Kiai Wahab Berbagi Kebebasan
Pada dasawarsa 1950-an politik nasional
belumlah stabil, di sana sini masih terjadi pemberontakan daerah. Hubungan
antara sipil dengan militer juga masih tegang. Dalam situasi begini demokrasi
liberal diperlakukan dengan sistem multi partai dan kebebasan pers yang tanpa
batas.
Dengan kondisi politik seperti itu ditambah pers yang bebas menyiarkan apa saja, baik yang bersifat politik maupun kebudayaan, membuat negara ini semakin labil. Karena siaran itu dibaca dan diikuti masyarakat, sehingga pertikaian elite menjadi pertakaian di masyarakat bawah. Lagi pula banyak strategi militer dan rahasia negara disiarkan untuk umum. Hal itu tentu bisa mengancam keselamatan negara dan bangsa.
Melihat kenyataan itu Jaksa Agung Suprapto pada 1953 tidak tahan melihat ulah pers, yang telah membahayakan keselamatan negara. Lantas mengeluarkan edaran agar pers tahu diri dalam menyiarkan informasi, agar melakuakan selfsensor apa yang pantas dan tidak pantas diberitakan.
Seruan itu mendapat tanggapan keras tidak hanya dari kalangan pers sendiri, tetapi juga mendapat kecaman keras dari pimpinan partai politik. PSI yang menganjurka kebebasan menilai edaran itu telah melanggar hak asasi manusia dan kebebasan berbicara. Masyumi menilainya sebagai warisan kolonial yang selalu berusaha memberangus kebebasan pers. Kedua partai itu kemudian mengajukan mosi tidak percaya pada pemerintah.
Menghadapi hal itu KH Wahab Chasbullah dari Partai NU mengatakan bahwa pengusul mosi itu tidak konsekuen, sebab yang memiliki kebebasan berpendapat bukan hanya pers saja, tetapi semua warga negara, termasuk Jaksa Agung, kalau pers tidak mau dikekang Jaksa Agung juga jangan dikekang. Pers jangan naif hanya minta kebebasan, tetapi tidak mau memberi kebebasan pada pihak lain, ini tidak realistis.
Akhirnya mosi yang diajukan PSI dan Masyumi itu kalah suara secara telak dengan perbandingan 76 lawan 41. Karena semua berpendapat bahwa kebebasan dari kemiskinan dan keterancaman dari musuh, dan kebutuhan terhadap keamanan negara, lebih penting ketimbang sekedar bebas untuk berbicara, yang hanya dimiliki sekelompok elite politik dan pengelola pers. []
(Abdul Mun'im DZ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar