Khutbah Jumat, Sebaiknya
Panjang atau Pendek?
Tidak diragukan lagi bahwa khutbah Jumat
sangat krusial dalam pelaksanaan Jumat. Tidak hanya berkaitan dengan
keabsahannya, namun substansi dan teknis penyampaiannya juga sangat penting
untuk didengar jamaah. Karena itu, isi dan cara penyampaian khutbah hendaknya
mengena agar bisa diambil manfaatnya oleh Jamaah.
Berkaitan dengan teknis penyampaian khutbah,
salah satu yang sering diperbincangkan adalah mengenai durasi khutbah. Beberapa
khatib menyampaikan khutbahnya dengan sangat panjang sehingga para Jamaah bosan
dan mengantuk. Sebaliknya, khutbah yang terlampau pendek, dinilai tidak dapat
dipahami substansinya dengan baik. Pertanyaannya kemudian, bagaimana durasi
khutbah yang dianjurkan syari’at, panjang atau pendek?
Keseimbangan dalam setiap hal adalah hal yang
perlu. Sebagaimana ditegaskan oleh Nabi dalam beberapa haditsnya, bahwa sebaik-baiknya
perkara adalah yang sedang (tengah-tengah), tidak terkecuali dalam persoalan
durasi khutbah. Nabi mengajarkan durasi khutbah sebaiknya sedang, tidak terlalu
panjang dan tidak terlampau pendek. Dalam sebuah riwayat ditegaskan:
كانت
صلاة النبي صلى الله عليه وسلم قصدا وخطبته قصدا
“Shalatnya Nabi sedang dan khutbahnya
sedang.” (HR. Muslim dan Abu Daud)
Dalam menjelaskan hadits tersebut, Syekh Abu
Tahyyib Syamsul Haq al-Azhim mengatakan:
ـ
(وخطبته قصدا ) القصد
في الشيء هو الاقتصاد فيه وترك التطويل وإنما كانت صلاته صلى الله عليه واله وسلم
وخطبته كذلك لئلا يمل الناس والحديث فيه مشروعية إقصار الخطبة ولا
خلاف في ذلك
“Sedang dalam perkara adalah seimbang di
dalamnya dan tidak memanjangkan. Shalat dan khutbah Nabi dilakukan dalam durasi
sedang agar manusia tidak bosan. Hadits ini menganjurkan meringkas khutbah, dan
tidak ada perbedaan pendapat dalam hal tersebut.” (Syekh Abu Tahyyib Syamsul
Haq al-Azhim, ‘Aun al-Ma’bud, juz 3, hal. 316)
Mengapa tidak dianjurkan memanjangkan
khutbah? Padahal jamaah akan banyak mendengarkan siraman rohani? Sebab
memanjangkan khutbah justru memberatkan kepada jamaah, terlebih jika mereka
sedang tidak bersemangat atau masih harus menyelesaikan pekerjaan setelah Jumatan.
Syekh Badruddin al-‘Aini menjelaskan:
وفيه
من السُّنَّة تخفيف الخطبة وتخفيف الصلاة؛ لأن تطويلهما يثقل على الناس، ولا سيما
إذا كان القوم كُسالَى
“Di dalam hadits ini menyimpulkan sunahnya
meringankan khutbah dan shalat, sebab memanjangkan keduanya dapat memberatkan
manusia, terlebih ketika mereka malas.” (Syekh Badruddin al-‘Aini, Syarh Abi
Daud, juz 4, hal. 443).
Anjuran membaca khutbah dalam durasi yang
sedang tidak bertentangan dengan hadits Nabi lain yang menganjurkan membaca
khutbah dengan pendek. Sebab, yang dimaksud pendek dalam hadits tersebut,
pendek jika dibandingkan dengan shalat Jumatnya. Sehingga panjang pendek
merupakan hal yang relatif (nisbi).
Syekh Zakariyya al-Anshari mengatakan:
ولا
يعارضه خبره أيضا طول صلاة الرجل وقصر خطبته مئنة من فقهه أي علامة عليه فأطيلوا
الصلاة واقصروا الخطبة ؛ لأن القصر والطول من الأمور النسبية فالمراد بإقصار
الخطبة إقصارها عن الصلاة وبإطالة الصلاة إطالتها على الخطبة
“Dan tidak bertentangan dengan anjuran
membaca sedang khutbah, haditsnya Imam Muslim yang lain, yaitu “panjangnya
shalat laki-laki dan pendeknya khutbahnya merupakan tanda kepandaiannya, maka
panjangkanlah shalat, pendekanlah khutbah.” Sebab pendek panjang termasuk
perkara-perkara yang relatif. Maka yang dimaksud dengan memendekan khutbah adalah
memendekan dari shalat dan yang dimaksud memanjangkan shalat adalah
memanjangkan dari khutbah.” (Syekh Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz
1, hal. 260).
Lantas, apa standar durasi khutbah dikatakan
sedang? Berapa menit? Dalam hal ini tidak ada batasan pasti berapa menitnya.
Namun disesuaikan dengan kondisi, waktu dan momennya. Bisa jadi dalam suatu
momen atau keadaan tertentu perlu menyampaikan banyak materi seperti masyarakat
butuh disampaikan detail materi tentang puasa. Bisa jadi dalam satu kesempatan
dicukupkan dengan materi yang singkat. Pada prinsipnya, khutbah disampaikan
sesuai kebutuhan, tidak terlalu berlebihan yang dapat mengakibatkan kejenuhan,
tidak pula terlalu singat sehingga tidak dapat dipahami substansinya.
Syekh Ahmad bin Hamzah al-Ramli mengutip
penjelasan Syekh al-Adzra’i dalam kitabnya Hasyiyah ‘Ala Asna al-Mathalib
sebagai berikut:
ـ
(قوله متوسطة إلخ) قال
الأذرعي وحسن أن يختلف ذلك باختلاف الأحوال وأزمان الأسباب وقد يقتضي الحال
الإسهاب كالحث على الجهاد إذا طرق العدو والعياذ بالله تعالى البلاد وغير ذلك من
النهي عن الخمور والفواحش والزنا والظلم إذا تتابع الناس فيها وحسن قول الماوردي
ويقصد إيراد المعنى الصحيح واختيار اللفظ الفصيح ولا يطيل إطالة تمل ولا يقصر
تقصيرا يخل
“Al-Imam al-Adzra’i berkata, standar
sedangnya khutbah berbeda-beda sesuai dengan berbedanya kondisi dan waktunya.
Terkadanga suatu kondisi menuntut menyampaikan khutbah dengan panjang lebar
seperti himbauan berjihad saat musuh menyerang, semoga Allah melindungi kita.
Dan hal-hal lain seperti larangan mengkonsumsi khamr, perbuatan nista, zina dan
kezaliman di saat banyak orang melakukannya. Bagus sekali ucapannya Syekh
al-Mawardi, dan hendaknya khatib menghendaki makan yang benar dan memilih
lafazh yang fasih, dan hendaknya tidak memanjangkan khutbah yang membosankan,
dan tidak memendekan yang merusak substansi khutbah.” (Syekh Ahmad bin Hamzah
al-Ramli, Hasyiyah al-Ramli ‘Ala Asna al-Mathalib, juz 1, hal. 260).
Demikian penjelasan mengenai anjuran durasi
khutbah menuutu syari’at. Sebaiknya para khatib memperhatikan hal demikian,
agar khutbah yang disampaikan efektif dan tepat sasaran. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar