Omong
Kosong
Oleh:
Mohamad Sobary
“Di
mana-mana rakyat tertipu proyek omong kosong.”
Orang
Jawa punya konsep tata ruang yang berbau magis dan sakral, “kosong, tapi isi”.
Kelihatannya memang seperti sekadar gurauan dan main-main, tapi orang tahu,
“kosong, tapi isi ini” berhubungan dengan yang duniawi dan yang adikodrati,
yang fana dan yang kekal serta abadi, yang “di sini” dan yang “di sana”, dengan
segenap yang “kini “ maupun “yang akan datang”.
“Kosong,
tapi isi” pendeknya mencerminkan kematangan cara pandang dan perencanaan yang
matang dan final.
Alun-alun
keraton jelas merupakan ruang terbuka. Namanya juga alun-alun, itu adalah wujud
tanah kosong.
Itu salah
satu contoh terbaik mengambarkan makna “kosong, tapi isi” tadi.
“Kosong, tapi isi” merupakan ruang yang sudah mempunyai isi, tetapi tampaknya
kosong. Isi tidak harus tampak ragawi. Isi tak harus bernilai rupiah. Isi akan
tampak bila punya pengertian mengenai fungsi.
Zaman
sekarang, konsep “kosong, tapi isi” dianggap omong kosong: percuma, sia-sia,
tidak produktif, tidak efisien, dungu, menjunjung tinggi klenik dan mitos,
serta segenap pemikiran maupun tindakan yang tidak rasional, tanpa kalkulasi,
tanpa orientasi untung rugi.
Jadi, di
mana-mana para pengembang selalu sensitif memberi arti masa depan bagi suatu
lokasi. Daerah yang terbelakang, jauh dari pusat kemajuan, dan seperti tak ada
harapan, para pengembang bisa membaca dengan tepat bahwa di masa depan wilayah
ini akan menjadi kompleks hunian, sekaligus pusat dagang yang maju. Mereka pun
siap menanam investasi besar-besaran.
Para
pengembang, yang hanya tahu tanah kosong harus diisi bangunan dan bahwa yang
kosong itu barang percuma, tersia-sia, dan tidak produktif, seperti disebut di
atas, selalu sigap mengisinya dengan bangunan. Tata ruang tak diindahkan.
Estetika dihancurkan. Ruang terbuka sebagai sumber udara bersih dan daya
penampung air agar tidak banjir dianggap tidak punya arti sama sekali.
Banyak
pengambang dan arsitek yang tak memiliki konsep tata ruang yang komprehensif,
yang siap mengakomodasi dan menghormati makna “kosong, tapi isi” tadi. Para
pengembang siap dengan lahap menelan kali, danau, kuburan, sekolahan, sekaligus
masjid atau rumah suci lainnya. Itu untuk diperdagangkan.
Tata
ruang hancur luluh berantakan tak dipedulikannya. Kota kehilangan estetika dan
kenyamanan bagi penghuninya tak menjadi masalah. Mereka bicara efisiensi yang
tidak efisien sama sekali. Mereka bicara keutungan besar hari ini dan siap mati
terkubur bangunannya di hari esok.
Tak
adanya konsep “kosong, tapi isi” membuat tiap-tiap kota di negeri kita
penuh jajaran beton kokoh, kuat, tapi kaku, dingin dan beku.
Kota, di
mana-mana, kehilangan keceriaan, tawaran daya hidup yang penuh energi, dan
tidak lagi segar, tidak lagi punya pesona. Kota, di mana-mana berisi warung,
toko, supermarket, mal,dan dibanggakan sebagai simbol modern.
Di banyak tempat disebut center of business district.
Siapa
berani mengajukan proposal ke keraton-keraton untuk membangun mal di alun-alun?
Siapa berani bermaksud mengisi “ruang kosong yang sudah punya isi” itu? Siapa
berani menganggap alun-alun hanya tanah kosong yang dibiarkan percuma, sia-sia,
tidak efisien, dan tidak produktif?
Mengapa
para pengembang menahan keserakahan untuk tidak
berusaha menelan alun-alun menjadi bangunan yang kelihatannya menghidupi ekonomi
rakyat, tapi sebenarnyamembunuh mereka?
Di banyak
lapangan bola, taman, dan pasar-pasar tradisional dilahap para pengembang atas izin bupati atau wali kota setempat. Di
mana-mana para calon bupati dan calon wali kota, dalam kampanye mereka,
berteriak hendak membangun dan mengubah daerah mereka menjadi modern.
“Kalau
saya menjadi bupati atau wali kota, kubangun mal di sini, lambang modernitas
bagi daerah kita. Pasar tradisional yang yang kumuh dan becek bakal kusulap
menjadi pusat belanja serbaada, serbamodern, tempat warga di sini bisa membeli
apa pun yang mereka butuhkan.”
Kita
percaya pada kampanye yang intinya omong kosong itu. Menjual pasar tradisional
untuk diubah menjadi mal atau pusat belanja modern, berarti membunuh kesempatan
dagang warga masyarakat yang selama ini hidup dari pasar tradisional. Itu
mematikan sumber ekonomi rakyat, tapi dianggap kemajuan dan tanda modern. Apa
ini bukan omong kosong?
Pusat
belanja, pusat dagang, mal-mal, dan toko-toko gemerlap dengan modal besar
memang menggiurkan dan memberi tanda, seolah-olah daerah itu modern. Siapa
pemilik pusat-pusat belanja itu? Pedagang setempat? Warga masyarakat ekonomi
lemah yang ditampung di dalamnya?
Pemiliknya
orang lain, yang tinggal di kota yang jauh dan keutungan bisnis itu mereka yang
menguasainya. Ekonomi kelihatannya tumbuh di daerah itu. Tapi, siapa yang
menikmati pertumbuhan? Di sana memang menjadi pusat peredaran uang, tapi uang
siapa yang beredar itu. Kita tahu, bukan petani dan pedagang setempat yang
punya.
Kerja sama
pedagang besar dari tempat yang jauh dengan penguasa lokal yang omong kosong
seperti ini sudah berlangsung lama. Tapi, omong kosong, yang betul-betu kosong
tanpa isi, tanpa makna, ini tetap dilanjutkan. Penguasa setempat menjual pasar,
masjid dan rumah suci lain, taman dan lapangan bola, kuburan dan kali, demi
kemajuankah?
Apanya
yang maju? Ini proyek omong kosong. Di mana-mana rakyat tertipu proyek omong
kosong. Di mana-mana penguasa setempat serakah, manipulatif, dan omong kosong. Anehnya, orang percaya pada omong
kosong. Kita doyan omong kosong. []
SINAR
HARAPAN, 12 Februari 2014
Mohamad
Sobary ; Budayawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar