Dialog Dua Malaikat tentang Manusia
Dalam kitab Thahârah al-Qulûb wa al-Khudlû li
‘Allâm al-Ghuyûb, Sayyid Abdul Aziz al-Darani (w. 697 H) mencatat sebuah
riwayat yang mengisahkan dialog dua malaikat. Diceritakan oleh Sayyid Abdul
Aziz al-Darani:
أنّ
ملكين من السماء كل يوم يقول احدهما: يا ليت الخلق لم يخلقوا, ويقول الآخر: ليتهم
إذا خلقوا علموا لماذا خلقوا, ويقول الأول: ليتهم إذا علموا لماذا خلقوا عملوا بما
علموا, ويقول الآخر: ليتهم إذا لم يعلموا تابوا مما عملوا, ويقال: العمر بضاعة
والرابح من صرفه في الطاعة
Sesungguhnya dua malaikat dari langit setiap
hari (turun). Salah satu dari dua malaikat tersebut berkata: “Alangkah baiknya
kiranya manusia tidak diciptakan!”
Berkata malaikat yang lain: “Alangkah
baiknya, andai mereka tahu kenapa mereka diciptakan!”
Berkata malaikat yang pertama: “Sekiranya
mereka tahu kenapa mereka diciptakan, tentu mereka akan beramal saleh dengan
pengetahuannya.”
Berkata lagi malaikat lainnya: “Kiranya
mereka belum beramal saleh, mereka (harus) bertobat dari apa yang telah mereka
lakukan.”
Dikabarkan bahwa “umur adalah barang
dagangan. Orang yang memperoleh laba adalah orang yang membelanjakannya dalam
ketaatan.” (Sayyid Abdul Aziz al-Darani, Thahârah al-Qulûb wa al-Khudlû’ li
‘Allâm al-Ghuyûb, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2003, h. 146)
****
Dengan mengutip riwayat di atas, Sayyid Abdul
Aziz al-Darani hendak menyadarkan manusia dari tidur panjangnya. Mengingatkan
manusia bahwa sekali waktu di zaman yang sangat dahulu malaikat pernah
mempertanyakan kebijakan Tuhan yang hendak menciptakan manusia. Pertanyaan para
malaikat itu bukan pertanyaan biasa, tapi pertanyaan yang langsung disertai
tuduhan terhadap manusia (QS. Al-Baqarah: 30), “ataj’alu fîhâ man yufsidu fîhâ
wa yasfiku al-dimâ’a—apakah Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu,
orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah.” Riwayat di
atas mengingatkan kita akan hal itu, bahwa manusia dengan segudang kualitas
baiknya memiliki potensi berbuat jahat dan dosa.
Dalam kajian kali ini, kita tidak akan
membicarakan kejahatan dan dosa yang “wah”, kita akan fokuskan kajian kita pada
aspek acuhnya manusia terhadap dirinya sendiri. Syekh Hamza Yusuf sering
melabeli manusia dengan istilah “orang yang tidur berjalan” untuk menunjukkan
ketidak-mampuan manusia dalam mengenali kualitas dirinya. Dia (manusia) hidup,
bernapas, tidak sedang tidur, bergerak, tapi kesadarannya sebagai manusia dan
makhluk yang diproyeksikan Tuhan sebagai khalifah di muka bumi tidak berfungsi
dengan baik. Jangankan menjadi khalifah di muka bumi yang berarti harus menjadi
“khair al-nâs anfa’uhum li al-nâs—sebaik-baik manusia adalah yang paling
berguna untuk lainnya”, menjadi khalifah untuk dirinya sendiri saja masih jauh
dari kata sampai.
Karena itu, dalam diskusi dua malaikat di
atas, kita bisa temukan kerangka sederhana tentang taraf kesadaran manusia.
Kerangka sederhana itu bisa kita anggap sebagai, atau paling tidak cara pandang
malaikat dalam memahami manusia. Malaikat pertama membayangkan andai saja
manusia tidak diciptakan, pasti tidak ada kejahatan di muka bumi ini. Malaikat
yang lain memandang, andai saja manusia menyadari kenapa mereka diciptakan.
Kemudian diteruskan oleh malaikat pertama, “tentu mereka akan banyak beramal
saleh.” Namun, menurut malaikat kedua, mengetahui alasan kenapa mereka
diciptakan (untuk mengabdi kepada Allah), masih belum cukup. Karena banyak
orang yang mengetahuinya, tapi tetap bermaksiat. Sebab itu, malaikat kedua
berharap manusia agar lekas bertobat dari apa yang telah mereka lakukan.
Ini berarti tobat merupakan tangga pertama
yang harus dinaiki manusia untuk menuju Tuhannya. Hampir semua manusia tahu
bahwa berbohong adalah dosa, tapi banyak manusia yang tetap melakukannya.
Pengetahuannya tidak menjadi detektor efektif dalam dirinya, sekedar deteksi
sepintas lalu yang tidak berpengaruh apa-apa.
Ditambah lagi di akhir riwayat, Sayyid Abdul
Aziz al-Darani mengutip sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa umur manusia
adalah barang dagangan, orang yang meraup untung besar adalah orang yang
membelanjakannya dalam ketaatan. Artinya, kita sedang berpacu dengan waktu.
Kematian bisa datang kapan saja. Tanggal kadaluarsa manusia tidak bisa
dipastikan seperti produk-produk masa kini. Setiap waktu adalah peluang.
Berdagang dengan Allah tidak terbatas oleh waktu dan tempat tertentu, kapanpun
dan dimanapun.
Dengan mengutip riwayat tersebut, Sayyid
Abdul Aziz al-Darani ingin mencambuk hati kita agar lebih waras dalam menjalani
kehidupan. Sadar bahwa kita sedang hidup, tidak sekedar berjalan kesana-kemari
tanpa membawa dan memberi kemanfaatan untuk diri sendiri dan orang di sekitar
kita. Apalagi nikmat Tuhan telah begitu banyak mengelilingi kita, terutama
nikmat mengenali-Nya; nikmat menjadi hamba-Nya; dan nikmat menjadi umat Rasul
terkasih-Nya, Sayyidina wa Maulana Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kemudian ia bersyukur dengan mengujar:
إلهي
إنّ قلوبنا موقنة بصدق ما وعدت ونفوسنا طامعة بحسن ما عوّدت, ألهمتنا معرفة وجودك
وعاماتنا بكرمك وجودك وزيّنتنا بصدق توحيدك وأنطقتنا بتمجيدك وتقديسك وتحميدك
وأكرمتنا بصدق محمد خير خلقك صلي الله عليه وعلي آله وصحبه وسلم
“Tuhanku, sungguh hati kami yakin dengan
kebenaran yang Kau janjikan, dan jiwa kami rakus dengan kebaikan yang Kau
biasakan. Kau anugerahi kami ilham pengetahuan wujudMu, memperlakukan kami
dengan kemuliaan-Mu dan kedermawanan-Mu, menghiasi kami dengan kebenaran
tauhid-Mu, memberi kami kemampuan berucap untuk mengangungkan-Mu,
menyucikan-Mu, dan memuji-Mu, serta memuliakan kami dengan meyakini kenabian
Muhammad SAW, sebaik-baik dari makhluk-Mu.” (Sayyid Abdul Aziz al-Darani,
Thahârah al-Qulûb wa al-Khudlû’ li ‘Allâm al-Ghuyûb, 2003, h. 147)
Wallahu a’lam bish shawwab. []
Muhammad Afiq Zahara, alumni PP.
Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar