NU, Imlek, dan Indonesia
Oleh: Mamang M. Haerudin
Lebih dari 30-an tahun umat agama Kong Hu Cu
mengalami diskriminasi. Hak mereka untuk bebas beragama dan berkeyakinan
dilarang oleh pemerintah Orde Baru melalui Inpres Nomor 14 Tahun 1967. Perayaan
Imlek (Guo Xin Nian) selain juga Cap Go Meh, Ceng Beng, Sembahyang Rebut, dan
lainnya dianggap sebagai sebuah afinitas budaya pada negeri leluhurnya,
Tiongkok, yang akan mengancam budaya bangsa Indonesia.
Padahal jelas, pada pasal 29 ayat 2 UUD 1945
dinyatakan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.” Atas dasar itu, beruntunglah sosok presiden Abdurrahman Wahid yang biasa
disapa Gus Dur dengan penuh keyakinan mencabut Inpres itu melalui Keppres RI
Nomor 6 Tahun 2000.
Bukan tanpa alasan, Gus Dur paham betul bahwa
masyarakat Indonesia di hadapan Negara adalah sama dan setara kedudukannya. Tak
peduli ia beretnis dan beragama apa. Lebih daripada itu bahwa agama Islam dan
lainnya adalah agama universal. Islam sendiri punya visi rahmatan lil’alamin,
sebagai agama yang bercita-cita mewujudkan tatanan kehidupan berbangsa dan
beragama yang penuh kasih sayang dan harmoni.
Harlah NU dan Imlek
31 Januari merupakan hari lahir (harlah)
Nahdlatul Ulama (NU). Kini, usianya mencapai 88 tahun (1926-2014). Pada harlah
NU tahun ini, juga bertepatan dengan tahun baru Imlek. Dua momen ini betapa
penting. NU sebagai ormas terbesar di Indonesia, mengemban amanat dalam menjaga
harmonisasi umat beragama. Komitmen itulah yang dipegang oleh Gus Dur, sebagai
orang yang pernah menjadi pimpinan tertinggi NU dan presiden RI, untuk memenuhi
hak beragama dan berkeyakinan bagi umat Kong Hu Cu dan umat-umat agama lain
yang rentan mendapat perlakuan diskriminatif.
Sejak berdirinya NU meyakini bahwa bangsa ini
merdeka berkat persatuan dan kesatuan seluruh komponen bangsa, bukan hanya
hasil jerih payah umat agama tertentu saja. Karena itu NU berkomitmen dalam
mengusung kerja-kerja kemanusiaan berdasarkan prinsip yang kukuh dipedomaninya;
tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), tawassuth (moderat) dan ‘itidal (tegak
lurus).
Baik harlah NU maupun tahun baru imlek,
paling tidak kita bisa memaknai bahwa keduanya merupakan pengingat untuk kita,
masyarakat bangsa, untuk kembali pada khitthah ‘Bhinneka Tunggal Ika’ dan
kembali bangkit menjadi bangsa yang bersatu dan maju di bawah payung empat
pilar kebangsaan; Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Kasus-kasus kekerasan dan intoleransi atas
nama apapun, apalagi atas nama agama, tak ada ampun dan sudah seharusnya
dihentikan. Karena kalau tidak, ia akan semakin membahayakan dan berujung pada
radikalisme dan terorisme. Kesadaran itu dapat bermuara pada titik temu yang
satu mana kala kita menyadari bahwa Indonesia menjadi milik bersama, karena itu
sesama masyarakat bangsa perlu menumbuhkan kesadaran moral untuk saling
menghargai dan mengasihi.
Apalagi harlah NU dan Imlek tahun ini,
dirayakan di saat bangsa tengah dikepung oleh berbagai tindak koruptif dan
inkonstitusional. Sudah seharusnya umat beragama, para tokoh dan pemeluknya
bersatu padu untuk membangun sebuah kesadaran moral dan solidaritas kebangsaan
yang kuat, agar nasib dan masa depan bangsa tak tergadaikan. Jangan lagi kita
habiskan energi untuk mengurusi hal-hal parsial tak ada guna, sementara praktik
politik manipulatif dan korupsi lekang dari perhatian kita. Ditambah jelang
hajat demokrasi akbar April 2014 mendatang, sederet problem sosial kemanusiaan
yang lain juga tak berangsur membaik; kemiskinan, pengangguran, kriminalitas,
dan lainnya semakin mewabah secara endemik. Kenyataan ini yang juga semakin
berpeluang untuk dijadikan ajang untuk menarik simpati rakyat.
Merayakan Indonesia
Sebagaimana perayaan tahun baru Islam
(hijriyah) dan tahun baru masehi, tahun baru Imlek merupakan perayaan
masyarakat bangsa. Merayakan Imlek berarti merayakan Indonesia. Sungguh tak
berdasar jika turut bahagia atas kebahagiaan umat agama lain dianggap sebagai
sebuah sikap merusak agama dan keyakinan. Karena justru, agama menjadi spirit
dan perekat untuk membingkai persaudaraan.
Spirit persaudaraan itu senada dengan spirit
perdamaian dan kebangsaan. Spirit ini dapat juga kita ilhami dalam lima ajaran
Konfusius, yakni Jen (kebajikan dari segala kebajikan), Chun-tzu (hubungan
ideal antara sesama manusia), Li (kesopanan), Te (kebajikan atau kekuatan untuk
memerintah), dan Wen (seni perdamaian). Lima ajaran Confucius ini sejatinya
adalah ajaran universal yang juga terdapat pada agama-agama lain, tak
terkecuali Islam.
Mari bersaudara, merajut kembali bhinneka
tunggal ika, setia menjaga NKRI, selamat harlah NU yang ke 88, selamat tahun
baru Imlek, Gong Xi Fat Cai!
Mamang M. Haerudin, Khadimul-Ma’had di
pesantren Raudlatut Tholibin, Babakan-Ciwaringin dan Ketua LP3M STID Al-Biruni
Cirebon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar