Waktu dan
Masalah Kedaulatan
Oleh:
Ahmad Syafii Maarif
MENGAPA
kemunculan seorang Tri Rismaharini (Wali Kota Surabaya) atau seorang Joko
Widodo (mantan Wali Kota Solo, sekarang Gubernur DKI Jakarta) demikian
fenomenal dan memikat perhatian publik secara luas?
Jawabannya
sederhana tanpa memerlukan banyak teori: karena keduanya dinilai memberikan
contoh sebagai pemimpin yang prorakyat dan menjalankan tugas dengan bahasa
hati. Setidak-tidaknya demikianlah kesan publik terhadap keduanya sampai hari
ini.
Adapun ke
depan, sekiranya keduanya diberi posisi yang lebih tinggi, apakah idealisme
mereka masih bisa bertahan, kita tidak tahu. Godaan terhadap orang yang
berkuasa pasti muncul dari segala penjuru, di semua lini, termasuk dari
lingkungan pengusaha hitam, jika tidak waspada. Kewaspadaan ini harus disiapkan
sejak dini dengan bersenjatakan mata rajawali, bukan mata kelelawar yang redup
pada siang hari. Tidak banyak elite Indonesia yang kebal terhadap godaan benda
dan kekuasaan.
Terpaku
dan terpukaunya mata publik terhadap kedua tokoh itu tidaklah terlalu
mengherankan. Bukankah ratusan pejabat publik yang lain di seluruh Nusantara
lebih banyak disibukkan dengan urusan politik kekuasaan, di samping memikirkan
bagaimana cara melunasi utang dana kampanye yang bisa menelan miliaran rupiah?
Termasuk janji-janji mereka kepada cukong yang mahir ”berjudi” dalam mendukung
politisi yang sedang bersaing, demi melebarkan sayap bisnis mereka, jika pihak
yang didukung memenangi persaingan.
Semua ini
bukan lagi rahasia, tetapi sudah menjadi pengetahuan orang banyak. Tri dan
Jokowi dinilai relatif bersih sekalipun pasti juga telah mengeluarkan dana
untuk jadi pemenang. Saya katakan relatif karena keduanya tidak mungkin bebas
100 persen dari dunia percukongan.
Dalam
pusaran politik
Apa yang
disebut politik uang adalah riil. Dalam suasana perlombaan terhadap kekuasaan
yang sedang berjalan sekarang, kesetiaan pada idealisme sudah lama menguap ke
langit tinggi. Maka, jika tuan dan puan sudah bosan dengan politik, itu masuk
akal. Akan tetapi, larut dalam kebosanan sangat berbahaya karena bisa
melumpuhkan perjalanan bangsa yang sebenarnya ingin menegakkan sistem demokrasi
yang sehat dan kuat.
Manusia,
di mana pun di muka bumi, tidak mungkin terhindar dari pusaran politik. Tugas
kita sebagai rakyat adalah berupaya dalam batas kemampuan kita masing-masing
agar politik itu dijadikan kendaraan untuk kepentingan orang banyak, bukan
untuk mengorbankan mereka.
Politik
yang mengorbankan rakyat banyak adalah jenis politik kumuh dan biadab.
Sebaliknya, politik yang bersih dan beradab pasti bertujuan mulia membela
kepentingan yang lebih besar, jauh melampaui parameter hitung-hitungan
untung-rugi jangka pendek. Indonesia merdeka benar-benar memerlukan terciptanya
politik yang beradab ini dalam tempo yang dekat. Sebab, jika berlama-lama
terseret dalam kebiadaban berkepanjangan, waktu pasti akan menjadi ancaman
serius terhadap nasib kita semua.
Kita
sungguh sedang berlomba dengan waktu dan waktu itu bisa sangat kejam. Kata
peribahasa Arab: ”Waktu itu ibarat pedang; jika tidak pandai menggunakannya,
leher tuan dan puan akan dipancungnya”.Terlambat berarti merelakan proses
pembusukan politik yang sedang berjalan ini semakin membusuk serta bisa
menggiring bangsa dan negara menggali kuburan masa depannya.
Situasi
menjelang Pemilu 2014, dalam perspektif kedaulatan bangsa dan negara, sungguh
mencemaskan. Apa yang disampaikan Bung Karno dalam pidato ”Nawaksara” pada saat
kekuasaannya sedang berada di ujung tanduk pada 22 Juni 1966 patut dicermati:
”Berdaulat dan bebas dalam politik, berkepribadian dalam kebudayaan, dan
berdikari dalam ekonomi.” Semua ranah itu kini berada di tikungan sejarah dan
di bawah ancaman, asing atau agen domestiknya, sehingga bangsa dan negara ini nyaris
kehilangan kedaulatan, kepribadian, dan kemandirian dalam makna yang sejati.
Berdaulat
penuh
Kemerdekaan
bangsa tanpa kedaulatan adalah kemerdekaan palsu yang hanya bisa dinikmati
mereka yang mengidap mentalitas terjajah. Di luar tampaknya merdeka, tetapi
jiwanya telah dicuci pihak asing agar perasaan kemerdekaannya tumpul tak
berdaya. Proklamasi kemerdekaan Indonesia bertujuan membebaskan bangsa dan
negara ini dari suasana batin manusia budak dan manusia terjajah itu.
Apakah
sistem demokrasi kita bisa digerakkan ke arah tujuan yang ”berdaulat penuh”
itu? Jika mau, pasti bisa. Syaratnya: ucapkan ”selamat tinggal pada mentalitas
budak dan mentalitas terjajah”.
Dengan
pemenuhan syarat ini, waktu insya Allah akan berpihak kepada bangsa dan negara
tercinta ini bersamaan dengan pulihnya kedaulatan penuh. []
KOMPAS,
04 Februari 2014
Ahmad Syafii Maarif ; Mantan Ketua
Umum PP Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar