Merokok Itu Pilihan Politik
Oleh:
Mohamad Sobary
Saya lupa
siapa orangnya, yang dengan bagus, membuat suatu pernyataan ”subversif”:
merokok atau tidak, ”let my body decides”, di dalam suatu seminar mengenai
keretek sehat, ”divine” keretek, yang diramu berdasarkan temuan cemerlang Dr
Gretha Zahar, hasil suatu ”pengajian” dan ”pengujian” ilmiah berpuluh-puluh
tahun, yang kemudian diperkenalkan ke seluruh dunia oleh Prof Dr Sutiman
Bambang Sumitro, sebagai keretek bebas nikotin dengan ”teknologi nano” yang
sudah mendunia, sehingga nama kedua tokoh penting itu kini menjulang tinggi
sedemikian rupa seperti hendak menyaingi bintang- bintang di langit.
Apa makna strategis temuan ilmiah ini bagi dunia pertanian tembakau, kehidupan ekonomi kaum tani, dan bisnis keretek, yang demikian menggiurkan kaum kapitalis Barat, maupun bagi kesehatan masyarakat? Dalam sejarah umat manusia, belum ada suatu sikap antitembakau, antikeretek, yang dijadikan kampanye global, besarbesaran, dengan dana luar biasa besar, melebihi apa yang terjadi di dalam kurang lebih tiga dekade terakhir.
Kita dicekoki gagasan mengenai bahaya rokok, dan perjuangan kemanusiaan yang tanpa tandingan: menjaga kesehatan masyarakat? Ide menjaga kesehatan masyarakat tidak akan begitu manjur kalau tidak disuarakan oleh WHO. Maka, apa sulitnya mengajak WHO untuk melakukan kampanye antikeretek? Kapital, didukung strategi komunikasi, lobi-lobi dan kemampuan politik meyakinkan seluruh dunia, dengan mudah meraih target sasaran yang diinginkan.
Kampanye global antirokok, antikeretek menjadi serangan telak dan dipercaya orang, sedang ”khotbah” mengenai usaha menjaga kesehatan masyarakat, disambut seperti kita menyambut dewa penyelamat kehidupan yang sudah lama kita nantikan. ”Tapi sabar dulu. Benarkah gerakan kampanye global antikeretek ini sesuatu yang layak kita dengarkan?” ”Tentu saja layak. Kenapa tidak?”
”Oh, kalau begitu benar, bahwa ini tanda strategi mereka mengena. Strategi mereka sukses besar. Tapi tahukah Saudara, siapa yang berdiri di balik gerakan global antikeretek ini” ”Itu saya tidak tahu.” ”Jangan heran, dua kekuatan bisnis raksasa dunia: industri rokok dan farmasi.” Informasi ini sudah tersebar luas di dalam terbitan-terbitan yang mudah diakses publik pembaca. Ini bukan rahasia lagi.
”Mengapa harus heran? Mereka memang sangat peduli, penuh perhatian, dan siap menjaga kesehatan dunia. Sudah pada tempatnya kedua kekuatan bisnis itu yang tampil” ”Anda percaya mereka hendak menyelamatkan dunia? Mereka turunan, atau titisan Dewa Wisnu, yang tugasnya memang menjaga keselamatan dunia?” ”Aku tak percaya Dewa Wisnu. Apa dewa itu memang ada, dan mampu membikin dunia ni selamat?”
”Kalau begitu Saudara benar. Apakah Saudara percaya dua kekuatan bisnis raksasa dunia, tanpa mandat dari siapa pun, mau, secara tulus, dan sukarela, mengeluarkan dana luar biasa besar untuk menyelamatkan kesehatan masyarakat dunia? ”Itu saya tidak tahu, tapi setahu saya itu bukan urusan saya.” ”Saudara harus menjadikannya urusan Saudara” ”Mengapa harus? Dan siapa yang mengharuskan?”
”Yang mengharuskan ialah kehendak Saudara sendiri untuk memperoleh kebenaran, dan untuk meyakinkan bahwa Saudara tidak tertipu” ”Tertipu? Oleh apa? Kau jangan mengada-ada” ”Saudara yakin ada dunia bisnis rela mati-matian membuang dana super besar tanpa berharap akan keuntungan di kemudian hari?” ”Yakin atau tidak bisa ditunda. Tapi memang bukan sifat dunia bisnis untuk berbuat amal seperti itu”
”Saudara
benar. Jadi Saudara mau mengerti bahwa di balik gerakan kampanye global antirokok
itu ada motif bisnis untuk meraih untung berkali-kali lipat dari dana luar
biasa besar yang sudah dikeluarkan?’ ”Kenapa kau tak bilang begitu dari tadi?
Kalau ini, jelas bagi saya. Jelas bahwa saya paham sepaham-pahamnya. Jadi
terkutuklah mereka yang berteriak antirokok, antikeretek, dan menyelamatkan
kesehatan, padahal sebenarnya mereka sedang mengecoh dan membuat kacau seluruh
dunia? Mereka penipu besar. Terkutuklah para penipu. Terkutuklah dewa
penghancur kehidupan.”
Kalau
temuan besar dua tokoh dalam bidang ilmu pengetahuan di atas tak diganggu oleh
kepentingan bisnis global yang penuh tipu muslihat itu, jelas bahwa tembakau
kita selamat, kehidupan petani tembakau selamat, dan perekonomian mereka
terjamin untuk bisa membuat hidup mereka senang.
Selain itu, dunia bisnis keretek kita, yang besar itu, juga ademayem tanpa terusik. Jangan dilupakan pula bahwa ”home industries” di bidang keretek, yang kecil-kecil, sekadar untuk hidup, tak dibunuh terus-menerus oleh aturan-aturan cukai yang mematikan. Aturan cukai itu juga wujud kekejaman bagi dunia usaha rakyat, bangsa kita sendiri. Mereka telah dianiaya pemerintah kita sendiri karena pengaruh Dasamuka negeri asing yang serakah.
Pengaruh temuan ilmiah tersebut pada dunia kesehatan? Kalau keretek yang diproduksi di kemudian hari sudah bebas nikotin, yang berbahaya tadi, apa tak berarti bahwa merokok tak menimbulkan efek buruk bagi kesehatan? Nyamanlah kita. Bahkan kalau hasil temuan ilmiah itu dilibatkan dalam produksi keretek nasional kita, merokok justru menyehatkan. Kampanye global antikeretek, demi kesehatan masyarakat, menjadi perkara yang harus kita simak secara cermat, hati-hati, dan saksama, agar kita tak tertipu.
Di tahun 1960-an, kopra kita dikriminalisasi di Amerika Serikat, dituduh menimbulkan beban kolesterol dan kegemukan. Tapi kopra kita diolah dan diproduksi di sana, dengan keuntungan lebih besar. Sekarang ini produksi sawit kita juga diperlakukan begitu. Mereka culas, penipu besar, raksasa berkedok dewa penyelamat. Peduli apa bangsa kita dengan mereka? Bagi kita sekarang, bukan seperti pikiran ”subversif” yang bagus tadi: merokok atau tidak, ”let my body decides”.
Bukan itu lagi. Itu bagus dalam suatu konteks politik kebudayaan lain. Sekarang, dalam konteks ketika kita paham sepaham-pahamnya bahwa kampanye global antikeretek, hanyalah omong kosong belaka, karena intinya kepentingan bisnis untuk menguasai keretek nasional kita. Dengan demikian, jawaban kita sekarang lain, lebih tepat, lebih kontekstual, lebih bagus: merokok itu pilihan politik.
Saya bukan perokok. Tapi memasuki usia 58 tahun, saya merokok untuk dua hal: menghormati hasil temuan ilmiah Dr Gretha Zahar dan kegigihan Prof Dr Sutiman di laboratorium biologinya di Universitas Brawijaya Malang. Bagi saya, merokok sebagai pilihan politik juga berarti sikap melawan keserakahan yang tak bisa dibiarkan begitu saja dari pihak asing yang mengancam harkat ekonomi bangsa kita.
Jadi jelas: merokok itu pilihan politik. Merokok itu perlawanan terhadap penjajah ekonomi bangsa kita. Merokok itu, apa namanya bila bukan tanda semangat nasionalisme yang paling nyata? []
KORAN
SINDO, 10 Februari 2014
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk
Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar