Allah Menyukai Nomor
Ganjil? Mari Pahami Haditsnya
Perkembangan perkara nomor urut konon bisa
begitu pelik dalam obrolan politik saat ini. Dalam konteks tertentu,
angka-angka bisa begitu bermakna, dan obrolannya bisa menyerempet perkara
klenik sampai agama.
Masyarakat kebanyakan diketahui memiliki
pandangan tertentu soal angka. Semisal, orang Jawa menandai dalam beragam
ritual, angka adalah simbol dengan makna-makna yang penuh abstraksi.
Lain halnya, bagaimana kalau persoalan angka
dibincangkan ke dunia kontestasi politik? Terlepas dari berbagai dimensinya,
politik sebagai bagian kehidupan masyarakat tentu kerap diwarnai dengan corak
klenik dan sentimen agama yang hidup. Tak terkecuali soal nomor urut calon
pemimpin, nomor urut partai, atau nomor lainnya.
Sayangnya soal nomor politik tidak seperti
nomor undian jalan sehat, yang jadi penanda keberuntungan mendapat doorprize.
Politik, konon memiliki hitungannya sendiri tentang bagaimana mengarahkan
persepsi bahkan suara masyarakat menuju para aktor politik.
Salah satu sentimen yang digunakan dulu,
barangkali hingga saat ini, adalah kutipan hadits:
إنَّ
اللهَ وِتْرٌ، يُحِبُّ الْوِتْرَ
“Allah itu witir (ganjil/tunggal), dan
menyukai bilangan yang ganjil.”
Oleh sebagian kalangan, tak terkecuali
kalangan ulama, menyebutkan angka ini menunjukkan bahwa angka ganjil,
seakan-akan “lebih dicintai oleh Tuhan”.
Karena prasangka dan nalar semacam ini bisa
bertebaran kapan saja, hal yang barangkali perlu dibincangkan kembali adalah
pemahaman hadits “Allah itu ganjil, menyukai bilangan yang ganjil” tersebut.
Kutipan hadits di atas, merupakan bagian dari
riwayat yang dinilai ulama sebagai hadits yang shahih. Hadits ini
tercatat dalam Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu
Dawud, dan jika ditelusuri lagi, banyak dimuat dalam kitab hadits lainnya –
dengan berbagai variasi redaksi dan sanad.
Setidaknya berdasarkan judul bab, hadits ini
banyak merujuk pada dua pembahasan: penjelasan seputar al-Asmaul Husna yang
jumlahnya 99, dan anjuran untuk melakukan shalat witir. Semisal dalam hadits
berikut yang dicatat dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim tentang
al-Asmaul Husna:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:
«لِلَّهِ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ اسْمًا، مَنْ حَفِظَهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَإِنَّ
اللهَ وِتْرٌ، يُحِبُّ الْوِتْرَ»
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah,
bahwa Nabi bersabda: “Allah memiliki 99 nama, siapa yang menjaganya akan masuk
surga. Allah itu ganjil (esa), dan menyukai bilangan yang ganjil.” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim)
Ganjil dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) bermakna dua hal: bisa (1) sesuatu yang aneh, atau (2) lawan
dari genap. Maka yang dimaksud ganjil dalam hadits-hadits ini adalah makna
yang kedua, yaitu ganjil adalah bilangan selain genap. Satu, tiga, lima
itu bilangan ganjil; dua, empat, enam, dan seterusnya itu bilangan genap. Satu
adalah bilangan ganjil bukan? Karena itulah, maksud Allah itu ganjil adalah
Allah itu Dzat yang Satu, Maha-Esa.
Menurut sementara ulama, 99 nama Allah itu
bukan batasan jumlah, sebagaimana dianut oleh Imam Ibnu Katsir dan Imam al
Qurthubi. Diskusi soal angka asma Allah ini cukup panjang sejalan dengan
beragam riwayat hadits yang ada. Hanya saja dengan rendah hati ulama menilai
jumlah 99 dalam hadits populer tersebut, dinilai mengandung ‘ilmul ghâib dan
keutamaan tersendiri – wallahu a’lam.
Kembali ke soal bilangan ganjil. Mengapa ia
mesti lebih disukai Allah? Kiranya tidak ada hadits lain yang menjelaskan
mengapa Allah mesti menyukai hal-hal dengan bilangan ganjil, selain dengan
isyarat bahwa Allah banyak menciptakan sesuatu dengan bilangan berjumlah
ganjil.
Pendapat tentang ini seperti dicatat oleh
Syekh Mahmud Al-Aini, dalam ‘Umdatul Qari Syarh Shahih al-Bukhari tentang
indikasi Allah lebih mengutamakan bilangan ganjil:
يفضله
فِي الْأَعْمَال وَكثير من الطَّاعَات وَلِهَذَا جعل الله الصَّلَوَات خمْسا
وَالطّواف سبعا وَندب التَّثْلِيث فِي أَكثر الْأَعْمَال وَخلق السَّمَوَات سبعا
وَالْأَرضين سبعا وَغير ذَلِك.
"...Allah mengunggulkan bilangan ganjil
dalam pelbagai hal, serta banyak cara ibadah. Allah menjadikan shalat lima
waktu, tawaf dengan tujuh putaran, dan anjuran untuk melakukan beragam
kesunnahan dengan tiga kali (semisal wudhu). Juga Allah menciptakan langit bumi
yang tujuh tingkat, dan lain sebagainya...” (‘Umdatul Qari Syarh Shahih
al-Bukhari, Juz 23 Hal. 29. Beirut - Dar Ihya Turats)
Demikianlah persoalan pemahaman al-witru
sebagai bilangan ganjil, karena beragam ibadah disyariatkan dan dianjurkan
dengan jumlah yang ganjil. Tapi rupanya hal itu tidak menunjukkan bahwa Allah
menyukai bilangan ganjil di luar anjuran seputar ibadah yang telah disebutkan.
Dalam konteks lain, al-witru yang dimaksud
dalam hadits adalah shalat witir yang dilakukan sebagai bagian dari shalat
malam. Sebagaimana dalam riwayat Imam at-Tirmidzi dalam Sunan At-Tirmidzi
berikut:
قَالَ
عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ: إِنَّ الْوِتْرَ لَيْسَ بِحَتْمٍ وَلَا كَصَلَاتِكُمُ
الْمَكْتُوبَةِ، وَلَكِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَوْتَرَ ثُمَّ قَالَ: يَا أَهْلَ الْقُرْآنِ أَوْتِرُوا؛ فَإِنَّ اللَّهَ وِتْرٌ
يُحِبُّ الْوِتْرَ
Artinya: “Ali bin Abi Thalib berkata:
Sesungguhnya sembahyang witir itu bukanlah kewajiban, sebagaimana shalat fardlu
yang lain. Tetapi Rasul memang melakukan shalat witir, dan pernah bersabda,
‘Wahai Ahli Quran, shalat witirlah, karena Allah itu witir (ganjil), menyukai
shalat witir (yang dilakukan dengan jumlah ganjil)’.”
Selain anjuran shalat witir, Anda bisa temui
juga dalam Musannaf Abdur Razzaq, salah satu kitab hadits tertua, bahwa
hadits tersebut menyertai perintah agar bertawaf dengan jumlah bilangan yang
ganjil (tujuh kali).
Berikut beberapa catatan dari penjelasan
ulama tentang hadits “Allah menyukai bilangan ganjil” di atas. Pertama,
hal yang dimaksud tentang Allah menyukai bilangan yang ganjil di atas, adalah
sehubungan dengan ibadah yang telah disyariatkan. Kedua, hadits tersebut
diriwayatkan sebagai bagian dari anjuran untuk melakukan ibadah shalat witir –
yang jumlah bilangannya ganjil.
Sehingga perlu kita sadari bahwa, tiada
isyarat bahwa nomor atau bilangan ganjil lebih mulia dari nomor genap, di luar
urusan ibadah dan anjuran yang diajarkan oleh Nabi Muhammad dan dilakukan para
ulama. Jadi, menyitir hadits bahwa Allah menyukai bilangan yang ganjil, semata
kecocokan nomor urut, lah kepriye? []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar