Tokoh-Tokoh
Tanpa Sejarah
Oleh:
Mohamad Sobary
Tokoh-tokoh
lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang gigih, patriotik, dan berani mengambil
risiko politik yang keras sekali di zaman Orde Baru dahulu semua punya sejarah
yang jelas.
Mereka mantan aktivis, mantan ketua senat, atau ketua dewan mahasiswa, dan sejumlah mahasiswa pemikir, bukan orang gerakan, bukan aktivis kampus, yang memahami betul kekejaman rezim militer itu. Tak mengherankan, sejak awal pengembangan karier, mereka tidak mau menjadi pegawai negeri demi mencari kebebasan artikulasi wawasan, sikap, dan tindakan politik mereka seharihari.
Sesudah bukan lagi mahasiswa, mereka siap melawan tirani pemerintah dengan sikap lebih dewasa, lebih matang, lebih konsepsional. Tekanan yang mereka derita di kampus yang tak memberi kebebasan mimbar akademik di bawah menteri yang menerapkan strategi membungkam mahasiswa dengan kekejaman melebihi militer membuat mereka merasa alergi, bahkan muak mendengar kata Orde Baru, dwifungsi, masa mengambang, pemerintah, dan nama-nama menteri yang tingkah lakunya seperti menteri di negara jajahan di zaman ketika kita dijajah Belanda.
Wartawan, tokoh dunia pers, tokoh demokrasi, tokoh agama, kaum intelektual yang juga terjun sebagai aktivis, semua punya sejarah. Masing-masing mengerti bahwa melawan Orde Baru berisiko besar. Seminar-seminar, rapat, pertemuan, menyusun rencana demo, bahkan khotbah Jumat, dan khotbah-khotbah hari raya yang dua kali setahun itu, semua di bawah kendali intel militer. Apa yang bakal dikhotbahkan harus diserahkan secara tertulis kepada aparat militer setempat.
Seniman, terutama Rendra, diawasiketat. Pementasandrama harus izin kepada polisi yang seumur hidup tak mengerti seni drama. Tapi, naskah harus diserahkan, untuk diuji oleh orang yang tak tahu-menahu urusan seni tadi. Seniman, terutama Rendra, berani melawan. Semua tokoh itu dicari-cari, adakah mereka punya hubungan dengan PKI. Saking kurang kerjaan, orang juga ditelusur, adakah hubungannya dengan Masjumi, atau PSI.
Kalau seseorang kedapatan memiliki indikasi seperti itu, hidupnya jelas sukar, dan dibikin sukar oleh pemerintah. Dunia intelijen memiliki informasi mengenai semua tokoh, siapa saja, tanpa kecuali. Tokoh radikal, tokoh kompromistis, tokoh moderat, semua dalam daftar. Dengan kata lain, sejarah para tokoh itu ada pada mereka. Tapi, sejarah tiap tokoh, tiap orang, ada juga pada mereka sendiri.
Mereka tokoh beneran, pembela kepentingan masyarakat dan bangsa, dan patriotik, yang mencintai bangsa dan negaranya, tak kalah dibanding cintanya kaum militer yang merasa diri mereka paling pahlawan itu. Sejarah orang gerakan, kaum pemikir, tokoh pers, tokoh demokrasi, dan tokoh kemanusiaan dikenal masyarakat. Mereka didengki pemerintah, tapi dicintai masyarakatnya. Para tokoh dikenal pula secara pribadi, diingat wajah dan namanya baik-baik.
Demi kejujuran, baik disebutkan di sini bahwa tak semua tokoh seperti dewa. Tak semua tokoh orang yang sungguh agung dan mulia. Mereka semua hanya manusia seperti militer, polisi, calo tanah, menteri, dan presiden. Manusia ya manusia. Kadang baik. Kadang jahat. Kadang lurus.
Kadang menyimpang. Tapi, apa yang penting digarisbawahi di sini, tokoh-tokoh tadi jelas asal usulnya, jelas ideologi dan sikap politiknya, jelas latar belakang pendidikannya, dan jelas apa maunya, apa aspirasinya, apa cita-citanya. Dengan begitu, jelas pula pilihan lapangan kerjanya, gaya hidupnya, wawasan rohaniahnya, dan kelompok- kelompok tempat mereka bergabung.
Pendeknya, juga jelas sekali aliran tarekatnya. Para tokoh ini rata-rata matang di lapangan. Mereka bijaksana sesudah memetik hikmah dalam pergulatan hidup, dengan segenap kesulitan dan tantangan-tantangannya. Mereka tidak dikader. Mereka bukan bagian dari kekuatan yang dimatang-matangkan, bukan dipaksa matang, dan mereka pun ”menjadi”, dan bukan ”dijadikan”.
Ada media yang merasa perlu berbuat baik pada bangsanya, dengan membuat kader bagi kaum muda, dan kegiatan rutin mereka itu disebut suatu forum, sesuai usia para kadernya. Tapi, langkah ini tidak membawa manfaat besar. Tokoh yang mereka kader tidak menjadi orang hebat, dengan sikap dan ideologi politik yang jelas. Mungkin mereka bisa disebut tokoh yang tak jelas: tidak konsisten, menjaga keluhuran nilai. Mereka kelihatannya tokoh yang ”dijadikan”, bukan ”menjadi”, dengan sendirinya.
Orang tak mau belajar melihat bahwa Orde Baru itu mengader begitu banyak kelompok pemuda, dengan berbagai variasi kegiatan dan tujuan yang hendak dicapai. Tapi, adakah pengaderan yang mahal dan memanjakan kaum muda itu hasilnya? Mungkin hasilnya hanya watak tidak konsisten, tidak ideologis, dan tak pantas menjadi pemimpin di dalam masyarakat.
Apakah mereka yang hidup di dalam politik itu bisa disebut tokoh? Mereka tokoh politik/ tokoh seperti apa, dengan kualitas apa? Di kalangan partai, bermunculan orang-orang yang jika diteliti sebenarnya hanya mencari pekerjaan. Apakah mereka juga tokoh? Bagaimana pemikirannya? Apa aspirasi politiknya? Apa jalan perjuangannya untuk membela kepentingan rakyat dan bangsa?
Di dunia politik, orang yang tak punya apa-apa dan tak bisa apa-apa ditampung, diakomodasi, dan dijadikan wakil rakyat. Apa pendidikannya? Pernah sekolah di tingkat apa? Memiliki wawasan dan ideologi politik yang jelas, fokus, dan bisa diwujudkan sebagai perjuangan politik untuk bangsa? Penyanyi dangdut, pemain sinetron pelawak, broker politik, makelar kasus, bisa ditampung di suatu partai politik.
Mereka bahkan dijadikan wakil rakyat. Yang bisa berbuat seperti itu bukan hanya partai sembarang partai. Partai yang berideologi agama pun ikut menjari kader dengan cara murahan seperti itu. Makna agama, ideologi agama, dan perjuangan agama, pendeknya bisa dilupakan. Apa salahnya menjaring kader cantik? Bahwa dia hanya bisa dangdutan, bisa goyangan, itu sudah memukau.
Buta politik, buta ideologi agama, buta strategi kampanye dan pendidikan politik bagi bangsa tak menjadi soal karena kompetensi ketua partainya memang tak terlalu jauh dibanding si goyang itu. Jadi cocoklah kalau mereka dikader. Tapi, kita lalu menghadapi masalah berat, sangat berat: tokoh-tokoh kita ini siapa? Mengapa tokoh-tokoh dalam posisi strategis tidak jelas asal usulnya, latar belakang, aspirasi dan cita-cita politiknya?
Mengapa tokoh-tokoh kita tak punya kompetensi dan sejarah yang jelas? Mengapa tokoh yang tak jelas sejarahnya dijadikan tokoh dan ditaruh di barisan paling depan dalam urusan politik? Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Bukan begini cara mengatur kehidupan politik. Bukan begini cara mengader tokoh politik. Partai politik harus lebih serius, harus lebih punya harga diri. Di luar boleh saja ada orang yang tiba-tiba menjadi penting. Dia penting tanpa sejarah.
Dia sukses tanpa sejarah. Persetan kehidupan di sana. Tapi, di partai seharusnya tidak boleh. Di luar sana juga sudah terjadi, orang yang tak jelas latar belakangnya, tak jelas rekam jejaknya, tiba-tiba pasang foto besar, di suatu bagian kota yang penting dan ramai, mengindikasikan ingin jadi presiden. Silakan saja. Orang boleh omong kosong. Orang boleh bersikap palsu.
Tapi, partai politik seharusnya tak bisa membiarkan itu. Orang boleh tiba-tiba menjadi tokoh paling berpengaruh, di kalangan seratus orang. Boleh pula menjadi terbaik di dunia, tanpa mengerjakan apaapa. Silakan menipu orang lain. Silakan menipu diri. Tapi, partai jangan menjadi kancah penipuan macam itu. Banyak orang tak jelas di masyarakat kita. Ada yang disebut tokoh paling inspiratif, ada yang disebut seniman paling berpengaruh.
Inspiratif dalam hal apa, berpengaruh terhadap apa, dan siapa. Kita punya banyak tokoh tanpa sejarah. Kita banyak punya tokoh dalam omong kosong yang tak jelas. Kita purapura tidur melihat mereka. []
KORAN
SINDO, 17 Februari 2014
Mohamad Sobary ; Esais, Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk
Advokasi, Mediasi, dan Promosi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar