Jumat, 01 November 2019

(Hikmah of the Day) Bekas Hitam di Punggung Sayyidina Ali Zainal Abidin


Bekas Hitam di Punggung Sayyidina Ali Zainal Abidin

Dalam kitab al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Imam Ibnu Katsir mencatat riwayat tentang Sayyidina Ali bin Husein yang memiliki bekas hitam di pundaknya. Berikut riwayatnya:

وَقَالَ الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الخضري، حدَّثنا عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عن عمر بن حارث, قال: لما مات علي بن الحسين فغسلوه جعلوا ينظرون إلى آثار سواد في ظهره, فقالوا: ما هذا؟ فقيل: كان يحمل جُرُب الدقيق ليلاً على ظهره يعطيه فقراء أهل المدينة

Al-Thabrani berkata: Muhammad bin Abdullah al-Khudlri bercerita kepadaku, Utsman bin Abi Syaibah bercerita, Jarir bercerita, dari Umar bin Harits, ia berkata:

Ketika Ali bin al-Husein wafat, orang-orang memandikan (jenazah)nya. Mereka (kaget) melihat bekas hitam di pungguhnya. Mereka bertanya: “Bekas apa ini?”

Seseorang menjawab: “Ia memanggul sekarung tepung (setiap) malam di punggungnya untuk diberikan kepada fakir miskin di Madinah.” (Imam Ibnu Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Beirut: Dar al-Ihya’ li al-Turats, 1988, juz 2, h. 133)

****

Nama lengkapnya adalah Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdi Manaf. Ia merupakan cicit Rasulullah dari Sayyidah Fatimah. Ia satu-satunya anak laki-laki Sayyidina Husein yang selamat. Ketika pembantaian Karbala terjadi, ia masih berusia tiga belas tahun. Ia tidak dibunuh karena sedang sakit (yauma’idzin mauku’an falam yuqâtal). Banyak generasi salaf yang mengambil hadits darinya seperti Abu Salamah dan Thawus. (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubalâ’, Beirut: Muassasah al-Risalah, 2001, juz 4, h. 387-388)

Para ulama salaf sangat menghormatinya. Mereka memuji kualitas diri dan keilmuannya. Imam al-Zuhri (50-124 H) mengatakan, “mâ ra’aytu quraisyan afdlal min ‘Ali bin al-Husein” (aku tidak melihat orang Quraisy yang lebih baik dari Ali bin al-Husein). Maksudnya suku Quraisy di masa Imam al-Zuhri hidup, bukan suku Quraisy dari masa sebelumnya. Imam Malik bin Anas (93-179 H) berkata, “lam yakun fi ahlil bait mitsluh” (tidak ada di kalangan ahlul bait yang sepertinya). Imam al-Zuhri di waktu lain berkata, “wa mâ ra’aytu ahadan kâna afqah minhu” (aku tidak melihat seorang pun yang lebih paham [agama] darinya) (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubalâ’, 2001, juz 4, h. 387-390)

Membaca riwayat di atas, aktivitas “memberi” Sayyidina Ali Zainal Abidin (38-95 H) dilakukan di setiap malam. Hal ini bisa dipahami dalam dua sudut pandang. Pertama, karena ia tidak ingin kebaikannya diketahui banyak orang, dan kedua, untuk merahasiakan orang-orang yang diberi olehnya. Karena memberi di depan umum terkadang membuat perasaan yang diberi tidak nyaman.

Dalam banyak riwayat, Sayyidina Ali Zainal Abidin selalu merahasiakan pemberiannya, bahkan orang yang diberi pun tidak mengetahui siapa yang memberinya. Setelah kewafatannya, banyak kabar yang menyebar tentangnya di Madinah. Mereka saling berkata:

ما فقدنا صدقة السر حتى مات علي بن الحسين

Kami tidak kehilangan sedekah rahasia (sembunyi-sembunyi) hingga Ali bin al-Husain wafat.” (Imam Ibnu Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, 1988, juz 2, h. 133)

Artinya, banyak penduduk Madinah yang pernah mendapatkan sedekah rahasia dari Sayyidina Ali Zainal Abidin. Tiba-tiba barang atau uang yang dibutuhkan berada di depan rumahnya. Awalnya mereka tidak tahu, siapa yang memberikan itu. Tapi setelah Sayyidina Ali Zainal Abidin wafat, mereka tak pernah lagi menerima sedekah rahasia. Akhirnya mereka tahu bahwa Sayyidina Ali Zainal Abidin lah yang selama ini memenuhi kebutuhan mereka.

Bekas hitam di punggungnya adalah bukti kegemarannya merahasiakan sedekah. Ia tidak mau menyuruh murid atau pembantunya untuk mengantarkan sedekahnya. Ia meminggulnya sendiri dan mengantarnya ke rumah orang yang membutuhkan. Artinya, ia sedang berusaha merahasiakan aktivitas malamnya dari keluarga, teman, murid dan para pembantunya. Namun, karena aktivitas bersedekah itu dilakukan hampir setiap hari, lama-kelamaan mereka mengetahuinya. Sebelumnya banyak yang menuduhnya bakhil, termasuk keluarganya sendiri. Dalam sebuah riwayat dikatakan:

وقال شيبة بن نعامة: لما مات علي وجدوه يعول مائة أهل بيت, قلت: لهذا كان يبخل، فإنه ينفق سرا ويظن أهله أنه يجمع الدراهم

“Syaibah bin Nu’amah berkata: ‘Ketika Ali (Zainal Abidin) wafat, yang berduka (sekitar) seratus ahlu baitnya (keluarganya).’ Aku berkata: ‘Ini terjadi karena ia (dianggap) kikir.’ Meski sesungguhnya ia menafkahkan (hartanya) secara sembunyi-sembunyi (rahasia), dan (bahkan) keluarganya (sendiri) menyangka ia mengumpulkan dirham-dirhamnya (uangnya).” (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubalâ’, 2001, juz 4, h. 395)

Sayyidina Ali Zainal Abidin tidak mempedulikan pandangan manusia. Andaipun seluruh dunia menuduhnya kikir, ia tidak peduli. Hanya orang-orang di sekitarnya yang mengetahui cara hidupnya yang sesungguhnya, meski awalnya mereka tidak tahu, tapi karena kemurahan hati dan kedermawanan sudah melekat dengan dirinya, perlahan-lahan mereka mengetahuinya juga. Dari murid-muridnya inilah riwayat tentang kehidupannya bertahan hingga sekarang. Dalam sebuah riwayat, ia menjelaskan salah satu alasan perbuatannya:

عن أبي حمزة الثمالي، أن علي بن الحسين كان يحمل الخبز بالليل على ظهره يتبع به المساكين في الظلمة، ويقول: إن الصدقة في سواد الليل تطفئ غضب الرب

Dari Abu Hamzah al-Tsumali, ‘sesungguhnya Ali bin al-Husein memanggul (sekarung) roti di malam hari di punggungnya (sambil) mencari orang-orang miskin dalam kegelapan.’ Ia berkata: “sesungguhnya sedekah dalam gelapnya malam dapat meredakan kemarahan Tuhan.” (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubalâ’, 2001, juz 4, h. 394)

Sebagai cicit Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, Sayyidina Ali Zainal Abidin mewarisi kedermawanan moyangnya. Ia tidak merasa berat memberikan seluruh hartanya untuk orang-orang yang membutuhkan. Baginya, kedermawanan laiknya kebutuhan primer, tak ubahnya makan dan minum. Sehari saja tanpa memberi, ia merasa lapar.

Membaca sedikit dari sekian banyak riwayat keluhuran pekerti, kemurahan hati, dan kedemawanan Sayyidina Ali Zainal Abidin, kita seharusnya mulai mengubah diri, dan menganggap perbuatan baik sebagai kebutuhan primer, bukan sekunder apalagi tersier. Jika kita bisa menganggap perbuatan baik sebagai kebutuhan primer, kita akan selalu haus menjadi bermanfaat di setiap waktu. Jika pun susah, paling tidak, kisah di atas sedikit menggugah hati kita. Itu sudah cukup baik untuk permulaan. Pertanyaannya, kapankah kita akan memulainya? Wallahu a’lam bish-shawwab. []

Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar