Jumat, 01 November 2019

(Khotbah of the Day) Agar Tak Gampang Menvonis Sesat Orang Lain


KHUTBAH JUMAT
Agar Tak Gampang Menvonis Sesat Orang Lain

Khutbah I

اَلْحَمْدُ لله، اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ اَوْضَحَ لَنَا سَبِيْلَ الرَّشَادْ، اَشْهَدُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ رَبُّ الْاَرَضِيْنَ وَالسَّمَوَاتِ، وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا محمدا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ خَيْرُ الْعِبَادِ. اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ وَتَرَحَّمْ وَتَحَنَّنْ عَلَى سَيِّدِنَا محمد، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَى يَوْمِ الْمَعَادِ.

اَمَّا بَعْد فَيَا اَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ. اُوْصِيْنِيْ نَفْسِيْ وَاِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.

قال الله تعالى في كتابه الكريم، فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Hadirin, jamaah Jumat hafidhakumullah,

Kami berwasiat untuk pribadi kami sendiri dan pada hadirin sekalian. Marilah kita senantiasa meningkatkan takwa kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan cara selalu berusaha melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.

Hadirin hafidhakumullah,

Ciri utama yang dimiliki para rasul Allah ada empat, yaitu shiddiq (jujur), amanah (amanah), tabligh (menyampaikan firman Allah), dan fathanah (cerdas). Tabligh artinya menyampaikan. Hanya para rasul yang memiliki tugas ini. Sementara para nabi, meski ma’shum (terbebas dari dosa), ia tak ada kewajiban menyampaikan firman Allah. Artinya, setiap rasul sudah pasti nabi, sedangkan tak semua nabi adalah rasul.

Selain mempunyai tugas menyampaikan atau tabligh, seorang rasul harus cerdas (fathanah). Sehingga, sepanjang sejarah rasul tidak ada seorang rasul pun yang sampai kalah saat adu argumen dengan musuh perihal ajaran dari Allah subhanahu wa ta’ala. Jadi unsur fathanah ini sangat penting dalam beragama.

Di dalam Al-Qur’an sering kali Allah menanyakan:

اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ

"Apakah kalian ini tidak berakal?"

اَفَلَا تَتَفَكَّرُوْنَ

"Apakah kalian ini tidak mikir?"

Kita sebagai umat Islam harus selalu meningkatkan kemampuan-kemampuan dan kecerdasan kita dengan cara terus belajar, belajar, dan belajar terhadap ilmu-ilmu yang kita butuhkan di bawah bimbingan guru yang tepat. Dengan hidup di bawah panduan ilmu dan kesesuaian sikap (amal shalih), Allah akan mengangkat derajat kita. Allah berfirman:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ

Artinya: “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman dari kalian dan orang-orang yang diberikan ilmu banyak derajat” (QS Al-Mujadilah: 11).

Begitulah pentingnya ilmu sebagai penyangga keagamaan seseorang. Untuk mencapai derajat yang tinggi, beramal shalih saja belum cukup, tapi harus juga mempunyai ilmu yang cukup. Bagaimana jadinya jika ada orang yang shalatnya kelihatan khusyu’, sambil menangis, tapi setelah selesai shalat dia bertransaksi riba. Dia makan anjing, memakan swike katak, makan daging ular, atau hal-hal lain yang diharamkan agama sebab ketidaktahuan mereka?

Dengan demikian, khusyu’ saja tanpa mengetahui mana halal dan mana haram, akan ada banyak kesalahan yang dilakukan tanpa dia sadari.

Contoh yang lain lagi adalah, ada orang ingin membantu umat Muslim yang lain dengan cara memposisikan diri sebagai amil zakat. Menjadi relawan amil zakat itu tentu bagus. Tapi ketika ia tidak mempunyai ilmu tentang zakat yang cukup, zakat bisa saja disalurkan kepada orang-orang yang tidak berhak. Dampak buruknya pun merembet ke masyarakat. Oleh karena itu, bersemangat saja dalam beragama tidak cukup. Perlu bekal ilmu untuk mengejawantahkan semangat itu. Semangat beragama itu penting, tapi jangan sampai semangat agama seseorang melebihi kapasitas keilmuannya.

Syekh al-Imam Burhanuddin melantunkan sebuah syair:

فَسَادٌ كَبِيرٌ عَالِمٌ مُتَهَتِّكٌ

"Sebuah malapetaka jika ada orang alim (cerdikiawan) yang rusak."

وَأَكْبَرُ مِنْهُ جَاهِلٌ مُتَنَسِّكُ

"Namun lebih kacau lagi jika ada orang bodoh menjalankan ibadah."

هُمَا فِتْنَةٌ فِي الْعَالَمِينَ عَظِيمَةٌ

"Kedua tragedi di atas merupakan tragedi yang sangat besar di seluruh alam."

لِمَنْ بِهِمَا فِي دِينِهِ يَتَمَسَّكُ

"Bagi orang yang berpegang teguh kepada agama."

Ma’asyiral hadhirin hafidhakumullah,

Ilmu akan membimbing seseorang pada semua gerak dan diamnya. Setiap aktivitas, pembicaraan, dan sikapnya merupakan cerminan dari dari landasan ilmu yang dimiliki. Dengan ilmu yang cukup, seseorang tidak akan mudah memvonis salah atau bahkan memvonis kafir atau sesat kepada orang lain dari mereka yang ahli Lâ ilâha illallâh.

Sebagian ulama salaf mengatakan

مَنْ كَثُرَ عِلْمُهُ، قَلَّ اِنْكَارُهُ عَلَى النَّاسِ

Artinya: “Barangsiapa yang banyak ilmunya, perasaan tidak cocoknya kepada masyarakat sedikit.”

Kondisi bermasyarakat tentu sangat beragam. Kemampuan dan kapasitas ilmu mereka tak merata. Hal ini juga berdampak pada perbedaan mereka dalam menyikapi suatu hal di sekitarnya. Kendatipun Allah menganugerahkan bekal otak yang sama, nyatanya pemikiran-pemikiran yang keluar dari masing-masing mereka bisa berbeda-beda. Kita tidak bisa menuntut semua orang mempunyai perilaku sama dengan kita persis. Kita juga tidak bisa terlalu idealis, berharap semua umat manusia tidak akan ada yang pernah melakukan kesalahan.

Imam Dzun Nun al-Mishri mengatakan:

لَا خَيْرَ فِيْ صُحْبَةِ مَنْ لَا يُحِبُّ أَنْ يَرَاكَ إِلَّا مَعْصُوْماً

Artinya: “Jangan kamu berteman dengan orang yang maunya hanya memandangmu sebagai orang terjaga dari dosa.”

Saat kita berteman dengan orang yang selalu mengharapkan kita sebagai orang perfect (sempurna), kita akan menjadi orang yang mudah ditinggalkan dan disepelekan. Melakukan kesalahan sedikit saja kita bisa dicela habis-habisan. Di sinilah pentingnya orang memandang satu masalah dengan keilmuan yang cukup. Bodoh itu berbahaya.

Pada masa khulafaur rasyidin, terdapat orang-orang yang terlalu bersemangat dan khusyu’ beribadah, hafal al-Qur’an namun tidak mempunyai landasan agama cukup. Akhirnya mereka selalu mengukur kebaikan sesuai dengan persepsi mereka. Kelompok ini memandang, siapa saja yang tidak sesuai dengan pemahaman agama mereka, berarti mereka sudah berbeda dengan apa yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya. Mereka dikena sebagai kaum khawarij.

Kaum khawarij adalah orang yang tidak siap memandang sifat basyariyah (watak kemanusiaan) yang dimiliki oleh Sayyidina Utsman. Utsman mengangkat pejabat dari kerabatnya sendiri lalu didemo, dan pada akhirnya mereka membunuh Utsman bin Affan karena dianggap tidak becus mimpin umat.

Sayyidina Ali juga disalahkan. Walaupun ia menantu Nabi, Ali dianggap tidak bisa memimpin. Akhirnya dibunuh. Begitu pula Muawiyah juga dianggap salah karena diaggap bukan keturunan Nabi berani memimpin umat. Amr bin Ash juga disalahkan. Pokoknya semua salah di mata kaum khawarij.

Yang mempunyai gerakan disalahkan kau khawarij sebab dianggap gerakannya tidak sesuai Nabi. Orang yang diam juga dianggap salah karena dianggap tidak punya gerakan. Di mata kaum khawarij, semua menjadi salah.

Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Yusair bin Amr yang pernah bertanya kepada Sahl bin Hunaif:

هَلْ سَمِعْتَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: فِي الخَوَارِجِ شَيْئًا؟

Apakah anda pernah mendengar Nabi menjelaskan tentang Khawarij?

قَالَ: سَمِعْتُهُ يَقُولُ، وَأَهْوَى بِيَدِهِ قِبَلَ العِرَاقِ: «يَخْرُجُ مِنْهُ قَوْمٌ يَقْرَءُونَ القُرْآنَ، لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ، يَمْرُقُونَ مِنَ الإِسْلاَمِ مُرُوقَ السَّهْمِ مِنَ الرَّمِيَّةِ»

Sahl menjawab “Iya, saya pernah mendengarnya. Dan saya melihat tangan Nabi menunjuk ke sudut arah Irak seraya berkata ‘Dari sana akan keluar kelompok masyarakat yang membaca Al-Qur’an, bacaannya tidak melewati kerongkongannya. Ia melepaskan dari Islam sebagaimana anak panah lepas dari busurnya. (HR Bukhari: 6934)

Dalam riwayat Muslim, Nabi memberikan ciri-ciri:

سِيمَاهُمْ التَّحَالُقُ قَالَ: «هُمْ شَرُّ الْخَلْقِ - أَوْ مِنْ أَشَرِّ الْخَلْقِ

"Ciri-ciri mereka rambutnya dipotong. Lalu Nabi mengatakan, mereka adalah makhluk yang palingn buruk."

Hadhirin hafidhakumullah

Dalam hidup bermasyarakat, kita harus membangun kecerdasan intelektual. Kefahaman tentang agama ini sangat penting mengacu kepada pentingnya sifat fathanah (cerdas) pada sifat Rasul sehingga dengan begitu, kita sebagai umat Islam tidak mudah dibodohi, diadudomba dengan kelompok-kelompok lain.

Kata Sayyidina Umar, menyikapi orang khawarij yang gemar menyalahkan siapa saja yang tidak sejalan, beliau sifati dengan

عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ

"Orangnya suka beramal tapi merepotkan."

Mereka tidak mau menerima fitrahnya manusia yaitu mahallul khatha’ wan nisyân, tempatnya salah dan lupa. Sukarno kelirunya di sini, Suharto di sini, Gus Dur di sini, BJ Habibi salahnya di sini. Indonesia thaghut, kelemahannya di sini. Semua kesalahan orang mu’min tampak di mata dia tapi dia tidak pernah menyalahkan setan, iblis, pencuri, pemabuk, prostitusi online dan lain sebagainya termasuk dirinya sendiri. Jadi mereka lebih fasih menuduh kesesatan kepada orang baik yang kontribusinya banyak kepada umat Islam namun ada celah sedikit, daripada membuka suara kepada hal-hal yang jelas-jelas salah. Ini adalah perilaku khawarij.

Allah subhanahu wa ta’ala tidak memvonis siapa saja yang melakukan kesalahan pasti masuk neraka selamanya. Karena Allah maha Pengampun:

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا

Artinya: “Katakan (Wahai Muhammad), hai para hamba-Ku yang berlebihan terhadap pribadi mereka, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa, semuanya” (QS Az-Zumar: 53).

Dalam sebuah hadits qudsi, Allah mengatakan:

حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَحَرَّمْتُهُ عَلَى عِبَادِي فَلَا تَظَالَمُوا،

"Aku mengharamkan dzalim kepada Dzat-Ku. Dan Aku haramkan kedzaliman kepada pada hamba-Ku. Maka janganlah kalian bertindak dzalim."

كُلُّ بَنِي آدَمَ يُخْطِيءُ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ثُمَّ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ وَلَا أُبَالِي

"Setiap anak turun Adam akan melakukan kesalahan baik di malam maupun siang. Kemudian dia meminta ampun kepada-Ku, Aku akan mengampuni dia dan saya tidak peduli (jenis apa dosanya)" (Musnad Abi Dawud).

Dengan demikian kita tidak boleh memandang setiap pelaku maksiat pasti masuk neraka, tidak ada celah pintu masuk neraka. Rahmatnya Allah sungguh besar. Maksiat seorang hamba itu sangat kecil dibanding rahmat Allah subhanahu wa ta’ala.

Begitu pula dalam bernegara, kita sebagai umat muslim Indonesia, dalam memandang negara ini seharusnya kita pandang lebih banyak kelebihannya daripada kekurangannya. Buktinya, segala bentuk amal ibadah termasuk shalat jumat di mana-mana bebas dilaksanakan dan tidak ada larangan. Maka kita harus berterima kasih terhadap hal itu meskipun ada sedikit kekurangannya di sebagian sektor.

Hadirin..

Marilah kita berdoa bersama, semoga kita diberikan kehidupan yang rukun, damai, sejahtera, bisa menjalankan ibadah dengan khusyu’ tanpa mendapatkan teror dari saudara muslim kita sendiri. Semoga kelak kita meninggal dalam keadaan husnul khatimah, amin Allahumma amin.

ارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَجَعَلَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاِت وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. إِنَّهُ هُوَ البَرُّ التَّوَّابُ الرَّؤُوْفُ الرَّحِيْمُ. أعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجِيْم، بسم الله الرحمن الرحيم، وَالْعَصْرِ (١) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (٢) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (٣) ـ وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرّاحِمِيْنَ ـ

Khutbah II

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِي إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا

أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ الْمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ، اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ الْمُوَحِّدِينْ، وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَائَكَ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَأَعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَسُوْءَ اْلفِتَنِ وَاْلمِحَنِ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خَآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَالْمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ


Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Qur’an an-Nasimiyyah, Semarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar