Bangkai Serangga di Pakaian atau Sajadah,
Apakah Shalat Batal?
Pertanyaan:
Assalamu'alaikum wr. wb. Yang mulia para guru
redaksi NU, saya ingin bertanya mengenai bangkai/sayap laron ataupun serangga
yang sejenis dengan itu, apakah itu termasuk najis yang mutlak dimaafkan di
segala tempat; dan jika bangkai/sayap laron tersebut menempel di
pakaian/sajadah saat kita shalat, apakah shalat kita tetap sah? Mohon
penjelasannya, terima kasih.
Jawaban:
Wa’alaikumussalam wa rahmatullahi wa
barakatuh. Terima kasih atas pertanyaannya, semoga Saudara senantiasa
diberi keistiqamahan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.
Sebelumnya patut dipahami terlebih dahulu
bahwa najis secara umum terbagi menjadi empat kategori. Pembagian najis ini,
secara lugas dijelaskan dalam kitab Hasyiyah asy-Syarqawi berikut
ini:
واعلم
أن النجاسة أربعة أقسام: قسم لا يعفى عنه مطلقاً وهو معروف، وقسم عكسه وهو ما لا
يدركه الطرف، وقسم يعفى عنه في الثوب دون الماء وهو قليل الدم لسهولة صون الماء
عنه، ومنه أثر الاستنجاء فيعفى عنه في البدن، والثوب المحاذي لمحله خلافاً لابن
حجر، وقسم عفي عنه في الماء دون الثوب وهو الميتة التي لا دم لها سائل حتى لو
حملها في الصلاة بطلت
“Ketahuilah bahwa najis terbagi menjadi empat
macam. Pertama, najis yang tidak ditoleansi (ma’fu) secara mutlak. Najis
ini sudah dapat diketahui secara umum. Kedua, najis yang ditoleransi
secara mutlak. Najis ini adalah najis yang tidak dapat dijangkau pandangan
mata. Ketiga, najis yang ditoleransi ketika terdapat di badan, tapi tidak
ketika terdapat di air. Najis ini misalnya seperti darah yang sedikit, sebab
mudahnya menjaga air dari najis tersebut. Dan juga bekas istinja’, maka najis
tersebut ditoleransi ketika terdapat di badan dan pakaian yang sejajar dengan
tempat keluarnya najis. Namun, Ibnu Hajar berpandangan, najis tersebut tidak
ditoleransi. Keempat, najis yang ditoleransi di air, tapi tidak di pakaian.
Najis ini berupa bangkai yang tidak terdapat darah yang mengalir (ketika
dipotong bagian tubuhnya), sehingga ketika seseorang membawa bangkai ini saat
shalat, maka shalatnya menjadi batal” (Abdullah bin Hijazi bin Ibrahim
al-Azhari, Hasyiyah asy-Syarqawi, juz 1, hal. 277)
Berpijak pada referensi di atas, dapat
dipahami bahwa bangkai laron serta bangkai hewan serangga yang lain termasuk
dalam cakupan najis yang keempat, yakni najis yang ditolerir di air, tapi tidak
di tolerir ketika berada di tubuh dan pakaian yang digunakan seseorang.
Sehingga ketika seseorang sebelum shalat mengetahui adanya bangkai serangga
yang hinggap di pakaian atau tubuhnya, maka wajib baginya untuk menghilangkan
bangkai tersebut serta menyucikan pakaian dan tubuhnya yang terkena serangga
dengan air, agar dapat kembali dihukumi suci. Jika hal tersebut tidak
dilakukan, maka shalat yang dilakukan menjadi tidak sah.
Berbeda halnya ketika seseorang tidak
mengetahui atau lupa terhadap wujudnya bangkai serangga yang mengenai pakaiannya,
lalu pakaian tersebut ia gunakan untuk shalat, setelah shalat selesai, ia baru
mengetahui akan keberadaan bangkai serangga yang hinggap di pakaiannya. Dalam
konteks ini, tentang apakah shalat wajib diulang atau tidak, para ulama
berbeda pendapat. Perbedaan pendapat ini seperti yang dijelaskan oleh Imam
an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab berikut ini:
(فرع) في مذاهب
العلماء فيمن صلى بنجاسة نسيها أو جهلها . ذكرنا أن الأصح في مذهبنا وجوب الإعادة
وبه قال أبو قلابة وأحمد وقال جمهور العلماء : لا إعادة عليه , حكاه ابن المنذر عن
ابن عمر وابن المسيب وطاوس وعطاء وسالم بن عبد الله ومجاهد والشعبي والنخعي
والزهري ويحيى الأنصاري والأوزاعي وإسحاق وأبي ثور قال ابن المنذر وبه أقول , وهو
مذهب ربيعة ومالك وهو قوي في الدليل وهو المختار .
“Cabang pembahasan yang
menjelaskan beberapa pendapat ulama tentang orang yang shalat dengan
membawa najis yang ia lupakan atau tidak diketahuinya. Kami menyebutkan bahwa
sesungguhnya qaul ashah (pendapat yang cenderung lebih benar) dalam
mazhab kita (mazhab Syafi’i) wajib mengulangi shalatnya. Pendapat demikian
diikuti oleh Abu Qalabah dan Imam Ahmad. Mayoritas ulama berpendapat tidak
wajib mengulangi shalatnya, pendapat demikian diungkapkan oleh Imam Ibnu
Mundzir dari riwayat Sahabat Ibnu ‘Umar, Ibnu al-Musayyab Thawus, Atha’,
Salim bin ‘Abdullah, Mujahid, Sya’bi, Nukho’i, Zuhri,Yahya al-Anshari, Auza’I,
Ishaq, dan Imam Abi Tsur,.
Imam Ibnu Mundzir begitu juga aku (Imam
Nawawi) berkata: ”Pendapat tidak wajibnya mengulangi shalat adalah
pendapat Imam Malik. Pendapat ini kuat dari segi dalilnya dan merupakan
pendapat yang terpilih” (Syarafuddin Yahya an-Nawawi, Al-Majmu’ ala Syarh
al-Muhadzab, juz 4, hal. 163)
Kedua pendapat yang ditampilkan dalam
referensi di atas sama-sama kuat secara dalil, sehingga dapat dijadikan pijakan
serta diamalkan.
Sedangkan ketika bangkai serangga terdapat di
bawah sajadah yang digunakan untuk shalat, maka bangkai tersebut tidak
mempengaruhi terhadap keabsahan shalat, sebab dalam keadaan demikian seseorang
tidak dianggap membawa ataupun bersentuhan dengan najis. Lebih lengkapnya,
silahkan simak dalam artikel “Ada najis di Bawah Sajadah, Apakah Shalat Tetap
Sah?”
Jika ternyata ketentuan hukum di atas,
menurut sebagian orang dirasa cukup berat, maka sebagai solusi terakhir, kita
dapat berpijak pada pandangan Imam Qaffal yang berpandangan bahwa bangkai
serangga dan hewan-hewan lain yang tidak mengalirkan darah dihukumi suci.
Berikut penjelasannya:
وقال
القفال إن ميتة ما لا يسيل دمه طاهرة كالقمل والبراغيث والذباب اهـ فيجوز للإنسان
أن يقلده في حق نفسه اهـ
“Imam Qaffal berkata: 'Sesungguhnya bangkai
hewan yang tidak mengalirkan darah itu suci, seperti kutu, nyamuk, lalat. Maka
boleh bagi seseorang mengikuti pendapat tersebut untuk pengamalan dirinya
sendiri” (Ahmad al-Maihi as-Syaibini, Hasyiyah al-Maihi as-Syaibini ala
Syarh as-Sittin Mas’alah li a-Ramli, hal. 106)
Dengan demikian, jawaban atas pertanyaan
di atas adalah bahwa bangkai laron dan serangga yang lain tidak dihukumi
najis yang ma’fu (ditoleransi) secara mutlak, tapi
hanya ma’fu ketika mengenai air saja. Sehingga, ketika bangkai
tersebut mengenai pakaian ataupun tubuh seseorang, ia harus menyucikannya
terlebih dahulu agar shalat yang dilakukan dapat dihukumi sah. Sedangkan ketika
bangkai serangga diketahui keberadaannya setelah selesai melakukan shalat, maka
dalam menyikapi wajib tidaknya mengulang shalat terdapat dua perbedaan pendapat
di antara para ulama.
Perincian hukum di atas, selain berlaku pada
bangkai serangga, juga berlaku pada potongan tubuh serangga yang mengenai
pakaian atau tubuh seseorang, misalnya seperti sayap, kepala dan bagian tubuh
serangga yang lain. Hal ini berdasarkan hadits:
مَا
قُطِعَ مِنْ حَيٍّ فَهُوَ مَيِّتٌ
“Sesuatu yang terpisah dari hewan yang hidup,
maka statusnya seperti halnya dalam keadaan (menjadi) bangkai” (HR. Hakim).
Maka sebaiknya bagi kita lebih hati-hati
sebelum hendak melaksanakan shalat, alangkah lebih baik jika sebelum shalat
kita memperhatikan pakaian dan tubuh kita, apakah sudah bersih dari najis atau
masih terselip najis yang menempel pada pakaian dan tubuh kita tanpa kita
sadari. Sehingga shalat yang kita lakukan dapat benar-benar suci dari najis
serta dapat dilaksanakan secara sempurna. Wallahu a’lam. []
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, pengajar di Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar