Rasulullah
dan Badui yang Tidak Mau Mengakui Anaknya
Rasulullah merupakan sumber kebenaran karena ia menerima wahyu langsung dari Allah. Apapun yang dilakukannya adalah suri teladan yang harus diikuti, kecuali hal-hal tertentu yang memang dikhususkan untuk Rasulullah. Apapun yang diucapkannya adalah wahyu yang mengandung kesahihan.
Rasulullah merupakan
sumber ilmu. Sehingga jika para sahabatnya menemukan suatu hal yang janggal
maka mereka akan mengadukannya kepada Rasulullah untuk meminta solusi. Tidak
hanya soal keagamaan, Mereka juga bertanya tentang hal-hal lainnya.
Permasalahan rumah tangga misalnya.
Dalam buku
Kisah-kisah Romantis Rasulullah (Ahmad Rofi’ Usmani, 2017), dikisahkan bahwa
suatu ketika seorang Badui dari Bani Fazarah mendatangi Rasulullah. Ia mengadu
tentang istrinya yang baru saja melahirkan seorang bayi yang berkulit hitam.
Seorang Badui tersebut tidak terima. Ia tidak mau mengakui anak itu karena
kulitnya tidak sama dengan dirinya –yang tidak hitam.
“Anak itu jelas bukan
anakku,” tegasnya.
Rasulullah tidak
langsung meresponsnya. Ia diam sejenak. Setelah amarah di Badui tersebut dikira
sudah stabil, Rasulullah baru menjawabnya. Menariknya Rasulullah tidak langsung
menjawab kalau anak itu adalah anak si Badui atau tidak. Akan tetapi Rasulullah
menyampaikan perumpamaan kepada si Badui dalam menyelesaikan kasus tersebut.
Mula-mula Rasulullah
bertanya kepada si Badui apakah ia memiliki unta. Punya, kata si Badui.
Rasulullah kemudian bertanya perihal warna dari unta si Badui. Warnanya merah
wahai Rasulullah, sambung si Badui. Lagi-lagi Rasulullah kembali bertanya,
‘apakah anak-anak dari untamu itu ada yang berwana abu-abu?’ Si Badui menjawab
bahwa anak dari untanya ada yang berwarna abu-abu sebagaimana yang ditanyakan
Rasulullah.
“Dari mana asalnya
anaknya yang berwarna abu-abu itu?” kata Rasulullah kembali mengajukan
pertanyaan kepada si Badui.
Si Badui menjawab
dengan sekenanya kalau anak untanya yang berwarna abu-abu itu –sementara
untanya sendiri berwarna merah- bisa saja berasal dari asal keturunannya. Dari
sini kemudian Rasulullah mengumpamakan anak Badui yang hitam itu. Dengan nada
yang santun Rasulullah mengatakan kalau anak Badui yang berkulit hitam itu bisa
saja ‘turunan’ dari nenek moyangnya, sebagaimana untanya tersebut.
“Sahabatku, anakmu
pun begitu. Mungkin nenek moyangnya ada yang berkulit hitam,” kata Rasulullah.
Setelah mendengar penjelasan Rasulullah, si Badui akhirnya mau menerima anaknya
yang kulitnya tidak sama dengan dirinya itu.
Demikian Rasulullah
menjawab persoalan dari umatnya. Kalau saat ini mungkin gampang saja. Tinggal
dites DNA-nya. Namun saat itu ilmu pengetahuan belum berkembang secanggih
seperti saat ini. Jadi Rasulullah menggunakan perumpamaan-perumpamaan yang
relevan dan mudah dicerna umatnya. []
(A Muchlishon
Rochmat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar