Mekanisasi Sniper Pemburu Tikus
Senin, 27 Januari 2014
Asyik sekali temu wicara informal
dengan ketua-ketua kelompok tani di Desa Sambitan, Tulungagung, Jawa Timur,
tadi malam. Sekali lagi, para petani kita itu begitu banyak idenya. Misalnya
dalam hal mekanisasi pertanian.
Selama
ini yang sudah memasyarakat secara tuntas adalah mesin bajak. Tidak ada lagi
petani yang membajak sawah dengan kerbau atau sapi. Tidak ada juga yang
mencangkul 100 persen. Mesin bajak sudah sepenuhnya menggantikan yang
tradisional.
Yang juga
semakin dominan adalah penggunaan mesin perontok gabah. Bahkan, banyak petani
sudah mampu membuatnya. Teknologi perontok ini memang sederhana.
Yang baru
mulai dicoba adalah mesin untuk panen. Perkembangannya juga sangat pesat.
Industri mesin panen dalam negeri juga mulai tumbuh. Kalau mesin bajak sudah
didominasi produksi dalam negeri, mesin panen pun kelihatannya juga bisa
mengikutinya.
Yang
masih sulit adalah mesin penanam padi (planter). Padahal, mencari orang yang
menjadi buruh tanam padi kian sulit. Kalaupun ada, sudah tua-tua. Wanita muda
sudah jarang yang mau terjun ke sawah. Akibatnya, biaya tanam mahal sekali.
Bahkan, jadwal tanam sering harus mundur: menunggu tenaga yang masih dipakai di
tempat lain. Ancaman bagi peningkatan produksi beras juga ada di sektor ini.
Mesin
penanam padi memang sudah ada. Impor. Tapi, tidak cocok dengan kebiasaan petani
kita. Terutama kebiasaan melakukan pembibitan. Untuk bisa menanam padi dengan
mesin, pembibitan tidak bisa lagi dilakukan di sawah.
Pembibitan
harus dilakukan secara modern. Biasanya di teras rumah. Agar tidak kehujanan.
Benih pun tidak ditabur di tanah sawah, tapi di tanah khusus yang ditaruh di
atas nampan.
Tadi
malam, dengan cara duduk lesehan di pendapa rumah Lurah Sambitan, kami
mendiskusikan ini. Bagaimana agar petani kita mau berubah. Semua mengatakan
akan sangat sulit.
Mengapa?
Petani harus membawa semaian benih itu dari rumah ke sawah. Harus ada biaya dan
alat transpor.
Tiba-tiba
Pak Imam Muslim, ketua Kelompok Tani Gempolan angkat tangan. Dia mengutip ide
yang pernah dia dengar: pembenihan itu bisa dilakukan di sawah. Caranya: hampar
plastik di sawah, lalu digelar tanah khusus di atasnya. Dengan demikian, benih
yang bisa ditaruh di atas mesin planter sudah tersedia di sawah.
Memang
ada kendala: kalau hujan bagaimana? Tapi, kata Pak Imam, itu bisa dicarikan
peneduh.
Menanam
dengan mesin memang tidak bisa ditawar lagi. Petani harus benar-benar mau
berubah. Kalau menanam padi sudah bisa dilakukan dengan mesin, mekanisasi
pertanian padi sudah terlaksana: bajak, tanam, penggaruk rumput, pemanen,
perontok semuanya menggunakan mesin.
Yang
tidak kalah menarik adalah cara memberantas tikus. Petani Tulungagung merasa
apa yang dilakukan di Godean, Jogja, masih kalah dengan cara terbaru
Tulungagung. Di Godean yang sudah empat tahun gagal panen, memang sudah
berhasil panen kembali bulan lalu. Tapi, cara yang sama dianggap tidak efektif
di Tulungagung.
Di sini
petani menemukan cara terbaru: mengerahkan sniper. Penembak jitu. Senjata itu
sebenarnya senjata biasa. Yang biasa untuk menembak burung. Tapi, kini dianggap
sangat efektif untuk menembak tikus. Senjata itu dilengkapi sinar laser.
Malam-malam sinar itu sangat jitu untuk mengincar tikus.
Kini ada
15 penembak tikus jitu di Tulungagung. Komandan detasemen khusus tikus ini:
Turmudi dari Desa Sanan. Untuk setiap tikus yang ditewaskan mereka mendapat
upah Rp 1.500.
Ternyata,
semua kelompok tani sepakat dengan cara baru ini. (*)
Dahlan
Iskan, Menteri BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar