Untung Tiba-Tiba Ingat Petrofish
Senin, 03 Februari 2014
Saya hampir saja malu di
Campurdarat: tidak bisa menjawab pertanyaan bagaimana mengatasi kesulitan
seluruh petani ikan di seluruh Tulungagung. Terutama akibat kenaikan harga
pakan setelah terjadinya kenaikan kurs dolar.
Pagi itu
sebenarnya tidak ada jadwal ke Kantor Kecamatan Campurdarat. Tapi karena ada
sedikit waktu luang, saya minta dimampirkan. Sekalian ingin ganti celana. Pagi
itu saya memang masih mengenakan celana sawah setelah acara tanam padi sistem
baru Jajar Legowo yang lagi digalakkan dalam program “yarnen”-nya BUMN.
Dari
ruang kerja Pak Camat, sambil ganti celana, saya mendengar riuhnya kelas di
ruang sebelah.
“Suara apa itu?” tanya saya.
“Suara apa itu?” tanya saya.
“Suara peserta pelatihan PNPM petani ikan,” jawab Pak Camat.
Saya pun
mencoba melongok ruang rapat yang penuh petani ikan se-Kecamatan Campurdarat.
Mayoritas perempuan. Ibu-ibu muda. Rupanya mengenal saya. Teriakan dan tepuk
tangan mendaulat saya untuk menjadi penceramah dadakan.
“Oke.
Tapi, saya tidak akan ceramah,” kata saya. “Pidato sudah tidak penting lagi,”
kata saya lagi. Lalu, saya minta peserta saja yang bicara: ada persoalan apa.
Ternyata
saya tidak siap dengan persoalan dadakan yang mereka ajukan. Seorang ibu bicara
soal harga pakan yang naik drastis. Peserta yang lain serentak mendukung ibu
muda itu. Saya hanya bisa tertegun.
Ini lele
masuk bubu, kata saya dalam hati. Siapa suruh melongok ruang ini.
Saya
tidak tahu harus menjawab apa. Saya tidak biasa menjawab pertanyaan dengan
bla-bla-bla. Saya sudah terbiasa mengucapkan sesuatu yang harus bisa
dikerjakan. Harus bisa dibuatkan road map bagaimana melaksanakannya.
Saya
tidak bisa mengucapkan kata-kata yang kelihatannya menyenangkan, tapi tidak
bisa dilaksanakan. Saya juga sudah terbiasa untuk mengatakan “tidak tahu” untuk
pertanyaan yang saya memang tidak tahu jawabannya. Saya tidak malu.
Pagi itu
pun saya mengatakan “saya benar-benar tidak tahu” bagaimana mengatasi persoalan
tersebut. Akal sehat saya mengatakan, sepanjang pakan itu masih impor ya harganya
pasti naik.
Maka,
saya lemparkan kembali persoalan itu kepada floor. Siapa tahu ada peserta yang
cerdik dan mau membagi kiat. Di situ juga ada pejabat daerah yang lagi
memberikan ceramah.
Tapi,
tidak ada seorang pun yang bisa memberikan jalan keluar. Saya pancing dengan
hadiah uang pun ide itu tidak keluar. Seorang polisi yang di rumahnya juga
beternak gurami malah menceritakan parahnya keadaan.
Dia punya
lima kolam ikan masing-masing 7 x 7 meter persegi. Kolam itu dibuat di atas
tanah dengan menggunakan batu bata. Di seluruh Tulungagung bertani ikan memang
sudah menjadi andalan sumber kehidupan. Penghasil ikan budi daya terbesar di
Jatim. Ikannya banyak dikirim ke Jakarta.
“Yang
bisa dilakukan sekarang ini hanya memberi pakan dari kangkung, Pak,” kata
polisi itu kepada saya. “Tapi, itu sekadar membuat ikan bertahan hidup. Tidak
bisa membesarkan,” tambahnya.
Saya
menyerah. Sambil menahan rasa malu saya hanya mengatakan: saya akan sampaikan
persoalan ini kepada yang berwenang. Saya pun pamit meninggalkan kelas. Saya
tahu mereka tidak bahagia.
Mereka
adalah penerima dana PNPM pemerintah untuk mendorong rakyat agar mau mulai
berusaha kecil-kecilan. Program tersebut sebenarnya sukses. Tapi, khusus di
bidang usaha ikan kini menghadapi masalah harga pakan.
Tentu
persoalan tersebut tidak hanya terjadi di Campurdarat, tapi juga di seluruh
Indonesia. Ini sangat serius.
Sambil
berjalan meninggalkan ruangan saya terus merenung: jadi pengusaha memang tidak
semudah jadi politisi. Persoalan demi persoalan harus dihadapi. Pengusaha besar
harus menghadapi persoalan besar. Dan pengusaha kecil harus menghadapi
persoalan besar juga.
Saya
terus merenung, menenangkan diri: tentu persoalan seperti harga pakan itu pada
saatnya akan hilang dengan sendirinya. Yakni, setelah pelan-pelan harga jual
ikan bisa disesuaikan, eh, bisa dinaikkan. Ini yang disebut keseimbangan baru.
Tapi, ada
satu periode tertentu untuk menuju keseimbangan baru itu. Ada kurun waktu yang
harus dilewati. Ada satu masa yang sangat sakit untuk sampai ke sana. Seperti
saat ini. Harga pakan sudah naik, harga ikan belum bisa dinaikkan.
Di
sinilah terjadi seleksi alam. Siapa yang tangguh akan tegak dan siapa yang
mudah menyerah akan terkulai.
Kenaikan
harga pakan (dan harga apa pun) bukan baru kali ini terjadi. Tapi, seorang
pengusaha harus selalu survive dalam setiap gejolak itu. Buktinya, kenaikan apa
saja sudah begitu sering terjadi. Tapi, jumlah pengusaha terus bertambah.
Di
tengah-tengah renungan itu tiba-tiba saya ingat sesuatu: bukankah dulu saya
sudah minta PT Petrokimia Gresik, anak perusahaan BUMN Pupuk Indonesia Holding,
memproduksi pakan ternak dan pakan ikan? Bukankah sudah berhasil? Bukankah saya
sudah melihat hasilnya? Mengapa saya lupa?
Maka,
meskipun saya sudah sampai di halaman kantor kecamatan itu, saya mendadak balik
kanan: bergegas menuju ruangan yang penuh ibu-ibu muda tadi. Banyak yang kaget
dikira ada barang saya yang ketinggalan. Pejabat daerah sedang meneruskan
ceramahnya ketika saya tiba kembali di ruangan itu.
Saya
minta waktu bicara. Ceramah dihentikan.
“Ibu-ibu,” ” kata saya agak bergegas, “Ada jalan keluar!”
Serentak
mereka bersorak. “Saya lupa, BUMN sudah memproduksi pakan ikan. Namanya, Petrofish,”
kata saya. Yang untuk sapi namanya: Petrobeef.
Lantas,
saya ceritakan kunjungan saya ke desa-desa di Jember dua tahun lalu. Waktu itu
para petani tembakau curhat harga pupuk yang mahal. Maklum, pupuk impor dari
Eropa. Indonesia belum bisa bikin pupuk khusus untuk tembakau. Maka, saya minta
Petrokimia Gresik memproduksinya.
Berhasil.
Kini petani tembakau Jember sudah menggunakan produk dalam negeri yang
khasiatnya sama. Waktu itu Petrokimia juga sekalian bikin pupuk untuk kebun
sawit, pestisida, serta makanan ternak dan ikan. Tapi, marketing-nya masih
kalah dengan makanan ikan impor.
Petani
ikan di Tulungagung tahunya pakan impor “yang itu”. Belum tahu Petrofish.
Maklum, marketing “yang itu” amat agresif.
Saya
langsung minta Dirut Petrokimia Gresik Hidayat Nyakman menugaskan manajer
Petrofish terjun ke Tulungagung. Marketing Petrofish tidak boleh kalah agresif.
Hari itu
juga manajer Petrofish datang ke acara ibu-ibu itu. Semua dijelaskan dengan
baik. Untung ada Petrofish! Saya tidak jadi malu. Petani ikan pun dapat pakan
yang lebih murah dengan mutu yang tidak kalah dengan “yang itu”. (***)
Dahlan
Iskan, Menteri BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar