Pandangan KH Wahab
Chasbullah soal Perbudakan
Sejumlah pandangan
terkait hukum Islam disampaikan oleh KH Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971)
dalam sidang Dewan Konstituante pada 1957. Pada rentang tahun 1956-1959, memang
terjadi perdebatan hangat dalam rapat Majelis Konstituante untuk menentukan
dasar negara. Pada masa ini terjadi perdebatan alot antara tiga faksi (kubu)
terkait dengan unsur yang ingin dijadikan sebagai dasar negara.
Pertama ialah Faksi
Pancasila yang sama sekali Piagam Jakarta dalam dasar negara. Kedua Faksi Islam
(NU termasuk di kubu ini) yang menginginkan piagam Jakarta tidak dihilangkan
secara serta merta, dan ketiga kubu ekonomi sosialis demokrasi yang
menginginkan dasara negara sosialis.
Bahkan di tubuh faksi
Islam secara formal menginginkan Islam menjadi dasar negara. Meskipun NU ada di
kubu ini, organisasi para kiai tersebut tidak ingin Islam secara partikular
dijadikan dasar negara. Hal itu justru menyempitkan nilai-nilai ajaran Islam,
karena posisi agama di atas dasar negara. Maka dari itu, sudah selayaknya Islam
menjiwai dasar negara.
Keinginan kubu
sekuler yang ada di faksi Pancasila (PNI, PKI, Republik Proklamasi, PSI,
Parkindo, dan lain-lain) hanya menginginkan Pancasila tanpa dijiwai oleh
nilai-nilai Islam dalam Piagam Jakarta, inilah yang ditolak NU. Sedangkan NU
sendiri tidak menolak Pancasila dan UUD 1945 jika tetap dijiwai oleh
nilai-nilai agama Islam yang termaktub dalam Piagam Jakarta.
Selain soal hukum
potong tangan, Kiai Wahab Chasbullah juga memaparkan terkait masalah
perbudakan: Soal perbudakan ini bukan made in Islam. Untuk kerajaan Yunani dan
seluruh dunia, di seluruh negara, pasar penuh ramai dengan perbudakan, di mana
saja sekalipun di Moskow. Hanya di Moskow diberantas dalam abad yang terakhir
ini.
Waktu di Moskow ada
kerajaan Iskandar II baru diberantas dalam terori praktik tetap, tapi ganti
nama. Mengenai soal perbudakan ini, sebetulnya siapa orang yang suka menjadi
budak? Yang dijadikan budak sebenarnya ialah boyongan (tawanan), boyongan orang
perang, mana yang kalah diboyong, orang yang diboyong itu dijadikan budak.
Sekarang nama boyong
itu hamba tidak ada, tetapi di mana ada sikap orang memboyong, maka terhadap
boyongannya tetap menganggap budak yang tidak mempunyai hak sebagai orang yang
merdeka.
Perbudakan ini juga
merajalela di tanah Arab. Setelah Rasulullah dilahirkan di Arab dan melihat
keadaan itu, Rasul hingga umur 40 tahun diberi Wahyu menjadi Nabi. Wahyu
pertama untuk iman, kedua untuk memberitahukan kepada kawan, ketiga untuk
memberantas perbudakan.
Seketika itu Nabi
Muhammad memerdekakan budaknya yang bernama Haris bin Halifah sehingga sesudah
merdeka menjadi sekretaris pribadi Nabi. Sahabat-sahabat Nabi yang membeli
budak dengan susah payah, berturut-turut memerdekakan budak-budaknya.
Dari keterangan
tersebut menunjukkan bahwa perbudakan bukan made in Islam. Islam sangat
menganjurkan kepada pemerintah supaya perbudakan dibasmi dari dunia ini.
Karena itu, kita bisa
menentukan bilamana negara kita berdasar Islam, sudah menetapkan Undang-Undang.
Andaikata Undang-undang menjelaskan tentang pembasmian perbudakan, sudah pasti
orang yang menghilangkan perbudakan akan mendapat pahala sebesar-besarnya dari
Allah, karena ia telah melaksanakan anjuran dan perintah Allah dan sudah pasti
dengan itu akan menjadi Baldatun thayyibatun warabbun ghaffur. Karena
melaksanakan anjuran Allah dan perintah Allah mesti jadi begitu. (Abdul Mun’im
DZ, KH Abdul Wahab Chasbullah: Kaidah Berpolitik dan Bernegara, 2014: 29-31)
Baldatun thayyibatun
warabbun ghaffur, yaitu bangsa yang subur dan makmur, adil dan aman yang diridhoi
Tuhannya merupakan titik tekan Kiai Wahab Chasbullah dalam pidato itu pada
Sidang Pleno Majelis Konstituante 3 Desember 1957. Tujuan agung pendirian
negara tersebut tidak bisa dicapai ketika hanya menjadikan Islam secara formal
sebagai dasar negara. Islam harus menjadi jiwa.
NU tidak sepakat
menerapkan secara formal Piagam Jakarta ke dalam dasar negara di sidang pleno
Majelis Konstituante, seperti yang dikehendaki kelompok Islam lain seperti
Masyumi, PSII, Perti, dan lain-lain. Maka jalan tengahnya adalah Piagam Jakarta
menjadi jiwa dan semangat UUD 1945.
Jalan tengah yang
diberikan oleh NU disambut baik oleh Presiden Soekarno yang atas usul Jenderal
Abdul Haris Nasution negara harus kembali kepada Pancasila dan UUD 1945. Sebab
itu, harus dilakukan Dekrit Presiden secara konstitusional. Resisten terhadap
kelompok Islam tidak terjadi ketika Soekarno mengeluarkan Dekrit pada 5 Juli
1959 karena dasar negara telah dijiwai oleh Piagam Jakarta.
Dalam hal ini, NU
berhasil memberikan pemahaman Islam secara substansial dalam sistem berbangsa
dan bernegara, bukan Islam partikular yang menginginkan formalisasi Islam ke
dalam sistem bernegara. []
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar