Habib yang menjadi Rais Syuriyah Wonosobo
Pertama
Sayyid Ibrohim mempunyai nama asli Ibrahim
Bin Ali bin Hasyim Ba'abu jika diurut ke atas, maka beliau adalah termasuk dari
kalangan ahlul bait (keluarga Rasulullah SAW) yang bermarga Ba'bud Kharbasan
sebuah marga dalam keturunan Rasulullah SAW, atau orang sering menyebutnya
dengan Sayyid atau Habib yang menunjukkan bahwa beliau mempunyai kedudukan
tersendiri di mata umat islam.
Beliau dilahirkan pada tahun 1864M dari ayah
yang bernama Ali bin Hasyim dan ibunya adalah Syarifah Khotijah di Kauman
Wonosobo. Gelar Sayyid diberikan kepada beliau setelah masyarakat mengetahui
kealiman dari beliau serta termasuk dalam jajaran ahlul bait.Dilahirkan sebagai
anak ketiga dari tiga bersaudara semenjak kecil telah mendapat pendidikan ilmu
agama dari orang tuanya dengan belajar mengaji.
Sayyid Ibrohim semenjak kecil sudah mulai
dikenalkan dengan Ilmu al Qur'an,Fiqh,Tauhid dan cabang ilmu yang lainnya,
termasuk ilmu Tasawuf (thoriqoh). Pada saat itu belum banyak dikenal model
pendidikan yang lazim dilaksanakan saat ini. Model pendidikan yang dilaksanakan
menggunakan system individual dengan cara sorogan sebagaimana dikenal di
lembaga pendidikan Pesantren. Disamping mendapatkan Ilmu agama dari orang tuanya
sendiri dan juga Ulama di daerah Wonosobo, berdasarkan suatu riwayat beliau
juga belajar kepada guru dan sekaligus sahabatnya yaitu Habib Ahmad bin
Abdullah Bin Tholib al Atthos Pekalongan.
Hal ini diketahui bahwa setiap beliau pergi
ke daerah Pekalongan senantiasa didereake oleh KH.Hasbullah Bumen dengan
berjalan menaiki kuda sambil menuntun kambing atau sapi yang akan dihadiahkan
kepada guru dan sekaligus sahabatnya Habib Abdullah Bin Tholib al Atthos
Pekalongan juga sayid Hasyim Bin Yahya.
Dengan berbekal ilmu yang telah didapatkan
dari para guru gurunya, Sayyid Ibrohim kemudian mengajarkan agama islam dari
satu tempat ke tempat yang lain. Aktifitas beliau disamping sebagai Ulama juga
sebagai saudagar yang sangat terkenal dan mempunyai banyak sawah dan tanah yang
kemudian dijadikannya tempat untuk ,mendirikan Masjid atau bangunan lainnya
sebagai tempat pendidikan. Kesempatan berdagang itu pula digunakannya untuk
menyampaikan dakwah islamiyah dan mengenalkan NU melalu jalur Thoriqoh yang
beliau dapatkan dari ayahnya. Beliau mendapatkan sanad thoriqoh dari orang
tuannya berupa Thoriqoh Alawiyah yang dikenal dengan thoriqoh yang tidak
menggunakan tata cara yang khusus sebagaimana Thoriqoh yang lainnya.
Pendiri NU Cabang Wonosobo
Semenjak awal berdirinya 31 Januari 1926, NU
kemudian melalui para 'Ulama yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jama'ah mendirikan
berbagai cabang di daerah daerah sebagai perpanjangan dari HBNO (PBNU) yang
berada di Surabaya. Melalui Lajnah Nasihin (Lembaga Propaganda) yang dibentuk oleh
HBNO, para Ulama yang tergabung di dalamnya mensosialisasikan berdirinya
Nahdlatul 'Ulama (NU) di wilayah Hindia Belanda (baca Indonesia), diantaranya
ke Jawa Tengah, Jawa Barat hingga daerah Menes Banten, Lombok, Sulawesi,
Kalimantan, Sumatera hingga daerah Aceh.
Propaganda itu pada gilirannya sampai ke
daerah Wonosobo. Karena ikatan persaudaraan yang telah dijalin oleh para 'Ulama
masa dulu. Kehadiran NU di Wonosobo yang diprakarsai oleh para kyai diantaranya
Sayid Ibrahim Kauman, KH.Hasbullah Bumen,KH.Abdullah Mawardi Wonosobo, Kyai Abu
Jamroh, KH.Asy'ari Kalibeber, Sayyid Muhsin Kauman, dan beberapa tokoh yang
lain seperti Atmodimejo, Supadmo, Abu Bakar Assegaf dan yang lainnya disambut
dengan mendirikan Jam'iyah Nahdlatul 'Ulama Cabang Wonosobo.
Hal itu ditandai dengan penbentukan
kepengurusan NU Cabang Wonosobo dengan Rois Syuriah Sayyid Ibrohim dengan
dibantu Sayyid Muhsin bin Ibrohim sebagai Katibnya. sedangkan dalam jajaran
Tanfidziah, ditunjuk Atmodimejo sebagai ketua dan Abu Bakar Assegaf sebagai
sekretaris. Belum ditemukan dokumen yang jelas tentang tanggal berdirinya NU di
Wonosobo secara pasti, hanya beberapa keterangan yang perlu dikedepankan.
Diantaranya Pertama, menurut Mbah Muntaha
(Allahu yarham) memberi keterangan bahwa NU Wonosobo diresmikan setelah
Muktamar NU di Cirebon pada tanggal 29 Agustus 1931, keterangan ini didukung
oleh H.Salim Mukhtar (almarhum) mantan ketua Tanfidziah NU. Kedua, terdapat
arsip kartu tanda Anggota NU (Kartanu) yang diberi nama Rosyidul Udhwiyah atas
nama Bapak Saidun Desa Kreo Kejajar, yang ditanda tangani oleh Sayyid Ibrohim
dan Sayyid Muhsin sudah bernomer 1526 pada tahun 1353H, sebagai indikasi telah
banyaknya warga yang mengikuti Jam'iyah Nahdlatul 'Ulama. Ketiga, terdapat
keterangan dari para sesepuh NU bahwa pada saat pelantikan NU Cabang Wonosobo
dilaksanakan di rumah Sayyid Ibrohim dan dihadiri oleh KH.Abdul Wahab Hasbullah
sebagai HBNO, sedangkan sebagai pembaca al Qur'an pada acara itu adalah
KH.Muntaha al Hafidz.
Kepiawaian dari para pendahulu NU Wonosobo
terutama Sayyid Ibrohim yang tanpa lelah memperjuangkan NU ditengah tengah
masyarakat pada gilirannya membuahkan hasil secara nyata hasil itu bisa dilihat
dengan banyaknya masyarakat yang dengan suka rela menjadi anggota jam'iyah
ini,serta gerakan gerakan lainya yang mendukung program Jam'iyah.
Dalam proses sosialisasi NU dan dakwah
islamiyah, beliau senantiasa ditemani salah seorang putra beliau yaitu Muhsin
Bin Ibrohim yang kelak menjadi katib Syuriah. Ketika remaja beliau Sayyid
Muhsin setelah mendapatkan ilmu agama dari Abahnya, kemudian dikirim oleh orang
tuanya untuk belajar agama islam di Pondok Pesantren Tremas Pacitan,
sekembalinya dari Tremas kemudian beliau melanjutkan studinya di Arab Saudi
untuk menunaikan ibadah haji dan belajar agama kepada beberapa Ulama di Timur
Tengah hingga berkeluarga.
Namun takdir berkata lain, ketika terjadi
pengusiran besar-besaran di Arab Saudi terhadap golongan muslim sunny yang
dianggap bertentangan dengan kaum Wahabi, atas pesan dari gurunya beliau agar
kembali ke Indonesia untuk menyalamatkan agama dan ilmu beliau kembali ke tanah
air. Dan akhirnya menetap di Wonosobo berkhidmah kepada Nahdlatul 'Ulama.
Sebagai katib Syuriah yang membantu tugas dari abahnya, pada saat awal
dibentuknya NU beliau memprakarsai pembuatan gedung NU yang sekarang ditempati
NU dan sekaligus dijadikan tempat untuk pembinaan generasi muda NU dengan
mendirikan sekolah Arab. Hal ini dimaksudkan untuk ajang kaderiasi dan juga
penanaman nilai nilai ahlussunanh wal jama'ah semenjak dini. Sebagai salah
seorang yang tertua ke delapan dari putra Sayyid Ibrohim dengan istri pertama,
sayyid Muhsin menerima hirarki thoriqoh dari abahnya.
Sebagaimana diketahui bahwa Sayyid Ibrohim
mempunyai dua puluh orang anak dari tiga orang istri. dari tiga orang istri
tersebut bukan berarti beliau menganut poligami. Namun tetap dengan satu istri,
yaitu ketika istri yang pertama meninggal dunia, kemudian beliau beristri lagi.
Dari keturunan beliau ini kemudian telah berkembang di berbagai daerah bahkan
luar negeri yang senantiasa menyebarkan agama islam juga kecintaan kepada
Rasulullah SAW.
Salah satu dari karomah yang dimiliki oleh
sayyid Ibrohim yang hingga saat ini jelas kelihatan dan diketahai masyarakat
adalah Jam'iyah Nahdlatul 'Ulama. Organisasi yang telah mengalami berbagai
masa, yaitu masa penjajahan Belanda dilanjutkan zaman fasis Jepang, Kemerdekaan
dan kemerdekaan serta masa orde lama dan orde baru serta masa reformasi, tetap
eksis dalam berkhidmah kepada umat bangsa dan negara. Hal itu tentunya telah
diawali oleh Sayyid Ibrohim dan para Ulama lainnya sebagai muassis (peletak
dasar pertama) Jam'iyah NU. dengan ketulusan dan kesabaran dibarengi dengan
keikhlasan mengeluarkan harta bendanya untuk mewujudkan cita cita NU, telah
membuat catatan tersendiri di hati umat Islam di Wonosobo. Disamping itu banyak
terdapat Masjid yang dibangun di atas tanah yang diwakafkan oleh sayyid Ibrohim
yang tidak hanya di satu tempat, namun diberbagai daerah.
Apa yang dilakukan oleh Sayyid Ibrohim adalah
karena kecintaannya kepada para leluhur yang telah mengajarkan agama islam ke
daerah Wonosobo (Mubaligh) serta menyelamatkan masyarakat yang jika dibiarkan
akan terkena musibah yang lebih dahsyat.
NU dan Tarekat
Dalam kapasitasnya sebagai Rais Syuriyah NU
Wonosobo, Sayyid Ibrohim juga didaulat oleh gurunya untuk menjadi Kholifah
(pemimpin) Thoriqoh Syathoriyah. Terdapat dua Thoriqoh yang ada pada diri
beliau yaitu Alawiyah dan Shatoriyah. Jika Thoriqoh alawiyah merupakan Thoriqoh
yang banyak dilakoni oleh kebanyakan para Habaib secara turun temurun. Maka
Thoriqoh Shatoriyah yang dikembangkan beliau merupakan gabungan dari Thoriqoh
yang sebelumnya dalam hal penerimaan.
Melalui jalur Thoriqoh inilah, beliau
mengembangkan agama Islam di daerah Wonosobo dan sekitarnya serta mengenalkan
dan mengajak masyarakat untuk bergabung dalam Jam'iyah Nahdlatul 'Ulama dalam
perjalanan pengembaraan dakwahnya. Pengembaraan itu pada saatnya telah
memunculkan banyak masyarakat yang mengerti dan bergabung dengan NU. Murid
beliau kini telah banyak yang meninggal, namun kebanyakan dari para murid itu,
telah mempunyai Jama'ah yang banyak pula. Para murid sayyid Ibrohim tersebar di
seluruh Kecamatan di Kabupaten Wonosobo, Temanggung seperti Sukorejo dan
Ngadirejo Kabupaten Kendal, sebagian Wilayah Batang dan juga daerah
Banjarnegara serta Purworejo
Sadar akan pentingnya kaderisasi dan
kepemimpinan, menjelang usia senja pada tahun 1940 beliau meletakkan jabatan
Ro'is Syuriah Cabang Wonosobo melalui Musyawarah yang diadakan oleh pengurus
Cabang saat itu. Kemudian ditunjuklah Kyai Abu Jamroh untuk dijadikan Rais
Syuriah NU Wonosobo menggantikan Sayyid Ibrohim. Dalam kondisi fisik yang tidak
seperti waktu muda sebelumnya. Sayyid Ibrohim tetap berjuang mengembangkan
agama islam dan NU melalui jaman fasis Jepang. Sekalipun di bawah tekanan
penjajah yang sangat kejam baik pada masa Jepang maupun masa kemerdekaan,
eksistensi beliau sebagai pejuang tidak pernah surut. walaupun harus bergonta
ganti tempat karena pengejaran dari Penjajah, semangat memperjuangkan islam dan
memberi dorongan spiritual kepada para pejuang baik yang tergabung dalam
barisan Hizbullah, Sabilillah dan kelaskaran yang lain tetap beliau berikan.
Ketika suasana Indonesia telah semakin mereda
dengan kekalahan penjajah Belanda dari rakyat Indonesia. Sayyid Ibrohim
kemudian kembali ke daerah Kauman Wonosobo dan menetap disana hingga wafatnya
pada bulan Sya'ban tahun 1948. Beliau dimakamkan di makam keluarga Maron
(belakang kampung Longkrang) Wonosobo. Khaul beliau dilaksanakan setiap tahun
pada Minggu awal bulan Sya'ban dengan dihadiri oleh Jama'ah dan keluarganya. []
Ahmad Muzan
Direktur IHSF dan AP Fatanugraha – Wonosobo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar