Diskusi
tentang Kafir
Oleh: Moh
Mahfud MD
Selasa,
28 Januari 2014, saat bertemu wartawan Richard Susilo di Tokyo, saya ditanya
tentang istilah “kafir” yang saya lontarkan terhadap “siapa pun” yang melanggar
peraturan dan hukum. Apakah tepat mengatakan kafir terhadap orang yang masih
beragama Islam?
Richard Susilo adalah wartawan senior yang sampai sekarang bertempat tinggal di Tokyo sebagai kontributor beberapa media massa kita. “Saya dikatakan melakukan kolusi dan memainkan perkara saat jadi hakim. Saya bilang, siapa pun dia adalah kafir,” jawab saya. Saya tegaskan, banyak orang mengartikan kafir sebatas sebutan terhadap orang yang tidak beragama Islam. Padahal arti kafir yang sebenarnya adalah tidak tunduk terhadap kebenaran, suka melanggar aturan, termasuk melanggar hak dan martabat orang lain tanpa dasar.
Tak ada yang membantah bahwa kafir itu bukan hanya tidak memeluk agama tertentu, melainkan tidak tunduk terhadap kebenaran universal yang difirmankan Tuhan. Kafir itu, arti lughawi-nya, adalah ingkar atau menolak dan melawan; sedangkan arti ishthilakhi-nya adalah ingkar atau menolak dan melawan perintah untuk menganut dan menegakkan kebenaran. Dalam skala yang umum, melanggar peraturan atau hukum misalnya membunuh orang, merampok, memperdagangkan narkoba, dan menyebarkan berita tak berdasar yang merugikan nama orang lain, hal itu juga, termasuk dalam lingkup kekafiran.
Mengapa? Ya, karena menolak atau melawan terhadap perintah menegakkan kebenaran. Siapa pun, beragama apa pun, kalau melanggar hak dan martabat secara melawan hukum dan kebenaran, adalah kafir. Itulah sebabnya, orang yang masih resmi beragama Islam, tetapi tidak mengikuti hukum-hukumnya adalah kafir. Di dalam Alquran (QS Al- Maidah: 44) misalnya ditegaskan, “Barang siapa yang tidak berhukum terhadap apa-apa yang diperintahkan Allah, mereka termasuk golongan kafir”.
Tak ada yang membantah, kafir dalam ayat ini bukan hanya tertuju bagi orang yang tak beragama Islam, tetapi juga bagi siapa pun yang melanggar perintah Tuhan untuk berlaku benar seperti tidak memfitnah atau membuat berita-berita yang tidak berdasar. Itulah sebabnya berbagai negara muslim yang tidak memberlakukan hukum fikih tertentu, asal membuat hukum-hukum yang mengikuti perkembangan waktu (zamaan), tempat (amkaan), dan adat (awaa’id) tidak disebut kafir.
Yang kafir justru orang yang suka melanggar peraturan-peraturan umum dan nilai-nilai moral. Penghalusan pernah dikemukakan oleh Ibn Qoyyim dengan menyebut istilah kufur yang melahirkan berbagai anak cabang istilah seperti kufur dzimmah, kufur nikmah, dan sebagainya. Di negara Pancasila seperti Indonesia istilah kafir memang tak perlu dialamatkan kepada orang yang tidak beragama Islam, tapi juga harus ditujukan pada siapa pun, Islam dan tidak Islam, yang suka melanggar hukum dan melawan kebenaran universal yang difirmankan Tuhan.
Orang kafir juga orang yang berperilaku seperti binatang ternak yakni yang membutakan hati, mata, dan telinganya dari kebenaran sehingga berlaku dan membuat pernyataan yang tanpa bukti-bukti yang bisa dipertanggungjawabkan. Didalam Alquran (QS Al-A’raaf: 179) disebutkan, “Akan dicampakkan ke neraka jahanam dari banyak jin dan manusia yang punya hati, tetapi tidak digunakan untuk memahami kebenaran, punya mata, tetapi tidak digunakan untuk melihat kebenaran, dan punya telinga, tetapi tidak digunakan untuk mendengar kebenaran. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi.”
“Bung Richard, saya berani mengatakan, orang kafir itu menurut ajaran agama mana pun adalah orang yang ingkar terhadap kebenaran, bukan hanya orang yang tidak memeluk agama tertentu. Rujukannya ada di kitab suci, Hadits Rasul, dan buku-buku fikih al-Siyaasah,”kata saya kepada Richard Susilo di Hotel New Otani, Tokyo itu. Maka itu, siapa pun yang keberatan disebut kafir karena melanggar hukum dan menista martabat orang lain, dia harus membuktikan lebih dulu bahwa dirinya memang tidak melanggar hukum dan tidak melanggar hak dan martabat orang lain.
Kalau dia melakukan pelanggaran hukum serta hak dan kehormatan orang lain secara semena-mena, memang pantas disebut kafir dalam arti ingkar terhadap hukum dan kebenaran. Kalau tak mau disebut begitu, buktikan dulu bahwa apa yang dikatakannya benar. Saya memang sering serbarepot. Selama ini saya sudah berusaha menjaga tegaknya hukum dan menjaga martabat diri dengan cara sangat berhati-hati agar tak melanggar hukum dan martabat orang lain. Dalam berpolitik pun saya selalu menjaga diri agar sejauh mungkin tak menodai nilai-nilai moral dan etika publik.
Repotnya, kadang ada orang yang tanpa ombak dan tanpa angin, tiba-tiba menyerang kehormatan saya, mengatakan saya bermain atau berkolusi dalam satu kasus hukum. Kalau didiamkan, orang akan mengatakan bahwa saya benar berkolusi dan bermain. Kalau dilayani melalui polemik atau debat, saya bisa dibilang terlalu reaktif dan tak proporsional. Banyak yang menyarankan, kalau ada tudingan yang tak benar, tak usah ribut, serahkan saja kepada proses hukum. Itulah saran baik yang saya lakukan. []
KORAN
SINDO, 01 Februari 2014
Moh
Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar