Sejarah dan Asal Muasal
Shalawat Nabi
Membaca shalawat adalah salah satu amalan dan
penghargaan kita kepada Rasulullah SAW. Sebagai umat Rasul SAW tentu kita tak
asing lagi dengan amalan membaca shalawat, bahkan di masa sekarang membaca
shalawat tidak hanya amalan yang bernilai pahala, tapi juga sudah mulai menjadi
budaya dan perlombaan.
Bagaimana sejarah dan asal muasal shalawat.
Mengapa shalawat bisa menjadi seterkenal dan membudaya seperti sekarang?
Membahas sejarah shalawat tentu tidak bisa
terlepas dari Surat Al-Ahzab ayat 56:
إِنَّ
اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Artinya, “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya
bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk
Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”
Sebab turunnya ayat ini bisa dibilang menjadi
sejarah shalawat kepada Rasul SAW. Sebab, At-Thabari menyebutkan bahwa setelah
ayat ini turun, ada seorang sahabat yang bertanya terkait bunyi shalawat kepada
Rasulullah SAW. Kemudian Rasul SAW menyebutkan shalawat Ibrahimiyah,
sebagaimana yang biasa kita baca pada tasyahud akhir saat shalat.
Ayat tersebut oleh At-Thabari memerintahkan
orang-orang yang beriman untuk mendoakan Rasul SAW dan keselamatannya, (Lihat
Ibnu Jarir At-Thabari, Jāmiʽul Bayān fi Ta’wīlil Qur’ān, [Beirut, Muassasatur
Risālah: 2000], juz XX, halaman 320).
Terkait kapan shalawat itu diwajibkan kepada
Rasul SAW, merujuk pada turunnya ayat tersebut kepada Rasul SAW, perintah
shalawat tersebut diturunkan pada bulan Syaban pada tahun kedua Hijriyah.
Oleh Abu Dzar Al-Harawī, inilah yang disebut
bulan Syaban sebagai bulan shalawat, (Lihat Muḥammad ibn ʽAbdur Rahmān
As-Sakhawi, Al-Qaulul Bādiʽ fis Ṣhalāh ʽalal Ḥabībis Syāfiʽ, [Madinah,
Muassasatur Rayyān: 2002 M], halaman 92).
Secara lebih lanjut As-Suyuṭī menjelaskan
bahwa shalawat sebenarnya sudah ada sejak masa Nabi Musa AS dan kaumnya, Bani
Isra’il. Saat itu Bani Isra’il bertanya kepada Nabi Musa AS, terkait apakah
Allah SWT bershalawat kepada makhluk-Nya. Mendengar pertanyaan dari kaumnya
tersebut, Nabi Musa AS kemudian berdoa dan meminta jawaban kepada Allah SWT.
Allah SWT pun menjawab pertanyaan Nabi Musa AS. Allah SWT berfirman kepada Nabi
Musa AS.
يَا
ُموسَى إِنْ سَأَلُوْكَ هَلْ يُصَلِّي رَبُّكَ؟ فَقُلْ : نَعَمْ . أَنَا أُصَلِّي
وَمَلَائِكَتِي عَلَى أَنْبِيَائِي وَرُسُلِي
Artinya, “Wahai Musa AS, sungguh kaum Bani
Israil bertanya kepadamu, apakah Tuhanmu bershalawat kepada makhluk-Nya?
Jawablah, ‘Iya. Aku dan juga para malaikatku bershalawat kepada para nabi dan
rasul-Ku,’” (Lihat Jalaludin As-Suyuthi, Ad-Durārul Mantsūr, [Beirut, Darul
Fikr: tanpa catatan tahun], juz VIII, halaman 197).
Kemudian turunlah Surat Al-Ahzab di atas.
As-Suyūṭī menambahkan bahwa setelah turun ayat tersebut, kaum Bani Israil
tersebut kemudian bahagia dan memujinya.
Dari hal ini bisa diambil kesimpulan bahwa
anjuran bershalawat turun untuk menghargai dan memuji utusan Rasul SAW atas
tanggungannya berdakwah kepada para kaumnya.
Shalawat itu awalnya sebagai kabar baik
kepada kaum Bani Israil, namun Allah SWT juga memberikan keutamaan kepada para
nabi melalui shalawat kepadanya terlebih dahulu karena semuanya disampaikan
melalaui perantaranya.
Ini juga bisa termasuk sebagai penghargaan
kepada Nabi dan Rasul tersebut. Dalam hal ini Ubay ibn Ka’ab menyebutkan bahwa
tidak ada hal baik yang diturunkan kepada seorang Rasul kecuali Rasul tersebut
menjadi bagian dari hal baik tersebut. Turunlah Surat At-Taubah ayat 112.
التَّائِبُونَ
الْعَابِدُونَ الْحَامِدُونَ السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدُونَ
الْآمِرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّاهُونَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَالْحَافِظُونَ
لِحُدُودِ اللَّهِ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
Artinya, “Mereka itu adalah orang-orang yang
bertobat, yang beribadat, yang memuji, yang melawat, yang rukuk, yang sujud,
yang menyuruh berbuat makruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara
hukum-hukum Allah. Gembirakanlah orang-orang mukmin itu,” (Lihat Jalaludin
As-Suyuthi, Ad-Durārul Mantsūr, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], juz
VIII, halaman 197).
Oleh karena itu pada masa Rasulullah SAW,
shalawat ini juga bisa menjadi sebuah penghargaan kepada Rasul SAW. Itulah
mengapa ketika nama Rasul SAW disebut, Rasul SAW menganjurkan kita untuk
membaca shalawat kepadanya, bahkan dengan memberikan janji keutamaan-keutamaan
yang banyak.
Hal ini diperkuat oleh pendapat Al-Ghazali
dan beberapa ulama lain yang dikutip oleh As-Sakhawi yang menyebutkan
bahwasanya shalawat kepada Nabi SAW tidak terbatas sebagai doa, tapi juga
sebagai pujian dan sebagai ibadah. Wallahu a‘lam. []
Ustadz Muhammad Alvin Nur Choironi, Pegiat
Kajian Tafsir dan Hadits.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar