Beda Pertanyaan Nabi Isa dan Nabi Yahya saat
Mendatangi Sebuah Daerah
Dalam kitab al-Zuhd, Imam Ahmad bin Hanbal mengemukakan riwayat ketika Nabi Isa dan Nabi Yahya mendatangi sebuah daerah. Berikut riwayatnya:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ، حَدَّثَنَا أبِي، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ قَالَ:
كَانَ يَحْيَى وَعِيسَى عَلَيْهِمَا السَّلَامُ يَأْتِيَانِ الْقَرْيَةَ،
فَيَسَأَلَ عِيسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ عَنْ شِرَارِ أَهْلِهَا، وَيَسْأَلُ
يَحْيَى عَنْ خِيَارِ أَهْلِهَا، فَيُقَالُ لَهُ: لِمَ تَنْزِلُ عَلَى شِرَارِ
النَّاسِ؟ قَالَ: إِنَّمَا أَنَا طَبِيبٌ أُدَاوِي الْمَرْضَى
Abdullah bercerita, ayahku bercerita
kepadaku, Sufyan bin ‘Uyainah bercerita, ia berkata:
(Suatu saat) Yahya dan Isa ‘alaihimassalam
mendatangi sebuah desa. Isa ‘alaihissalam menanyakan tentang penduduk desa yang
jahat-jahat, sedangkan Yahya menanyakan penduduk desa yang baik-baik. Kemudian
Isa ditanya:
“Kenapa kau pergi (mencari) orang-orang
jahat?”
Nabi Isa menjawab: “Sesungguhnya aku tabib
(dokter) yang (ditugaskan untuk) menyembuhkan orang-orang yang sakit.” (Imam
Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turats, 1992, h. 86)
****
Kita perlu renungi, kenapa para nabi memiliki
karakteristik yang berbeda-beda. Ada yang menonjol kesabarannya; ada yang
menonjol kepemimpinannya; ada pula yang menonjol kecerdasannya, dan seterusnya.
Termasuk Nabi Isa dan Nabi Yahya. Namun, kita tidak akan membincangkan
perbedaan karakteristik ini terlalu jauh. Kita cukup memahami salah satu hikmahnya,
yaitu semua orang, dengan beragam bawaan orok, memiliki peluang yang sama
menjadi bertakwa, shalih dan dirahmati. Karena kadar watak manusia
berbeda-beda, ada yang pemberani; ada yang penakut; ada yang pemalu; ada yang
mudah marah; ada yang susah marah, dan lain sebagainya.
Dalam kisah di atas, Nabi Yahya menanyakan
atau mencari orang-orang terbaik di desa tersebut, sementara Nabi Isa malah
menanyakan orang-orang yang buruk perangainya. Sehingga orang-orang heran,
kenapa Nabi Isa menanyakan mereka. Tapi mereka tidak terlalu heran dengan
pertanyaan Nabi Yahya. Mari kita ikuti ulasan singkatnya.
Mereka bertanya kepada Nabi Isa
‘alaihissalam: “Kenapa kau pergi (mencari) orang-orang jahat?” Nabi Isa
menjawab: “Sesungguhnya aku tabib (dokter) yang (ditugaskan untuk) menyembuhkan
orang-orang yang sakit.” Jika orang-orang sakit, dalam hal ini orang yang belum
baik, dijauhi dan ditinggalkan, mereka tidak akan menjumpai obatnya. Seringkali
orang-orang yang masih sakit, tidak terlintas sedikit pun di pikiran mereka
bahwa mereka sedang sakit, bahwa mereka membutuhkan seorang penyembuh. Mereka
hidup sebagaimana mestinya dari hari ke hari tanpa berusaha menjadi baik.
Karena mereka memang tidak merasa sedang sakit.
Belum lagi jika “sakit” itu dikaburkan oleh
hardikan dan cacian orang-orang di sekitarnya. Jangan dianggap hardikan itu
memperjelas “sakit” yang mereka derita, tidak. Hardikan, semakin sering mereka
terima, semakin menyamarkan “sakit” mereka, hingga mereka tidak merasa diri
mereka sedang sakit. Karena kemarahan yang mereka rasakan menutupi penyakit
yang mereka derita.
Yang dilakukan Nabi Isa adalah upaya
menyembuhkan “sakit” mereka. Ia diutus untuk menyampaikan risalah-risalah
Tuhannya, salah satunya dengan cara mengentaskan mereka dari belenggu penyakit
moral yang mereka derita, apalagi menurut Nabi Isa pengamalan ihsan yang baik
bukan sebatas berbuat baik kepada orang yang baik, tapi lebih jauh dari itu,
berbuat baik kepada orang yang jahat. Ia mengatakan:
إِنَّ
الْإِحْسَانَ لَيْسَ أَنْ تُحْسِنَ إِلَى مَنْ أَحْسَنَ إِلَيْكَ إِنَّمَا تِلْكَ
مُكَافَأَةٌ بِالْمَعْرُوفِ وَلَكِنَّ الْإِحْسَانَ أَنْ تُحْسِنَ إِلَى مَنْ
أَسَاءَ إِلَيْكَ
“Sesungguhnya ihsan itu bukan (ketika) kau
berbuat baik kepada orang yang membaikimu, karena itu adalah balasan (kebaikan)
dengan kebaikan, tetapi ihsan adalah (ketika) kau berbuat baik kepada orang
yang menjahatimu.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, 1992, h. 74)
Pertanyaan Nabi Yahya ‘alaihissalam dalam
kisah di atas tidak kalah menariknya. Karena menghampiri para pengamal kebaikan
tidak kalah pentingnya. Paling tidak ada beberapa kemungkinan yang bisa kita
ambil. Pertama, untuk menjaga mereka agar tidak terpelosok kepada keburukan.
Sebab, selama manusia hidup, tidak ada yang menjamin ia akan memiliki akhir
yang baik (husnul khatimah), sehingga harus terus dibimbing.
Kedua, agar orang-orang yang sudah benar itu
tidak terjerembap dalam keadaan ujub. Karena amal tanpa hati yang terjaga akan
membawa pada kesombongan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (HR.
Imam al-Baihaqi):
لَوْ
لَمْ تَكُونُوا تُذْنِبُونَ، خَشِيتُ عَلَيْكُمْ مَا هُوَ أَكْبَرُ مِنْ ذَلِكَ،
الْعُجْبَ الْعُجْبَ
“Jika kalian tidak berdosa, aku takut kalian
tertimpa (masalah) yang lebih besar dari dosa, yaitu ujub, ujub!” (Imam Abu
Bakr Ahmad al-Baihaqi, Syu’ab al-Îmân, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2017,
juz 5, h. 453)
Ketiga, agar mereka tidak menghardik
orang-orang yang masih “sakit”, sehingga orang-orang tersebut bisa mengenali
kebaikan yang disampaikan Nabi Isa tanpa gangguan dan kemarahan.
Tiga kemungkinan tersebut menunjukkan bahwa Nabi
Isa dan Nabi Yahya sepertinya sedang berbagi tugas. Nabi Isa mengakrabi para
pendosa, dan Nabi Yahya menghampiri para pengamal kebaikan, demi terciptanya
lingkungan dakwah yang sehat.
Semoga memberi manfaat. Wallahu a’lam bish
shawwab. []
Muhammad Afiq Zahara, alumnus PP.
Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar