Visi
Indonesia Raya II
Oleh:
Yudi Latif
DITANYA
ihwal impian mata hatinya tentang bangsa ini, Megawati Soekarnoputri dengan
berlinang air mata berujar lirih, ”Indonesia Raya.” Apakah ungkapan itu
terlontar secara kebetulan atau terpancar dari kedalaman penghayatan, kandungan
maknanya amat dalam.
Indonesia
Raya adalah suatu visi pembebasan bangsa dengan akar kesejarahan panjang.
Mulanya adalah pembentukan Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa
Belanda yang disponsori pemerintah kolonial. Sebagai tandingan, salah seorang
pemimpin Indische Partij (IP), Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara),
membentuk Komite Bumiputera pada November 1913.
Komite
Bumiputera melancarkan kritik terhadap rencana perayaan kemerdekaan Belanda
dari penjajahan Perancis yang secara ironis hendak menarik uang dari rakyat
jajahan (bangsa Indonesia) untuk membiayai pesta perayaan tersebut. Kritik
Soewardi dikemukakan melalui tulisannya yang terkenal berjudul Als Ik Eens
Nederlander Was (”Seandainya Aku Seorang Belanda”) dan Een voor Allen maar Ook
Allen voor Een (”Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga”).
Dalam
tulisan ”Seandainya Aku Seorang Belanda”, yang dimuat dalam surat kabar de
Express milik Douwes Dekker, Soewardi mengemukakan satirnya: ”Sekiranya aku
seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di
negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan
pikiran itu, bukan saja tidak adil, melainkan juga tidak pantas menyuruh si
inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggarakan
perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula
kantongnya.
Ayo
teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang
menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa
bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri
tidak ada kepentingannya sedikit pun.”
Kritik
tajam Soewardi ini membuatnya bersama dua pemimpin IP lainnya, Douwes Dekker
dan Tjipto Mangoenkoesoemo, harus menerima hukuman pembuangan ke Belanda. Dalam
perjalanan menuju negara itu, Soewardi singgah di India pada 14 September 1913.
Dari sana, ia sempat mengirimkan kado ulang tahun kepada istrinya berupa surat
yang juga ditujukan kepada teman-teman seperjuangan di Tanah Air. Bunyi surat
itu, antara lain, ”Apabila pemerintah kolonial memperingati kemerdekaannya,
kita akan sadar bahwa kita belum mempunyai identitas sebagai bangsa, kita belum
mempunyai lagu kebangsaan dan bersiaplah karena waktu perayaan kemerdekaan kita
akan datang juga”.
Pesan
Soewardi dalam surat itulah yang konon mengilhami Wage Rudolf Soepratman untuk
menciptakan lagu ”Indonesia Raya”. Di kemudian hari, Ki Hadjar ditunjuk
Presiden Soekarno sebagai Ketua Tim Penyempurnaan Lagu Indonesia Raya. Untuk
pertama kalinya, lagu kebangsaan itu diperdengarkan di depan khalayak pada
peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Impian Indonesia Raya yang berdegup
dalam jantung lagu ini menjadi mahkota dari pengikatan bersama komitmen
kebangsaan dari berbagai identitas kolektif (etnis, agama, kelas, dan jender)
yang pada akhirnya berhasil mengantarkan bangsa Indonesia ke pintu gerbang
kemerdekaannya.
Sejarah
membuktikan suatu visi perjuangan yang keluar dari mata hati yang jujur
memiliki kakinya tersendiri untuk bergerak memenuhi impian. Visi Indonesia Raya
I, yang diimpikan sejak generasi Soewardi, telah berhasil mengobarkan
”nasionalisme defensif” dalam rangka ”revolusi politik” (nasional) untuk
mengenyahkan kolonialisme dan melahirkan satu Negara Republik Indonesia.
Kendati
demikian, impian Indonesia Raya masih jauh dari tuntas. Seperti kata Isiah
Berlin, ”Manusia tidaklah hidup sekadar untuk memerangi keburukan. Mereka hidup
dengan tujuan yang positif, untuk menghadirkan kebaikan.” Setelah revolusi
politik mengusir penjajahan, tugas selanjutnya mengobarkan revolusi sosial
untuk meraih cita-cita keadilan dan kemakmuran sebagai tujuan akhir revolusi Indonesia.
Untuk
itu, perlu diluncurkan visi Indonesia Raya II yang semangatnya tidak sekadar
bersandar pada apa yang bisa dilawan, tetapi juga pada apa yang bisa dibangun.
Kita perlu mengobarkan nasionalisme yang lebih ”positif-progresif” untuk
mengolah potensi besar yang kita miliki, seperti pesan lagu ”Indonesia Raya”:
”bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!” Proyek historisnya tidak hanya
mempertahankan, tetapi juga memperbaiki keadaan negeri.
Visi
Indonesia Raya II ini mendesak dikobarkan menjelang 100 tahun Indonesia
merdeka. Apa yang telah kita capai sejauh ini masih jauh dari harapan
kemerdekaan, tetapi telah dibayar mahal dengan kehilangan dan kerusakan yang
begitu banyak. Kita berkejaran dengan waktu untuk mendekati impian Indonesia
Raya sebelum bangsa ini terancam karam. Tetes tangis Megawati mewakili perasaan
ratusan juta rakyat jelata, sebagaimana terlukis dalam lagu ”Ibu Pertiwi”, yang
diciptakan seorang tak terkenal, Kamsidi Samduddin, sekitar dekade
1950-an/1960-an: ”Kulihat ibu pertiwi/Sedang bersusah hati/Air matamu
berlinang/Mas intanmu terkenang/Hutan gunung sawah lautan/Simpanan
kekayaan/Kini ibu sedang susah/Merintih dan berdoa”.
Semoga,
tetes tangis dari anak ”Putra Sang Fajar” dapat mengobarkan semangat
patriotisme progresif kaum muda, dengan kesiapan meneruskan perjuangan, seperti
diungkapkan pada bait kedua lagu tersebut: ”Kulihat ibu pertiwi/Kami datang
berbakti/Lihatlah putra-putrimu/Menggembirakan ibu/Ibu kami tetap cinta/Putramu
yang setia/Menjaga harta pusaka/Untuk nusa dan bangsa”. []
KOMPAS,
11 Februari 2014
Yudi Latif ; Pemikir Kebangsaan dan
Kenegaraan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar