Hariri dan Semiotika Sosial
Ustadz
Oleh: Fathoni
Beberapa waktu lalu masyarakat dikejutkan
dengan video ngamuknya seorang Ustadz ketika sedang berceramah. Hariri, ya,
ustadz jebolan akademi dai TPI ini terlihat di video media sosial maupun media
elektronik marah-marah bukan kepalang kepada petugas sound sistem.
Di dalam video yang berdurasi 3 menit 1 detik
itu terlihat Hariri Nampak kesal dengan bahasa sundanya memarahi tukang sound
sistem yang belakangan bernama Entis Sutisna ketika sedang berceramah di daerah
Nagrak, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Konon sang ustadz kesal ketika meminta
Entis untuk memperbaiki suara mikrofon yang tidak bagus sehingga mengganggu
ceramahnya.
Namun, tak tahu alasannya apa, menurut kabar,
Entis justru marah-marah kepada sang ustadz sehingga membuat Ustadz Hariri pun
sebaliknya. Di dalam video tersebut, Entis terlihat ketakutan dimarahi sang
ustadz dengan hanya menunduk dan mengangguk-angguk. Ternyata betul, menurut
wawancara yang datang kepadanya, Entis takut dengan marahnya ustadz Hariri
ketika itu.
Di tengah jamaah, terlihat dalam video Hariri
yang berada di atas panggung memarahi Entis yang seakan tak berdaya berdiri pas
di hadapan Hariri di bawah panggung sambil menceramahi seolah Raja Amphitriyon
sang penguasa lalim kepada Alcides dalam legenda Yunani kuno, Hercules. Klimaksnya,
ketika Entis meminta maaf sambil berjabat tangan dengan Hariri sekaligus
menunduk seakan hendak mencium kakinya, lutut Hariri ditekuk dan menekan leher
bagian belakang Entis sehingga memaksa salah seorang temen Hariri melerainya di
atas panggung.
Setelah Entis beranjak dari ‘TKP’, gaya
Hariri persis seperti ketika David Haye, petinju Inggris yang sombong
memenangkan pertadingan, membusungkan dada, dan menegakkan badannya yang ketika
mengenakan baju gamis terusan putih dan tutup kepala seperti Imam Bonjol.
Hujatan, makian, hinaan, terus-menerus muncul
di video yang diunggah di Youtube tersebut. Intinya yaitu mengarah kepada
Hariri yang seharusnya bisa lebih bersikap arif bijaksana sebagai seorang
pendakwah.
Kejadian ini pun mengundang reaksi institusi
maupun pemuka agama, tak terkecuali KH. Mustofa Bisri (Gus Mus). Di akun
Facebook pribadinya Simbah Kakung yang ditandai oleh Ahmad Saifudin Zuhri, Gus
Mus mengatakan bahwa, ustadz dalam bahasa aslinya, Arab, berarti guru atau
profesor. ‘Kesaktian’ pers-lah yang membuat siapa saja di negeri ini disebut
ustadz. Termasuk badut, preman, atau anak gila.
Ya, Ustadz. Panggilan untuk seorang profesor
di Universitas al-Azhar Mesir ini lekat kepada seseorang yang berprofesi
sebagai penceramah atau guru ngaji di Indonesia. Sebagai seorang penceramah
atau dai, seseorang kerap menyimbolkan dirinya dengan Jubah, gamis, peci ala
Imam Bonjol, dan tak ketinggalan Jenggot, selain itu banyak hapal ayat-yat
al-Quran serta Hadis. Untuk menopang sombol-simbol tersebut, bahkan seseorang
memenuhinya dengan perilaku sopan, murah senyum, gaya tenang, halus, lembut
dalam perkataan, dan lain sebagainya dalam kehidupan sosial mereka.
Imbalan yang didapat dengan menyematkan dan
menggerakkan simbol-simbol tersebut yaitu dihormati oleh orang lain sebagai
seorang yang pandai dalam bidang agama. Ya, paradigma inilah yang tak jarang
digunakan oleh seseorang agar cepat dapat dihormati bahkan ditakuti oleh orang
lain dalam kehidupan sosial, yaitu dengan menampakkan simbol-simbol agama pada
badannya, entah jenggot, gamis, jubah, peci ala Imam Bonjol, dan lain-lain.
Tentang Semiotika Sosial Ustadz
Tanda-tanda atau simbol-simbol ini dalam
sebuah disiplin ilmu disebut semiotika atau ilmu tanda. Semiotik berasal dari
bahasa Yunani semeion yang berarti tanda. Ahli filasafat dari Amerika yang juga
berjasa dalam memunculkan semiotika modern, Charles Sanders Peirce, berpendapat
bahwa kita hanya bisa berpikir dengan sarana tanda. Dengan demikian, sudah
pasti bahwa menurut Peirce tanpa tanda kita tidak dapat berkomunikasi.
Pertanyaannya, apakah dengan tanda-tanda atau
simbol-simbol yang melekat pada diri seseorang katakanlah simbol-simbol agama
tadi membuktikan bahwa seseorang tersebut adalah ahli agama? Dengan kata lain,
orang yang halus perkataannya, baik perilakunya, sabar dan tenang dalam
bersikap dengan asumsi bahwa orang tersebut memang mengerti agama sebagai
instrumen Tuhan dalam menunutun umatnya di jalan kebaikan.
Jawabannya belum tentu! Namun, tidak
terpungkiri bahwa stigma yang disematkan oleh masyarakat yaitu karena tanda
atau simbol-simbol yang tersemat kepada seseorang. Gayung bersambut, seseorang
yang diberi gelar Ustadz pun menyimbolkan dirinya dengan memakai tanda-tanda
yang memungkinkan bahwa dirinya memang benar-benar Ustadz. Artinya, dengan
berpikir seperti itu, seorang Ustadz telah terjebak secara simbolistik tanpa
berpikir esensi secara epistemologis apa makna Ustadz, bagaimana seharusnya
mengendalikan perilaku yang mengarah pada keburukan, dan bagaimana pula
penilaian masyarakat terhadap gelarnya itu dan tentu penilaian pada agamanya
sebagai institusi jika semua itu terjadi.
Hariri mementaskan sikap layakanya bukan
seorang ustadz. Ironisnya, perilaku mengumbar kemarahan ia lakukan ketika
sedang berceramah di hadapan ratusan jamaah. Ketika itu juga, dia menyimbolkan
dirinya dengan memakai gamis terusan berwarna putih dengan peci khas ala Imam
Bonjol yang secara semiotik cukup untuk merepresentasikan bahwa dirinya adalah
ustadz dalam pandangan dan penilaian masyarakat. Nampaknya dia tidak cukup
untuk berpikir bahwa dengan tidak sedang berceramah pun, atau ketika itu tidak
sedang mengenakan simbol-simbol Ustadz pun, tetapi berbuat semena-mena,
masyarakat dipastikan tidak bisa menerima perilaku tersebut. Bahkan cacian,
makian atau hinaan tidak saja tertuju kepada diri pribadinya, namun juga pada
institusinya yaitu ustadz, bahkan institusi yang lebih tinggi lagi yaitu Islam.
Sebetulnya Hariri bukan yang pertama, banyak
orang di negeri ini yang di katakan ustadz, rupanya Islami namun perilakunya
jauh dari esensi seorang ustadz dan nilai-nilai Islam. Tak perlu dirinci di
sini, beberapa orang yang dipanggil dengan sebutan ustadz terbukti melakukan
tindakan korupsi yang merugikan masyarakat dan negara miliaran rupiah. Ada
ustadz yang terdakwa sebagai makelar kasus yang melibatkan banyak orang bahkan
dari kalangan artis.
Memang konteksnya berbeda, namun terlepas
dari kepentingan apapun, seseorang yang menyimbolkan diri dengan tanda-tanda
akan terjebak dengan tanda tersebut secara semiotik dalam kehidupan sosial
ketika dirinya tidak mampu berbuat sesuai yang diharapkan tanda tersebut.
Biasanya orang yang menyimbolkan diri akan bangga dengan simbolnya sehingga
merasa perlu dihormati bahkan dicium tangannya sebagai seorang ustadz. Efek
dominonya bukan hanya pada dirinya, namun juga pada institusi yang
disandangnya. Dengan kata lain, masyarakat juga akan skeptis dengan orang-orang
yang serupa yaitu Ustadz.
Berbeda dengan orang yang mengutamakan
substansi. Orang seperti ini biasanya mempunyai paradigma berpikir iso
rumangsa, sanes rumangsa iso (bisa merasa, bukan merasa bisa) sehingga tidak
terlalu menyimbolkan diri, tidak terlalu perlu merasa dihormati bahkan perlu
didengar nasihat-nasihatnya karena seperti Hariri atau ustad-ustad di atas,
dapat membuatnya kehilangan akal sehat dengan tidak memahami ustadz secara
substansi namun mengutamakan simbol secara semiotik, bukan? []
Fathoni, Penulis adalah Mahasiswa
Pascasarjana STAINU Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar