Pers Sebagai Pasar bagi
Agama
“Sebuah perang, senjatanya pena!” tulis Dr.
Muhammad Ismail Muqaddam dalam bukunya, Audatul-Hijâb. Psikiater religius di
Mesir itu bercerita panjang lebar mengenai gencarnya serangan media massa
terhadap ajaran aurat dan ruang perempuan dalam Islam.
Memang, ada beberapa aspek ajaran Islam yang
hampir selalu menjadi sasaran tembak media massa, seperti hijab, poligami,
politik Islam, jihad, kisas-had, dan lain sebagainya. Hal itu, karena gaya
hidup dan opini dunia memang sedang berada di bawah pengaruh hebat dunia Barat.
Akibatnya, ajaran-ajaran yang bertentangan dengan misi Barat senantiasa menjadi
wilayah sasaran dalam perang pena tersebut.
Televisi, radio, koran, majalah, internet dan
media-media yang lain, secara sengaja atau tidak, umumnya telah menjadi pemasar
gaya hidup dan opini yang dimiliki oleh bangsa-bangsa yang sedang
mencengkramkan hegemoni di dunia. Ini sebetulnya fenomena alamiah, sebab umat
manusia memang cenderung meniru hal-hal yang dimiliki oleh kelompok/bangsa yang
sedang menghegemoni.
Kehidupan dan pemahaman terhadap agama,
secara otomatis, juga menjadi sasaran hegemoni atau minimal mengalami imbas
buruk dari perang tersebut. Dr. Thaha Abdul Fattah, pakar Ushuluddin di
Universitas Islam Madinah, menyatakan: “Saat ini, kita banyak menemukan
siaran-siaran yang memasarkan akidah dan aliran-aliran sesat, baik secara
teoritis maupun praktis. Bahkan, siaran-siaran itu senantiasa berjuang keras
untuk memberikan pemahaman bahwa dalam Islam, agama bukanlah dunia. Ironisnya,
yang berangkat dari ketidaktahuan akan hakikat Islam ini, telah meracuni banyak
kaum terdidik di negeri-negeri Islam, akibat dari pengaruh materialisme dan
sekularisme.”
Pernyataan ini, sebagaimana sebelumnya, juga
memiliki keyakinan kuat bahwa dunia pers seringkali menjadi corong untuk
menanamkan pemahaman yang salah tentang agama. Ada yang secara khusus memiliki
misi untuk itu, ada pula yang hanya sekadar terikut oleh trend opini dan gaya
hidup yang sedang dominan.
Dulu, di Abad Keempat Hijriah, di masa
Abbasiyah, kelompok intelektual yang tergabung dalam Ikhwanus Shafa, aktif
menerbitkan risalah sampai sekitar 50 edisi. Melalui gerakan intelektual bawah
tanah, mereka ingin mempengaruhi masyarakat dengan paham-pahamkeagamaan yang
dihegemoni oleh pikiran-pikiran filsafat. Bersama dengan karya filsuf-filsuf
lain, risalah Ikhwanus Shafa ditengarai memiliki pengaruh besar dalam membawa
umat Islam memuja filsafat dan menjadi penganut aristotalian. Hal ini tidak
hanya terjadi di Basrah, tempat kemunculan Ikhwanus Shafa, tapi juga di pusat-pusat
keilmuan yang lain. Hingga akhirnya, Imam al-Ghazali merobohkan pengaruh itu
melalui karya beliau Tahâfutul-Falâsifah.
Oleh karena itu, para pakar dakwah, seperti
tidak pernah lupa menyelipkan pesan akan pentingnya dunia pers sebagai alat
dakwah. Ibarat sebuah pertempuran: menangkis pedang dengan pedang; melumpuhkan
rudal dengan rudal; dan kalau mungkin berbalik menyerang dengan senjata yang
digunakan lawan. “Hiya silâhun dzu haddain (media massa adalah pisau bermata
dua),” tegas Abdul Aziz bin Baz, tokoh ulama Wahabi di Makkah dalam fatwanya.
Dulu, Rasulullah r menggunakan para penyair
Muslim sebagai senjata untuk menangkis sajak-sajak orang-orang kafir yang
mengejek beliau dan menghina agama Islam, juga untuk menyerang orang-orang
kafir dan segala kesesatan mereka. Saat itu, dalam tradisi Arab, sajak (syair)
memang merupakan media paling kuat untuk mempengaruhi opini masyarakat. Orang
Arab pada saat itu belum memiliki tradisi menulis, tapi mereka memiliki tradisi
yang sangat mengakar dalam menghafal sajak para pujangga. Sehingga, para raja
dan penguasa Arab-Persia di masa Pertengahan, umumnya, memiliki para penyair
istana. Mereka bertugas menggubah sajak-sajak pujaan dan menyuarakan kehebatan
penguasa kepada rakyatnya. Fungsi ini mirip sekali dengan media massa yang
dimiliki oleh kelompok-kelompok tertentu saat ini. Media massa diterbitkan
untuk menyuarakan visi-misi dari pemiliknya.
Jadi, para penyair dari kalangan Sahabat,
seperti Abdullah bi Rawwahah, Hassan bin Tsabit, Amir bin al-Akwa’ dan Kaab bin
Zuhair, memiliki posisi strategis di jagat opini, sebagaimana posisi strategis
yang dimiliki oleh para insan pers pada masa modern ini. Saat itu, sajak adalah
propaganda. Sajak adalah media massa (wasâilul-i’lâm). Sajak juga merupakan
sarana untuk mempengaruhi opini publik dan melumpuhkan mental lawan, baik dalam
perang fisik maupun perang pemikiran. Sajak merupakan media alternatif dakwah
yang mendampingi cara-cara tabligh dan uswah yang diberikan oleh Rasulullah.
Pada masa ini, akar syair di jagat opini
sudah tak sekuat di Arab tempo dulu. Peranannya diganti oleh pers dengan
pengaruh yang mungkin jauh lebih kuat dan mengakar. Maka, oleh karena itu, para
aktivis dan pemerhati dakwah senantiasa mengingatkan pentingnya menyuarakan
dakwah melalui media massa. Abul A’la al-Maududi, pemuka ulama Pakistan, adalah
salah satu tokoh yang sangat masyhur mengenai manhajnya dalam menjadikan media
massa sebagai sarana dakwah. Buah pikirannya tentang Islam sebagai jalan hidup
banyak memberikan pengaruh di Pakistan, India dan belahan dunia lain, berkat
media massa dan tulisan-tulisan bukunya.
Penggunaan media massa merupakan sarana yang
sesuai dengan tiga landasan umum dakwah yang ditetapkan oleh al-Qur’an, yaitu
al-hikmah (hujah-hujah yang kuat) , al-mauizhah al-hasanah (nasehat bijak) dan
al-mujâdalah bil-latî hiya ahsan (melumpuhkan pemikiran lawan dengan cara yang
baik). Tiga hal ini sangat cocok untuk dipakai sebagai landasan dakwah dengan
menggunakan media cetak, tulis, audio, visual maupun teknologi informasi.
Media-media informasi itu dibutuhkan untuk
mendampingi pendidikan pesantren, madrasah dan sekolah-sekolah agama, majelis
taklim, pengajian dan semacamnya, dalam memberikan pemahaman keagamaan yang
benar terhadap masyarakat. Sebab, banyak sekali sasaran yang tidak mampu
dijangkau oleh lembaga pendidikan, tapi dapat dijangkau dengan mudah oleh
media-media informasi semacam koran, majalah, radio, televisi, juga teknologi
informasi.
Dakwah tak hanya butuh semangat, tapi juga
piranti yang tepat dan sesuai dengan obyeknya. Dan, di era informasi ini, tentu
saja pers muncul sebagai piranti yang harus betul-betul diperhitungkan. Dunia
pers adalah pasar yang menantang untuk menawarkan agama. []
Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan – Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar