Bekas Hitam di Punggung Sayyidina Ali Zainal
Abidin
Dalam kitab al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Imam Ibnu Katsir mencatat riwayat tentang Sayyidina Ali bin Husein yang memiliki bekas hitam di pundaknya. Berikut riwayatnya:
وَقَالَ
الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الخضري، حدَّثنا عُثْمَانُ
بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عن عمر بن حارث, قال: لما مات علي بن
الحسين فغسلوه جعلوا ينظرون إلى آثار سواد في ظهره, فقالوا: ما هذا؟ فقيل: كان
يحمل جُرُب الدقيق ليلاً على ظهره يعطيه فقراء أهل المدينة
Al-Thabrani berkata: Muhammad bin Abdullah
al-Khudlri bercerita kepadaku, Utsman bin Abi Syaibah bercerita, Jarir
bercerita, dari Umar bin Harits, ia berkata:
Ketika Ali bin al-Husein wafat, orang-orang
memandikan (jenazah)nya. Mereka (kaget) melihat bekas hitam di pungguhnya.
Mereka bertanya: “Bekas apa ini?”
Seseorang menjawab: “Ia memanggul sekarung
tepung (setiap) malam di punggungnya untuk diberikan kepada fakir miskin di
Madinah.” (Imam Ibnu Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, Beirut: Dar al-Ihya’ li
al-Turats, 1988, juz 2, h. 133)
****
Nama lengkapnya adalah Ali bin Husein bin Ali
bin Abi Thalib bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdi Manaf. Ia merupakan cicit
Rasulullah dari Sayyidah Fatimah. Ia satu-satunya anak laki-laki Sayyidina
Husein yang selamat. Ketika pembantaian Karbala terjadi, ia masih berusia tiga
belas tahun. Ia tidak dibunuh karena sedang sakit (yauma’idzin mauku’an falam
yuqâtal). Banyak generasi salaf yang mengambil hadits darinya seperti Abu
Salamah dan Thawus. (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubalâ’, Beirut: Muassasah
al-Risalah, 2001, juz 4, h. 387-388)
Para ulama salaf sangat menghormatinya.
Mereka memuji kualitas diri dan keilmuannya. Imam al-Zuhri (50-124 H)
mengatakan, “mâ ra’aytu quraisyan afdlal min ‘Ali bin al-Husein” (aku tidak
melihat orang Quraisy yang lebih baik dari Ali bin al-Husein). Maksudnya suku
Quraisy di masa Imam al-Zuhri hidup, bukan suku Quraisy dari masa sebelumnya.
Imam Malik bin Anas (93-179 H) berkata, “lam yakun fi ahlil bait mitsluh”
(tidak ada di kalangan ahlul bait yang sepertinya). Imam al-Zuhri di waktu lain
berkata, “wa mâ ra’aytu ahadan kâna afqah minhu” (aku tidak melihat seorang pun
yang lebih paham [agama] darinya) (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubalâ’,
2001, juz 4, h. 387-390)
Membaca riwayat di atas, aktivitas “memberi”
Sayyidina Ali Zainal Abidin (38-95 H) dilakukan di setiap malam. Hal ini bisa
dipahami dalam dua sudut pandang. Pertama, karena ia tidak ingin kebaikannya
diketahui banyak orang, dan kedua, untuk merahasiakan orang-orang yang diberi
olehnya. Karena memberi di depan umum terkadang membuat perasaan yang diberi
tidak nyaman.
Dalam banyak riwayat, Sayyidina Ali Zainal
Abidin selalu merahasiakan pemberiannya, bahkan orang yang diberi pun tidak
mengetahui siapa yang memberinya. Setelah kewafatannya, banyak kabar yang
menyebar tentangnya di Madinah. Mereka saling berkata:
ما
فقدنا صدقة السر حتى مات علي بن الحسين “
Kami tidak kehilangan sedekah rahasia
(sembunyi-sembunyi) hingga Ali bin al-Husain wafat.” (Imam Ibnu Katsir,
al-Bidâyah wa al-Nihâyah, 1988, juz 2, h. 133)
Artinya, banyak penduduk Madinah yang pernah
mendapatkan sedekah rahasia dari Sayyidina Ali Zainal Abidin. Tiba-tiba barang
atau uang yang dibutuhkan berada di depan rumahnya. Awalnya mereka tidak tahu,
siapa yang memberikan itu. Tapi setelah Sayyidina Ali Zainal Abidin wafat,
mereka tak pernah lagi menerima sedekah rahasia. Akhirnya mereka tahu bahwa
Sayyidina Ali Zainal Abidin lah yang selama ini memenuhi kebutuhan mereka.
Bekas hitam di punggungnya adalah bukti
kegemarannya merahasiakan sedekah. Ia tidak mau menyuruh murid atau pembantunya
untuk mengantarkan sedekahnya. Ia meminggulnya sendiri dan mengantarnya ke
rumah orang yang membutuhkan. Artinya, ia sedang berusaha merahasiakan
aktivitas malamnya dari keluarga, teman, murid dan para pembantunya. Namun,
karena aktivitas bersedekah itu dilakukan hampir setiap hari, lama-kelamaan
mereka mengetahuinya. Sebelumnya banyak yang menuduhnya bakhil, termasuk
keluarganya sendiri. Dalam sebuah riwayat dikatakan:
وقال
شيبة بن نعامة: لما مات علي وجدوه يعول مائة أهل بيت, قلت: لهذا كان يبخل، فإنه
ينفق سرا ويظن أهله أنه يجمع الدراهم
“Syaibah bin Nu’amah berkata: ‘Ketika Ali
(Zainal Abidin) wafat, yang berduka (sekitar) seratus ahlu baitnya
(keluarganya).’ Aku berkata: ‘Ini terjadi karena ia (dianggap) kikir.’ Meski
sesungguhnya ia menafkahkan (hartanya) secara sembunyi-sembunyi (rahasia), dan
(bahkan) keluarganya (sendiri) menyangka ia mengumpulkan dirham-dirhamnya
(uangnya).” (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubalâ’, 2001, juz 4, h. 395)
Sayyidina Ali Zainal Abidin tidak
mempedulikan pandangan manusia. Andaipun seluruh dunia menuduhnya kikir, ia
tidak peduli. Hanya orang-orang di sekitarnya yang mengetahui cara hidupnya
yang sesungguhnya, meski awalnya mereka tidak tahu, tapi karena kemurahan hati
dan kedermawanan sudah melekat dengan dirinya, perlahan-lahan mereka
mengetahuinya juga. Dari murid-muridnya inilah riwayat tentang kehidupannya
bertahan hingga sekarang. Dalam sebuah riwayat, ia menjelaskan salah satu
alasan perbuatannya:
عن
أبي حمزة الثمالي، أن علي بن الحسين كان يحمل الخبز بالليل على ظهره يتبع به
المساكين في الظلمة، ويقول: إن الصدقة في سواد الليل تطفئ غضب الرب “
Dari Abu Hamzah al-Tsumali, ‘sesungguhnya Ali
bin al-Husein memanggul (sekarung) roti di malam hari di punggungnya (sambil)
mencari orang-orang miskin dalam kegelapan.’ Ia berkata: “sesungguhnya sedekah
dalam gelapnya malam dapat meredakan kemarahan Tuhan.” (Imam al-Dzahabi, Siyar
A’lam al-Nubalâ’, 2001, juz 4, h. 394)
Sebagai cicit Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wassalam, Sayyidina Ali Zainal Abidin mewarisi kedermawanan moyangnya. Ia tidak
merasa berat memberikan seluruh hartanya untuk orang-orang yang membutuhkan.
Baginya, kedermawanan laiknya kebutuhan primer, tak ubahnya makan dan minum.
Sehari saja tanpa memberi, ia merasa lapar.
Membaca sedikit dari sekian banyak riwayat
keluhuran pekerti, kemurahan hati, dan kedemawanan Sayyidina Ali Zainal Abidin,
kita seharusnya mulai mengubah diri, dan menganggap perbuatan baik sebagai
kebutuhan primer, bukan sekunder apalagi tersier. Jika kita bisa menganggap
perbuatan baik sebagai kebutuhan primer, kita akan selalu haus menjadi
bermanfaat di setiap waktu. Jika pun susah, paling tidak, kisah di atas sedikit
menggugah hati kita. Itu sudah cukup baik untuk permulaan. Pertanyaannya,
kapankah kita akan memulainya? Wallahu a’lam bish-shawwab. []
Muhammad Afiq Zahara, alumni PP.
Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar