Mukjizat Salat Lima Waktu
Oleh: M. Masyhuri Mochtar
“Amal yang pertama kali akan diperhitungkan
mengenai diri seorang hamba kelak pada hari Kiamat ialah salat; Jika salatnya
baik, maka baik pulalah seluruh amalnya, dan jika salatnya rusak, maka rusak
pulalah seluruh amalnya.”
(HR. Tirmidzi dan Ibn Majah)
Dari Hadis ini, agaknya salat merupakan
‘suplemen’ atas keseluruhan ajaran dan tujuan agama, yang di dalamnya termuat
ekstrak atau sari pati semua bahan ajaran dan tujuan keagamaan, sehingga salat
oleh Allah dijadikan barometer untuk ibadah lainnya. Buktinya, salat dijadikan
tolok ukur baik dan tidaknya bermacam-macam kebajikan dan bentuk kegiatan yang
telah ditetapkan oleh Allah; jika salatnya baik, maka baik pulalah segala
amalnya, dan jika salatnya rusak, maka rusak pulalah segala amalnya. Di satu
sisi salat juga menuntut pelakukanya untuk meninggalkan perbuatan keji dan
mungkar. Allah menjelaskan dalam al-Qur’an, “Sesungguhnya salat itu mencegah
dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS al-Ankabut [29]: 45).
Diberlakukannya kewajiban salat lima waktu
mungkin masih menyisakan pertanyaan, apa hikmah yang terkandung di dalamnya?
Mengapa lima waktu harus kerjakan dengan cara dicicil, tidak sekaligus dalam
satu waktu? Pertanyaan itu tentunya harus dijawab meskipun dengan jawaban yang
bersifat rabaan, karena menyangkut hikmah. Namun, baiklah di sini penulis akan
memberikan sedikit gambaran mengenai mengapa umat Islam diwajibkan salat lima
waktu?
Sebelumnya, kita coba untuk mengingat kembali
tujuan dari salat, yang merupakan tindakan intraktif antara hamba dan Tuhannya,
sebagaimana yang digambarkan oleh Rasulullah bahwa salat sebagai mi‘râjul
Mu’minîn. Di satu sisi, sebagai seorang hamba tentunya manusia dituntut untuk
selalu mengingat Allah setiap waktu. Maka di sini Allah menfasilitasi hamba-Nya
untuk menghadap setiap waktu-waktu yang telah ditentukan. Sebab, dengan
melaksanakan salat lima waktu sehari semalam, seorang hamba akan selalu ingat
kepada Tuhannya setiap saat, sehingga hubungan itu terus terjalin. Jika salat
lima waktu hanya dikerjakan satu kali dengan diropel, tentunya lebih banyak
nganggurnya daripada mengingat Allah, sehingga kontinuitas pengaruh ibadah
berupa pertemuan dengan Allah tidak tercapai.
Asy-Sya’rani dalam Mîzânul-Kubrâ-nya
menyatakan, justru dijadikannya salat lima waktu secara berulang-ulang setiap
hari adalah salah satu nikmat yang diberikan oleh Allah. Setiap kali seseorang
melakukan wudhu, maka ia akan mengingat dosa-dosa yang telah diperbuatnya hari
itu, kemudian bersimpuh di hadapan Allah untuk memperoleh ampunan-Nya. Di sisi
lain, saat wudhu, secara khusus seseorang dapat memohon ampunan dari-Nya dari
dosa-dosa yang telah diperbuat melalui doa-doa yang diajarkan. Kemudian
dilanjutkan dengan salat secara intens dan berharap ampunan-Nya, maka
dosa-dosanya akan rontok satu persatu setelah mendapat ampunan dari Allah.
Mungkin kenyataan seperti ini kelihatannya konyol, namun orang-orang yang
diberi kemampuan lebih oleh Allah (al-Kasyfu) pasti akan melihat rontoknya
dosa-dosa seorang hamba yang melakukan ibadah. Dan, merupakan nikmat dan rahmat
dari Allah agar manusia tidak selalu menumpuk-menumpuk dosa.
Imam Bujairami mengakui bahwa ketentuan lima
waktu dalam sehari semalam sifatnya ta‘abbudiy (peribadatan) yang tidak perlu
dicari alasan rasionalitasnya, karena ini bukan bidang nalar. Namun, menurut
sebagian ulama hikmah, di balik ketentuan lima waktu ini ada kaitannya dengan
siklus kehidupan manusia. Sebab, kelahiran manusia yang diawali oleh
kesempurnaan penciptaan Allah sewaktu di dalam perut ibunya, seperti halnya
watu matahari terbit, yang diawali oleh fajar shadiq (waktu salat Subuh). Masa
pertumbuhannya diibaratkan matahari yang meninggi, dan dewasanya ibarat waktu
istiwak (awal waktu salat Zhuhur). Sedangkan ketika berumur 30-50, diibaratkan
matahari yang condong ke ufuk barat (akhir waktu salat Zhuhur). Dilanjutkan
masa tuanya yang diibaratkan matahari yang hampir terbenam (waktu salat Ashar).
Matinya ibarat matahari yang terbenam (waktu salat Maghrib), dan hancurnya
tubuh manusia seperti hilangnya mega merah di ufuk barat (waktu untuk salat
Isya’).
Lebih dari itu, jika dikaji lebih lanjut,
justru dengan disyariatkan lima waktu melalui tahapan yang telah ditentukan,
manusia bisa menjalankan aktivitas kerja dengan efektif, sehingga seseorang
bisa mengatur waktu sesuai dengan aturan menegemen Ilahi, sesuai dengan
peredaran matahari. Pada akhinya, selain memperoleh kebaikan dunia juga dapat
meraih kebahagiaan akhirat, dengan menunaikan ibadah secara sempurna. Apalagi
salat adalah aktifitas fisik yang paling besar yang dapat membangkitkan spirit
serta mengembalikan stamina tubuh yang kurang tenaga. Di saat tubuh lelah
akibat bekerja keras, salat berfungsi sebagai suplemen tubuh. Di samping itu,
salat yang diharuskan tepat waktu mengajarkan manusia untuk hidup dengan budaya
on time (tepat waktu). Menyelaraskan diri dengan gerakan-gerakan planet,
perubahan-perubahan musim dari beberapa variasi geografis, harmonis dengan
siklus alam.
Kemudian, dari sisi jumlah rakaat, kalau kita
hitung dalam sehari semalam umat Islam mengerjakan kewajiban salat sebanyak 17
rakaat. Apakah hikmah di balik 17 rakaat? Sama halnya dengan salat lima waktu
yang ditentukan waktunya, Imam Bujairami mengatakan jumlah ini bersifat
ta‘abbudiy. Namun sebagian ulama ada yang menafsirinya dengan mengaitkan angka
17 itu dengan kehidupan keseharian manusia. Sebab, biasanya dalam sehari
semalam manusia berada dalam keadaan terjaga selama 17 jam; 12 jam di siang
hari, 3 jam di permulaan malam, dan 2 jam di akhir malam. Di saat terjaganya,
bisa jadi manusia melakukan tindakan dosa yang dilarang oleh agama, sehingga
Allah memberikan fasilitas kepada manusia untuk menghapus dosa tersebut dengan
diwajibkannya salat lima waktu yang berjumlah 17 rakaat. Dengan demikian,
setiap satu rakaat dalam salat memiliki fungsi menghapus dosa dalam satu
jamnya. Hal tersebut selaras dengan apa yang disampaikan oleh Rasulullah:
Sesungguhnya seorang hamba di kala berdiri
mengerjakan salat, akan didatangkan dosa-dosanya, lalu diletakkan dosa-dosa itu
di atas kepalanya atau di atas pundaknya. Bila ia rukuk atau sujud, maka
dosa-dosa itu berguguran darinya. (HR. Ibnu Hibban).
Rasulullah swt juga menjelaskan dalam Hadis
yang lain:
Salat lima waktu, begitu pula salat Jumat
hingga Jumat berikutnya, adalah pelebur dosa antara satu salat dengan yang
lain, selama tidak dilakukan dosa besar. Puasa Ramadhan hingga Ramadhan
berikutnya adalah pelebur dosa antara keduanya apabila dosa besar dijauhi. (HR.
Muslim).
Pada akhirnya, salat dengan lima kali dalam
sehari semalam, mengajarkan kepada manusia untuk dapat membersihkan diri dengan
mengerjakan syarat yang harus dipenuhi sebelum salat, yaitu bersuci. Di samping
itu, salat lima waktu mengajarkan kontinuitas pada pelakunya, baik dalam segi
peribadatan maupun pekerjaan. []
Sumber : Buletin Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan – Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar