُسْأَلَ عَنْ شَيْءٍ مِنْ أَمْرِ هَذَا الدِّينِ، فَلَا يُوجَدَ عِنْدَكَ مِنْهُ
عِلْمٌ، وَلَا فَرَجٌ أَوْ عِلْمٌ، وَلَا مَخْرَجٌ, فَقَالَ لَهُ الْقَاسِمُ: وَعَمَّ ذَاكَ؟، قَالَ: لِأَنَّكَ
ابْنُ إِمَامَيْ هُدًى ابْنُ أَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ، قَالَ: يَقُولُ لَهُ
الْقَاسِمُ: أَقْبَحُ مِنْ ذَاكَ عِنْدَ مَنْ عَقَلَ عَنِ اللهِ أَنْ أَقُولَ
بِغَيْرِ عِلْمٍ، أَوْ آخُذَ عَنْ غَيْر ثِقَةٍ، قَالَ: فَسَكَتَ فَمَا أَجَابَهُ
Menceritakan kepadaku Abu Bakr bin al-Nadlr
bin Abi al-Nadlr, ia berkata: menceritakan kepadaku Abu al-Nadlr Hasyim bin
al-Qasim. Abu ‘Aqil, pemilik Buhayyah, menceritakan, ia berkata:
Aku duduk di samping al-Qasim bin ‘Ubaidillah
dan Yahya bin Sa’id, kemudian Yahya berkata kepada al-Qasim: “Wahai Abu
Muhammad, adalah suatu yang buruk bagi orang sepertimu, ketika ditanya soal
perkara agama, kau tidak memiliki pengetahuan tentangnya, tidak ada kelapangan
atau ilmu, dan tidak ada solusi.”
Al-Qasim berkata kepada Yahya: “Mengapa
begitu?”
Yahya menjawab: “Karena sesungguhnya kau
adalah keturunan dua imam yang diberi petunjuk, yaitu keturunan Abu Bakr dan
Umar.”
Al-Qasim berkata: “(Ada) yang lebih buruk
dari itu bagi orang yang memenuhi kewajibannya kepada Allah, yaitu ketika aku
berkata (menjawab) tanpa ilmu, atau aku mengambil (dalil/ilmu) dari (orang)
yang tidak terpercaya.”
Abu ‘Aqil berkata: “Kemudian Yahya bin Sa’id
diam dan tidak memberikan komentarnya lagi.” (Imam Abu al-Husein Muslim bin
Hajaj al-Naisaburi, Shahîh Muslim, Riyadl: Dar al-Salam li al-Nasyr wa
al-Tauji’, 2000, h. 11-12)
****
Sebelum mengulas ke sana-kemari, kita harus
tahu terlebih dahulu, siapa Imam al-Qasim bin ‘Ubaidillah. Ia adalah keturunan
Sayyidina Umar bin al-Khattab dari pihak ayah, dan keturunan Sayyidina Abu
Bakar al-Shiddiq dari pihak ibu. Nasabnya adalah al-Qasim bin ‘Ubaidillah bin
Abdullah bin Umar bin al-Khattab. Dari jalur ibunya, nasabnya adalah Ummu
al-Qasim binti al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar al-Shiddiq. (Imam Yahya bin
Syarraf al-Nawawi, Shahîh Muslim bi Syarh al-Nawâwî, Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 2017, juz 1, h. 84)
Imam Yahya bin Sa’id adalah seorang ulama
hadits besar. Murid Imam Sufyan al-Tsauri, Malik bin Anas, Sufyan bin ‘Uyainah
dan lain sebagainya. Ia memiliki banyak murid seperti Imam Ahmad bin Hanbal,
Yahya bin Ma’in, Ali bin al-Madini dan lain sebagainya. Imam al-Dzahabi
menyebutnya sebagai, “al-imâmul kabîr, amîrul mu’minîn fîl hadîts—imam besar
dan amirul mu’minin dalam ilmu hadits.” (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lam
al-Nubalâ’, Beirut: Muassasah al-Risalah, 2001, juz 9, h. 176)
Suatu ketika kedua ulama besar ini terlibat
perbincangan mengenai buruknya seseorang yang tidak mampu menjawab
pertanyaan-pertanyaan agama. Hanya saja, Imam al-Qasim bin ‘Ubaidillah menjadi
pihak yang dipojokkan di sini. Karena dalam riwayat lain (jalur Ibnu ‘Uyainah)
dikatakan, bahwa, “sa’alûhu ‘an sya’in lam yakun indahu fîhi ‘ilmun—ia ditanya
sesuatu yang tidak memiliki pengetahuan tentang itu.” Karena tidak tahu, Imam
al-Qasim tidak menjawabnya, dan Imam Yahya berkata seperti dalam riwayat di
atas.
Kemudian Imam al-Qasim mengatakan (terjemah
bebas), “yang lebih buruk dari itu adalah, ketika aku menjawab tanpa
pengetahuan, atau aku mengambil penjelasan/riwayat dari orang yang tidak
terpercaya.” Setelah mendengar jawaban al-Qasim, Imam Yahya bin Sa’id diam
tidak berkomentar apa-apa lagi.
Dalam hal ini, Imam al-Qasim sedang berlaku
hati-hati dalam persoalan agama. Ia tidak mau menyesatkan umat dengan jawaban
yang ia sendiri tidak yakin kebenarannya. Baginya, diam lebih baik daripada
menjaga citra kealimannya dengan menjawab “asal-asalan”. Karena itu, ia memberi
penekanan dalam dua hal; pertama, menghindari jawaban tanpa ilmu, dan kedua,
berhati-hati dalam mengambil dalil, riwayat atau ilmu dari orang yang masih
belum jelas ke-tsiqah-annya (keterpercayaannya). Kali ini kita akan fokuskan
pembahasan pada poin kedua saja. Karena poin pertama sudah diuraikan di tulisan
sebelumnya, “Ketika Imam Malik bin Anas Menjawab ‘Tidak Tahu’.”
Berbicara “tsiqah” berarti berbicara sanad.
Dalam tradisi ilmiah Islam, kita mengenal istilah “sanad” atau “isnad”. Kedua
istilah ini biasa digunakan dalam ilmu hadits, pun juga dalam tradisi
pengajaran dan pendidikan tradisional Islam. Sanad sendiri secara umum berarti
nama-nama perawi yang membawa informasi dari nabi (hadits), atau peristiwa
sejarah masa lalu. Sanad dijadikan standar acu dalam menilai kualitas berita
(hadits atau peristiwa sejarah masa lalu).
Oleh sebab itu, ketika kita membaca kitab
hadits seperti Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim, atau membaca kitab sejarah
seperti Tarîkh al-Thabarî dan Futûh al-Buldan, kita akan temui sistem
pemberitaan yang sama. Dimulai dengan haddatsana/haddatsani (menceritakan
kepadaku), akhbaranâ (mengabarkan kepadaku), atau yang paling sederhana “’an
fulân” (dari fulan). Semua itu untuk menunjukkan mata rantai yang tersambung,
sehingga kita bisa meneliti kualitas ke-tsiqah-an nama-nama dalam mata rantai
tersebut.
Karena itu, Imam al-Qasim sering tidak
menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, meski ia mengetahui dalil atau
riwayat tentang itu. Ia hanya akan menjawab jika sudah memastikan semuanya,
dari mulai kualitas pewarta riwayat/berita/ilmu, sampai tidak ada illat yang
buruk dalam isinya (al-‘illah al-qadihah). Hal ini ia lakukan karena ada sebuah
riwayat yang dikatakan oleh Imam Ibnu Sirin:
إِنَّ
هَذَا العِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوْا عَمَّنْ تَأْخُذُوْنَ دِيْنَكُمْ
“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka
perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.” (Imam Abu al-Husein
Muslim bin Hajaj al-Naisaburi, Shahîh Muslim, 2000, h. 10)
Imam Abdullah bin Mubarak mengatakan:
الْإِسْنَادُ
مِنَ الدِّينِ، وَلَوْلَا الْإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
“Isnad (atau sanad) merupakan bagian dari
agama. Jika tidak ada isnad (sanad), pasti siapa pun dapat mengatakan apa yang
dikehendaki(nya).” (Imam Abu al-Husein Muslim bin Hajaj al-Naisaburi, Shahîh
Muslim, 2000, h. 11)
Saking pentingnya, Imam Muslim dalam
pendahuluan kitab Shahîh Muslim membuat bab tersendiri tentang sanad, “bâbu
bayân annal isnâd minad dîn—bab menjelaskan bahwa isnad adalah bagian dari
agama.” Sebab itu, dalam kultur pesantren atau pendidikan Islam tradisional,
sanad keilmuan sangat penting. Karena dengan sanad inilah pemahaman agama yang
benar tersampaikan dari generasi ke generasi, dari mulai generasi muridnya
Rasulallah (sahabat) sampai generasi sekarang. Bahkan, dalam tradisi pendidikan
Islam klasik, kitab yang ditulis ulama juga ditransmisikan melalui jalur sanad,
baik di Indonesia maupun di luar negeri. Misalnya kitab al-Hikam karya Imam
Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari. Kiai atau syekh yang mengajarkan kitab tersebut
biasanya menyambung sanad belajarnya hingga penulis kitab. Kiai ini belajar
al-Hikam dari gurunya, gurunya belajar dari gurunya lagi, terus ke atas hingga
Imam Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari. Ini penting untuk menjaga keaslian ilmu dan
otoritas keilmuan.
Karena itu, ulama atau orang yang terlahir
dari tradisi ini, tidak akan berani mengambil ayat tanpa menelaahnya secara
mendalam, apalagi hanya mengambil terjemahan ayat. Sebab, mereka diajarkan
bahwa terjemahan ayat bukan ayat itu sendiri, kedudukannya tidak setara. Jika
pemaknaan lafad per-lafad kitab klasik saja harus melalui kualifikasi ketat,
salah satunya dengan cara menyetorkan bacaan dan maknanya kepada yang ahli
(pemegang sanad kitab), apalagi Al-Qur’an yang memiliki kompleksitas makna yang
lebih kaya dan beragam.
Artinya, terjemah Al-Qur’an tidak bisa
dilepaskan dari kecenderungan penafsiran tertentu. Contohnya Tafsîr al-Thabarî,
untuk menafsirkan kata “alhamdulillah” di Surah Al-Fatihah, Imam Abu Ja’far
al-Thabari menghabiskan kurang lebih dua halaman dengan berbagai macam perbedaan
penafsiran, baik riwayat maupun bahasa. Ia memasukkan banyak riwayat sahabat
dan tabi’in, kemudian membahas makna kata tersebut dari segi bahasa. Artinya,
beragamnya riwayat penafsiran dan kayanya makna lafad Al-Qur’an membuatnya
hampir tidak mungkin diterjemahkan dengan cara alih bahasa.
Orang yang tumbuh dalam tradisi ini juga
tidak akan mudah percaya kisah atau pemaparan agama tanpa mencantumkan sumber
yang jelas. Jikapun sumbernya dicantumkan, mereka tidak akan langsung percaya
tanpa mengeceknya terlebih dahulu. Itu pun belum selesai. Setelah mengecek dan
benar-benar menemukannya, mereka akan melakukan penelitian untuk mengetahui
konteksnya, makna aslinya, cara penerapannya, sebab terjadinya dan lain
sebagainya. Inilah kenapa tradisi sanad sangat penting dalam agama.
Di samping itu, selain sebagai acuan dalam
ilmu agama, standar ke-tsiqah-an juga harus dipakai dalam menyaring informasi
atau berita, apalagi di zaman media sosial yang tanpa batas ini. Kita harus
lebih berhati-hati dalam menerima berita. Karena menyebarkan berita tanpa
melakukan kroscek kebenarannya sudah termasuk perbuatan bohong. Imam al-Syafi’i
menyebutnya sebagai kebohongan yang samar (al-kadzibul khafi), yaitu “dzalikal
hadîts ‘an man lâ yu’rafu sidquhu—menyebarkan hadits dari orang yang tidak
diketahui kejujurannya.” (Imam al-Syafi’i, al-Risâlah, h. 401). Karena itu,
kita harus mulai menggunakan cara pandang teori ilmu hadits dalam memahami
sebuah informasi agar kita selamat. Kita harus meneliti berasal dari mana
berita itu, siapa yang pertama kali menyebarkannya, isinya masuk akal atau
tidak, pengaruhnya negatif atau positif, dan seterusnya, apalagi Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam sudah memberikan peringatan. Beliau bersabda (HR.
Imam Muslim):
كَفَي
بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukuplah seseorang (disebut) berbohong,
(jika) ia menyampaikan setiap apa yang ia dengar.”
Maka, kita perlu berhati-hati dalam
menanggapi sebuah berita. Jangan dulu dibagikan jika kita tidak benar-benar
tahu kebenarannya. Karena membagikan berita yang belum jelas kebenarannya akan
mengarah pada dua hal; pertama, jika berita itu benar, tentu tidak ada masalah,
tapi penyebarnya tetap terkena hadits “bohong” di atas, karena ia tidak
melakukan kroscek terlebih dahulu. Hadits di atas adalah cara Rasulullah
mengajari manusia agar berhati-hati dalam menyebarkan berita. Kedua, jika
berita itu tidak benar, itu akan menjadi fitnah. Lebih susah lagi jika kita
tidak memiliki kesempatan meminta maaf kepada korban fitnah tersebut. Bisa jadi
kita termasuk golongan orang yang merugi (muflis) di akhirat kelak, karena amal
ibadah kita dipindahkan Allah kepada orang yang kita sakiti perasaannya dan
kita fitnah. Semoga saja kita terhindar dari hal itu, amin. Wallahu a’lam bish
shawwab. []
Muhammad Afiq Zahara, alumni PP.
Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar